Langsung ke konten utama

Tentang "Jadi" Jurnalis

Menjadi seorang jurnalis adalah sesuatu yang berbeda. Walau tak sekeren profesi lain semisal dokter, PNS, pegawai BUMN atau lainnya yang berseragam. Tidak hanya kalah keren, tapi profesi ini pun belakangan lebih sering bergelut dengan stigma. Banyak kalangan yang menilai profesi ini tidak lebih dari sekedar mencari kesalahan orang. Lalu menukarnya dengan rupiah. Ah kejam sekali mereka yang berpandangan demikian.
Tapi ku kira bukan hal yang salah juga pandangan itu muncul. Bagaimana tidak sitgma itu muncul, jika kemudian “kartu pers” bisa dengan mudah dibuat. Bisa dengan mudah digunakan sebagai kartu sakti. Mending kalau kartu itu digunakan oleh orang yang tepat, orang yang paham akan fungsi dan etikanya. Jika digunakan oleh segelintir oknum, rasanya itu yang membuat stigma ini muncul. Seharusnya ada pembatasan dan aturan, yang bisa menjaga ini. Agar tak sembarang orang bisa mengidentikan dengan profesi jurnalis dan sedikit-sedikit atas nama “Pers”.
Bayangkan, ketika kartu sakti ini digunakan untuk menjaga agar tidak ditilang atau bebas dari hukuman. Agar bisa masuk perusahaan untuk memeras. Untuk mencari kasus yang dirupiahkan. Atau bahkan untuk sekedar terlihat keren. Entah apa legitimasinya. Aduh boy, Miris rasanya bila demikian.
Beberapa orang yang menjalani profesi ini pun tak jarang yang rendah diri. Seolah tak ada kebanggaan dari dirinya. Sebab mereka beranggapan profesi jurnalis adalah pelarian semata. Terutama di lokal. Dimana banyak sekali media masa, dan disana siapapun bisa menjadi jurnalis. Entah keilmuannya apa apakah memahami atau tidak tetap bisa menjadi jurnalis. Walaupun kemudian istilah “Everybody can be journalist” itu yang disanggahkan. Rasanya dengan kondisi seperti itu, kebanggaan menjadi seorang jurnalis wajar terkikis perlahan.
Dari selentingan di lapangan, alasan menjadi jurnalis lantaran sudah melamar ke sana ke sini namun tak juga mendapatkan panggilan. Dengan demikian, profesi ini menjadi pilihannya terakhir. Bagaimana tidak menyedihkan profesi ini? Akan seperti apa masa depannya jika terus begini.
Namun, saya kira tidak demikian. Profesi ini amatlah sangat mulia. Tak berbeda dengan ragam profesi yang serba keren tadi. Sebab profesi ini memiliki syarat yang sudah terpenuhi untuk diberikan anggapan lebih.
Profesi ini pun memiliki keilmuan khusus. Yah, Ilmu Jurnalistik, yang di beberapa Universitas, jurusan ini masuk dalam salah satu konsentrasi ilmu Komunikasi. Namun ada pula yang memisahkannya menjadi satu keilmuan berdiri sendiri. Bahkan bukan hanya keilmuannya, jurnalistik pun memiliki sejarahnya sendiri.  Memiliki etikanya sendiri yang harus dipatuhi. Bahkan dilindungi oleh undang-undang.
Tidak hanya itu, dalam pendidikan jurnalistik pun, permasalahan etika menjadi yang utama. Oleh karena itu, tak bisalah kiranya jika profesi ini dipandang sebelah mata. Namun, dampak kurangnya kebanggaan dari profesi ini, kebanyakan alumni dari jurusan jurnalistik atau pun ilmu komunikasi lebih memilih bekerja di luar bidangnya. Bukan hanya kurangnya kebanggan, tapi profesi ini pun seolah tak menjanjikan masa depan cemerlang, inilah yang membuat para alumninya berpikir ulang. Ini terbukti, dari ratusan lulusan yang diwisuda di kampus saya, bisa dihitung jari berapa yang melanjutkan menjadi jurnalis. Entah itu di lokal maupun di nasional. Kebanyakan mereka lari pada bidang yang dianggapnya lebih bonafit atau terpandang, minimal dihadapan mertua nantinya.
Oleh karenanya, dengan berbagai pertimbangan, sudah seharusnya Jurnalistik memiliki tempat yang lebih layak di masyarakat. Jurnalistik harus dikembalikan kepada hakikatnya. Jangan dibiarkan profesi ini kemudian tak ada maknanya. Sebab, untuk mendapatkan gelar sarjana komunikasi atau pun mempelajari ilmu jurnalistik bukan lah hal yang sebentar. Namun perlu waktu dan curahan pikiran pula.
Dari sisi penghasilan pun, Jika selama ini kebanyakan profesi lain kerap melakukan demonstrasi karena tak terpenuhi haknya. Bagaimana dengan jurnalis? Demo pun rasanya tak ada artinya. Jurnalistik sudah kadung dikenal sebagai profesi batu loncatan. Hanya segelintir orang yang mau dan memiliki niatan dari hati untuk mengabdikan hidupnya di profesi ini. Saya kira kita harus bangga dalam profesi ini. (***)




Komentar

Postingan populer dari blog ini

POLITIK DAN KETIDAK DEWASAANNYA

D"opini" “Semakin dewasa perpolitikan itu semakin terlihat kacau, antara yang memaknai dan yang berperan dalam mendefinisikan kacau, elit hilir mudik mencari cara untuk membentuk kemenangan dengan jalan prestisius dalam anggapannya” Apa yang kita paham tentang politik? Apa yang kita paham tentang kedewasaan? Adakah kaitan dari kedua kata ini? Politik dan kedewasaan adalah sebuah proses saling bertoleransi dan saling bersikap untuk sebuah upaya yang lebih baik melalui sistem kesadaran. Jika kita berbicara politik dan kedewasaannya, maka kita akan membicarakan sebuah sistem yang telah tertata rapi dan telah terbentuk dengan sangat detail sehingga orang diluar atau actor politik akan dapat memahami alur yang berkembang. Sistem yang dimaksud adalah sebuah sistem yang berlandaskan kesadaran. Sistem yang berlandaskan kesadaran adalah tingkatan sistem yang telah mencapai titik sempurna dan telah berada dalam tingkatan teratas dari berbagai sistem yang ada, sebu...

Perkara Gus dan Pedagang Es teh

  Credit foto : Detik.com Petruk bingung, belakangan, panggung media sosial hingga media massa, bahkan pos ronda ramai dengan berita tentang seorang Gus yang merupakan utusan presiden sekaligus tokoh ulama berseteru dengan netizen. Yah, petruk bilang berseteru dengan netizen karena bapak penjual es teh yang disebut "goblok" oleh utusan presiden itu tak berseteru langsung. Hanya saja hatinya mungkin merasa tersakiti ketika ucapan utusan presiden itu terlontar dengan lantang didepan hadirin yang banyak. Tapi kembali lagi hati orang siapa yang tahu. Tapi, ucapan pedas yang katanya hanya candaan itu ternyata menusuk dalam di relung hati banyak warganet. Terang saja, balasan hujatan terlontar lebih dari kata "goblok" pada utusan presiden itu. Luapan kekesalan netizen ditumpah ruahkan di berbagai platform media sosial.  Memang jangan sepelekan warganet atau netizen, kekuatannya lebih hebat daripada sebatas kekuatan orang dalam. Karena penjual es teh disakiti, semua netize...