Oleh : Dindin Hasanudin
Sebenarnya, jika berbicara tentang bulan Ramadhan, pasti tidak akan terlupa atau tertinggal dengan obrolan terkait Isbat atau sidang penentuan bulan Ramadhan di mulai, dan setiap tahun agenda rutin ini selalu diselenggarakan, acapkali pula hanya menimbulkan banyak kesimpang siuran, bagaimana tidak, kalender yang telah ada dan dibuat tidak lagi menjadi patokkan dalam menentukan awal Ramadhan, sidang Isbat yang dihadiri oleh berbagai ormas dari berbagai daerah dan berbagai golongan kepercayaan islam menjadi suatu hal yang menarik bagi kita untuk terus di analisa perilakunya. Tidak jarang pula agenda Isbat ini hanya menimbulkan kericuhan dalam keberadaannya, selain itu juga hal ini telah mengikis sedikit demi sedikit makna Ramadhan bagi masyarakat yang menjalankannya sendiri, bagaimana tidak? bulan suci yang seharusnya menjadi sebuah bulan bermakna dan dirasakan bersama secara serentak oleh umat muslim menjadi hambar dan kurang kebermaknaannya akibat perbedaan terkait perbedaan pandangan kemunculan Hilal di bulan tersebut. Perbedaan ini kemudian berakibat pada berbedanya waktu dalam penentuan 1 syawal sehingga banyak masyarakat yang menjadi korban kekericuhan ini, penjual makanan yang menjadi basi karena waktu syawal masih belum tiba contoh kecilnya.
Jika kita meruntut pada sejarah panjang perbedaan persepsi ini adalah merujuk pada Adanya dalam agenda Isbat ini, yang dihadiri oleh dua golongan besar yaitu NU dan Muhamadiyah, dan kedua Organisasi Islam ini adalah penopang utama kulturisasi islam sejak zaman dahulu masa Orde lama. Dua organisasi yang telah lama terbentuk ini sebelumnya pernah memiliki sebuah kisah bulan madu, yaitu pada tahun 1950-an yang pada saat itu kedua organisasi ini dipersatukan dalam sebuah Partai yaitu MASYUMI, namun kemudian pecah karena terjadi gejolak dan perbedaan pendapat yang tajam didalamnya, namun kemdian mereka bersatu kembali dalam fusi Partai PPP yang pada saat itu anggota organisasi tersebut menyatakan partai Islam sebagai alat perjuangan politk, namun tak berlangsung lama karena terjadi perebutan kekuasaan, namun demikian, hubungan tersebut memburuk ketika posisi Gus Dur terancam dan dalam hal ini para tokoh Muhammadiyah dianggap ikut serta dalam upaya mendongkel Gus Dur sehingga menimbulkan kebencian warga NU pada mereka. Bahkan di Jawa Timur yang merupakan kantong warga NU banyak fasilitas Muhammadiyah yang dirusak., dan hubungan itu kembali harmonis dan membaik pada saat terjadinya krisis kepercayaan terhadap Islam yang berkenaan dengan permasalahan terorisme global. Kedua organisasi tersebut menyatukan tekad dengan menyebarkan klarifikasi bersama-sama bahwa islam adalah rahmatan lil alamin dan stigma negative terhadap islam itu tidak benar dan hanya sebuah stigma yang tak beralasan.
Berdasarkan perjalanan panjang ini, hingga saat ini terus berkembang pesat dalam kajian keagaamaan yang masuk dalam ranah politik dan agama yang sacral menjadi dipolitisasi dalam sebuah kesalahan agenda besar, dalam analisa penulis sendiri bahwa ini adalah sebuah egosentris dari masing-masing golongan, yang sebenarnya jika kita islam kita akan berpegang pada satu kebenaran Al-quran dan Al hadis yang menjadi dasar pemikiran dan landasan hukum bagi kita pemeluknya tanpa pertentangan yang menyebabkan kericuhan dan menghilangkan ketentraman masyarakat dalam keyakinan beribadah, ulil amri yang menjadi patokan terkikis dan tergilas oleh egosentris golongan, miris memang jika berbicara tentang agam yang terpolitisasi, agama adalah hal sensitive yang harus ditolerir namun itu ada dalam kajian umat beragama dan tidak dalam seagama, islam mengajarkan satu kebenaran yang hakiki bukan kebenaran yang meragukan, buat apa pemerintah jika menetukan Awal ramadhan saja menjadi pertentangan, padahal kita satu naungan sakral Islam. Agama memang tidak sebaiknya dicampur adukkan dalam ranah politik, karena satu sisi sensitive dan bukan hanya milik beberapa bagian orang namun milik semua penganutnya sehingga tidak benar jika diatasnamakan golongan untuk satu kepentingan yang banyak tak sepaham jadinya, karena Islam “Rahmatan Lilalamin”. Yang penulis harapkan adalah islam tetap islam yang utuh dan tidak menjadi ajang pemanis dalam setiap maneuver politik sekalipun berlandaskan pada itikad baik yang kasat mata.
Sebenarnya, jika berbicara tentang bulan Ramadhan, pasti tidak akan terlupa atau tertinggal dengan obrolan terkait Isbat atau sidang penentuan bulan Ramadhan di mulai, dan setiap tahun agenda rutin ini selalu diselenggarakan, acapkali pula hanya menimbulkan banyak kesimpang siuran, bagaimana tidak, kalender yang telah ada dan dibuat tidak lagi menjadi patokkan dalam menentukan awal Ramadhan, sidang Isbat yang dihadiri oleh berbagai ormas dari berbagai daerah dan berbagai golongan kepercayaan islam menjadi suatu hal yang menarik bagi kita untuk terus di analisa perilakunya. Tidak jarang pula agenda Isbat ini hanya menimbulkan kericuhan dalam keberadaannya, selain itu juga hal ini telah mengikis sedikit demi sedikit makna Ramadhan bagi masyarakat yang menjalankannya sendiri, bagaimana tidak? bulan suci yang seharusnya menjadi sebuah bulan bermakna dan dirasakan bersama secara serentak oleh umat muslim menjadi hambar dan kurang kebermaknaannya akibat perbedaan terkait perbedaan pandangan kemunculan Hilal di bulan tersebut. Perbedaan ini kemudian berakibat pada berbedanya waktu dalam penentuan 1 syawal sehingga banyak masyarakat yang menjadi korban kekericuhan ini, penjual makanan yang menjadi basi karena waktu syawal masih belum tiba contoh kecilnya.
Jika kita meruntut pada sejarah panjang perbedaan persepsi ini adalah merujuk pada Adanya dalam agenda Isbat ini, yang dihadiri oleh dua golongan besar yaitu NU dan Muhamadiyah, dan kedua Organisasi Islam ini adalah penopang utama kulturisasi islam sejak zaman dahulu masa Orde lama. Dua organisasi yang telah lama terbentuk ini sebelumnya pernah memiliki sebuah kisah bulan madu, yaitu pada tahun 1950-an yang pada saat itu kedua organisasi ini dipersatukan dalam sebuah Partai yaitu MASYUMI, namun kemudian pecah karena terjadi gejolak dan perbedaan pendapat yang tajam didalamnya, namun kemdian mereka bersatu kembali dalam fusi Partai PPP yang pada saat itu anggota organisasi tersebut menyatakan partai Islam sebagai alat perjuangan politk, namun tak berlangsung lama karena terjadi perebutan kekuasaan, namun demikian, hubungan tersebut memburuk ketika posisi Gus Dur terancam dan dalam hal ini para tokoh Muhammadiyah dianggap ikut serta dalam upaya mendongkel Gus Dur sehingga menimbulkan kebencian warga NU pada mereka. Bahkan di Jawa Timur yang merupakan kantong warga NU banyak fasilitas Muhammadiyah yang dirusak., dan hubungan itu kembali harmonis dan membaik pada saat terjadinya krisis kepercayaan terhadap Islam yang berkenaan dengan permasalahan terorisme global. Kedua organisasi tersebut menyatukan tekad dengan menyebarkan klarifikasi bersama-sama bahwa islam adalah rahmatan lil alamin dan stigma negative terhadap islam itu tidak benar dan hanya sebuah stigma yang tak beralasan.
Berdasarkan perjalanan panjang ini, hingga saat ini terus berkembang pesat dalam kajian keagaamaan yang masuk dalam ranah politik dan agama yang sacral menjadi dipolitisasi dalam sebuah kesalahan agenda besar, dalam analisa penulis sendiri bahwa ini adalah sebuah egosentris dari masing-masing golongan, yang sebenarnya jika kita islam kita akan berpegang pada satu kebenaran Al-quran dan Al hadis yang menjadi dasar pemikiran dan landasan hukum bagi kita pemeluknya tanpa pertentangan yang menyebabkan kericuhan dan menghilangkan ketentraman masyarakat dalam keyakinan beribadah, ulil amri yang menjadi patokan terkikis dan tergilas oleh egosentris golongan, miris memang jika berbicara tentang agam yang terpolitisasi, agama adalah hal sensitive yang harus ditolerir namun itu ada dalam kajian umat beragama dan tidak dalam seagama, islam mengajarkan satu kebenaran yang hakiki bukan kebenaran yang meragukan, buat apa pemerintah jika menetukan Awal ramadhan saja menjadi pertentangan, padahal kita satu naungan sakral Islam. Agama memang tidak sebaiknya dicampur adukkan dalam ranah politik, karena satu sisi sensitive dan bukan hanya milik beberapa bagian orang namun milik semua penganutnya sehingga tidak benar jika diatasnamakan golongan untuk satu kepentingan yang banyak tak sepaham jadinya, karena Islam “Rahmatan Lilalamin”. Yang penulis harapkan adalah islam tetap islam yang utuh dan tidak menjadi ajang pemanis dalam setiap maneuver politik sekalipun berlandaskan pada itikad baik yang kasat mata.
Komentar
Posting Komentar