Saat Ini……
D)
Sengaja
saat ini…
Aku hanya
bercerita dengan malam gelapku…
Aku lunglai
dengan semuanya…
Terlempar dalam
bagian yang tak sama…
Hampir mati dan
tak bernyawa….
Aku jatuh
tersungkur…
Sengaja saat
ini….
Berdiam diri dalam
balutan sepi…
Tuhan dekap aku
sejenak
Rasakan padaku
keramian yang damai..
Tak bias dengan
setiap kegundahan..
Aku hanya puing
kenangan….
Sengaja saat ini…
Bergeming dengan
keadaan..
Bergurau dengan
keramahan…
Berharap dengan
keinginan….
Bergegas lalu
tinggalkan setiapnya…
Aku Rapuh…
Sengaja saat
ini….
Aku puaskan
hasratku..
Aku pecahkan
nadiku….
Tapi …..
Aku tak mati..
Dan ..
Buatku tersenyum…
“karena kumbang tak kan menjauh dari
mawar”
Geragap senja…..
d)
Berteriak…
Rasanya tak pernah terbayang aku bercerita tentang rasa “putus”
asa dalam hidupku pada siapapun, aku masih asing dengan setiap kata “putus”
asa, namun tak pernah asing dengan setiap kegagalan, aku masih merasa manusiawi
saat kukejar dunia dan kucampakkan hal lain, tapi tak seperti ini, aku
melarikan diri dari segenap kegelisahan, tak hancur hanya berantakan sisa dalam
sisi genggam jemari yang pernah kau genggam…
Berusaha….
Rasanya juga aku bukan hak yang punya mau untuk berusaha,
dan aku juga tak asing dengan “patah” semangat sampai saat ini kurelakan setiap
getarannya untuk bercerita dalam jejak langkah sang malam, katanya intelektual
tapi masih berputus asa dan tak punya nyali untuk berkata, ahhh geming yang
seperti ini terasa menjadi benalu dalam otakku dan aku hanya menjadi satu
onggok tak berdaya….
Jalan…
Rasanya kejam jika kuucapkan aku ingin pergi, tapi bukan
ingin tinggalkan dunia hanya ingin berlari lalu berhenti dalam satu titik sepi
yang ramah padaku, dan kau anggap aku ada dalam keheningan yang kusapa kejam
rapi dan penuh halusinasi perasaan yang getar ingin kusampaikan, dan andai saja
aku ini punya, tapi tak apalah jika aku harus berlari lalu tinggalkan setiap
jengkalnya…
Berbeda…
Rasanya dulu kau pernah bilang, perbedaan akan lengkapi kebahagiaan
tapi tidak untuk saat ini, terlalu jauh berbeda telah meninggalkan bekas yang
jauh dalam dan terlalu berelung bagiku, kamu punya yang kau harap padanya dan
aku tak punya untuk kuberikan padamu, dan hanya kumpulan sugesti negative yang
kudengar saat ini untuk kurepresentasikan dalam dunia yang ada di balik jendela
hati ku….
Tumbuh…
Rasanya aku juga tak pernah membiarkan setiap akar dan daun
senja ini tumbuh dalam sayap yang telah retak, lalu kutanam benihnya dan aku
lari tak sanggup berkaca lagi pada gerakan yang sepi, karena dalam sajaknya aku
ini pecundang, hanya duplikat dari setiap kegetiran yang sangggup ku ucapkan
dan kuperdaya, tapi perasaan dalam diriku tak pernah mampu ku bodohi karena aku
lebih bodoh..
Terhenti..
Rasanya kata ini bukan sebuah bagian asing dalam hidupku,
aku pernah membiarkan satu masa hidupku berhenti disini, dan aku serahkan
setiap garis itu untuk terputus lalu bersujud rendah disampingmu, tapi kau
biarkan saja dia tak berdaya, seperti tak punya ingin yang hanya patah dalam
sajak-sajak sepi, dan bebas kau artikan cerita ini dalam benak apapun karena
dunia ini terlalu luas untuk memberi makna…
Bergerak…
Masih kucoba untuk bergerak dan berlari lalu sejengkal
lainnya mendekati hal yang halus dan terdiam saja agar aku menjadi bagiannya
yang terbengkalai sepi, jadi tutup saja buku ini dan biarkan ku buka lembaran
baru yang putih dan rapi, walau tak seindah gambarmu namun coretannya akan
lebih menarik dibanding itu, karena setiap goresannya akan memiliki arti yang
lebih perfectsionis dan istimewa dalam makna..
Terdampar,…..
Bukan ingin menjadikan diri yang penuh keluh kesah hanya
saja, ini adalah permainan otak yang dilampaui oleh persaan sehingga sejenak
tak berarti lebih besar, karena kasat yang kaku bukan ingin menjaid berang
hanya sebatas tersenyum dan kembali teriak dalam setiap guratan sepi di bibir
yang hampa menertibkan relung hati yang pernah menerima kamu disana, dan tak
biarkan sisi itu terdampar kembali….
Teka Teki Keadilan….
d)
Setapak dimasa lalu tak akan pernah sama dengan saat ini
atau saat sedetik yang lalu kau tinggalkan jejak itu, di dunia ini tidak ada
satu hal yang akan tetap sama, sekalipun kamu masuk dalam sungai yang mengalir
dan mengangkat kakimu kepermukaan lalu memasukannya lagi pasti ada hal berbeda
yang akan kamu lihat dan rasakan disana, karena di dunia ini hakikatnya tidak
ada yang statis.
Beberapa kali aku mencoba menaklukan setiap gelap malam
namun, gelapnya terlalu dan aku tak sanggup, tapi gelisah dan resah jika tak
sampai ku lakukan semuanya, aku hanya akan menjadi bagian terbuang dari negeri
ini, ini yang di sebut gagal berjuang dan mendeklarasikan idealism, tanpa
dimakan usia, aku tetap tak bisa mengadili waktu..
Hakikat manusia, tak pernah berhenti berpikir dan terus
bergerak dengan seribu sel otak dalam benaknya yang ku bilang permanen dan
linear dengan kelelahan, hanya dengan itu keadilan akan kau dapatkan…
Keadilan di negeri yang disebut ini adalah barang langka
dan sikap kaku yang tak pernah ramah pada semua insan, hanya material yang akan
mendapatkan keadilan, apa layak menjadi bagian jika diskriminasi adalah
cerminan yang kejam dan rapat dalam kesejajaran individu antisocial di negeri
ini..
Jika nanti kita hanya berteriak bukan menjadi sebuah aksi
namun hanya menjadi kekolotan aksi yang tak pernah berubah sejak orde lama, dan
jika sistem selalu di evaluasi dan diperbaharui apakah cara aksi tak pernah dan
selalu mengalami kekolotan, tak peduli kamu mengecamku sebagai aktivis diam
tapi aku peduli dan aku berjalan dalam jalanku sendiri…
Jika kekonyolan ini terus disenandungkan, aku yakin seribu
tahun lagipun bangsa ini adalah sumber kehancuran dan air mata ibu pertiwi
hanya jadi cerita lampau yang kembali menghiasi kehidupan secara riil…
Tak tahu mana yang utama dan mana yang pertama adalah
kegagalan bangsa yang atas nama HAM melanggar etika secara terlalu dan nyata
tanpa ada paksaan secara jika benar…
Badut badut itu hanya akan menyediakan topeng monyet dan
atlet sirkus di permukaan lalu kita tertawa bersama dan berteriak lalu menangis
dan binasa…..
“SIRKUS KEADILAN ratu Monyet”
Kerabat Kerabat TIkus…
d)
Pernah mendengar cerita kucing dan
tikus ? familiar sekali mungkin
ditelinga kita tentang pertikaian dua jenis binatang itu dan kita selalu
tertawa dengan sikap kedua binatang itu. Tikus adalah binatang menjijikkan yang
pernah ada di dunia, dan mereka adalah binatang pengerat yang tak beretika
dengan songongnya mencuri dan melampiaskan kelaparan yang masih dapat mereka
atasi dengan berbagai cara lain yang lebih layak dan sopan. Perut adalah tujuan
utama mereka hidup lalu mereka akan dengan sengaja mencari setiap sudut lumbung
padi dan menariknya kesarang mereka dengan giat dan gotong royong. Mereka
adalah binatang yang terlalu lama dibiarkan akan menjadi hama yang tak dapat
disepelekan, kecil dan seperti tak berdaya tapi ternyat lebih berbahaya dari
ular sawah yang menyerang lalu membunuh korbannya, namun tikus secara perlahan
telah membunuh pemilik barang yang mereka curi.
Fenomena tikus adalah sebuah fenomena
social yang tergambar jelas dalam kehidupan nyata, yang kasat mata kita selalu
mengamati dan melihat mereka bermuka dua dengan dramaturgi yang terus di
gemingkan, bahkan mereka selalu bermuka manis dan menarik simpati bagi
korbannya, citra adalah cara terbaik dan andalan mereka dalam menjemput
mangsanya. Fenomenologi social yang tidak bisa dianggap sepele. Bergerak dari
satu tempat ketempat lain dan dari satu lumbung kelumbung lain dengan maksud
dan tujuan. Secara nyata tikus tikus itu terlihat baik dan manis dengan
kecerdasannya menggerogoti korbannya.
Para koruptor adalah kerabat kerabat tikus yang tidak bisa
dianggap sepele dengan cara apapun mereka adalah kumpulan penjahat yang harus
segera diatasi. Demokrasi saat ini yang menjadi bagian media untuk memilih
pejabat Negara telah menciptakan berbagai macam kekacauan. Korupsi berjamaah
telah menjadi akibat nyata bagi masyarakat dimasa seperti saat ini, dimedia
masa terus menyeruak kasus kasus yang seakan adalah sebuah persekongkolan jahat
yang direncanakan.
Lelaki Gagal Perkasa
d)
Enam tahun yang lalu aku pernah menaruh mimpi di
balik kelopak mataku, enam tahun yang lalu aku pernah menyimpan relung harap di
sudut hati ku, dan ku pegang erat setiap jemari yang terasa kaku, enam tahun
yang lalu aku pernah sematkan cerita dibalik setiap tawaku, aku bertanya
tentang waktu mu yang hilang, aku bertanya tentang harimu yang lewat, dan
semuanya sama, aku disonansi….
Tak terasa setiap alur yang telah lewat kini masih
kurindu dan kuharap di ujung senja yang mereka bilang telah hilang…aku
menyimpan erat setiap bagian klimaks perasaan ku dan kututup rapi dengan tawa
dan canda yang tak terlalui begitu saja, melewati gersangnya hari dan hampanya
sepi…
Pandangan pertamaku tak menjadi sebuah hal indah, tak
ada rasa yang menyimpulkan itu adalah refleksitas Cinta, tapi hanya biasa,
namun cinta itu tumbuh dengan cara lain dihatiku, kamu seperti sugesti yang
tumbuh perlahan lalu merasuk dalam hatiku dan mendarah daging, ..terlalu cantik
untukku, mungkin tuhan harus lembur untuk menciptakan makhluk seindah kamu,
kamu yang sempurna walau banyak kesempurnaan yang tak ternilai namun kamun
adalah terindah dan tak ada yang lebih indah, seni yang riil dan tak terjamah
waktu..aku ingin memungutmu dan menyimpannya dilubuk terdalam, aku akan
bermimpi bahwa aku akan datang suatu saat..
Kini, tak terbendung jua cinta ini, aku beranikan
cerita tentang pedihnya hati yang menyimpan rasa, ku bertanya padamu apa kau
merasakannya, kamu hanya terdiam dan kaku, yah ku tahu jawabnya, kita tak
sama….
Di sudut sekolah itu aku tarik tanganmu dan ku
beranikan nada lembut ini mengalir dari bibirku karena aku tak ingin semua yang
kusimpan akan terus menyiksaku, dan ini kenyataanya aku beranikan diri di sudut
sekolah ku disaat waktu perpisahan kita, “aku sayang padamu dan aku
mengagumimu” lantas kau balas “kamu bercanda” aku kembali kaku merajut kata
yang telah kuurai tiga tahun yang lalu “aku serius” dan kau berucap “aku kagum
padamu” lantas aku gegap dengan jawabanmu “lalu apa maksudnya?” kamu
menjawabnya “ya gitu deh” ahh terasa seperti ingin menunggu hal konyol yang
sudah kusimpan lama tapi tak dapat ucapan jawab yang memuaskan hati..aku masih
menunggu disudut itu dan kita hanya saling memandang dengan bisunya, aku
kembali bertanya “maksudnya?” kamu menjawabnya “aku kagum padamu, yang tak
pernah kau perlihatkan namun bisa kau ucapkan dan kamu menyimpannya sedalam
itu” aku bingung dan tak tahu harus berkata apa…bukan pertama kali aku bertanya
hal semacam ini pada seorang gadis, tapi rasanya kamu seperti yang pertama
menyentuh hatiku, mungkin kamu cinta pertamaku karena mereka adalah cinta
monyetku..”lelaki tak selalu mesti berucap tapi buktikan setiap perkataanmu
dengan nyali dan kedewasaan” dia membalas setiap ucapan ku yang kaku ..”yah aku
bukan yang terbaik untukmu, kamu tak selayaknya menerima ku menjadi kumbang
dihatimu, kumbang lain masih jauh lebih pantas untukmu” konyol kata yang keluar
dari bibirku saat itu, dan ..kamu “apa yang ingin kamu tunjukkan dengan sikap
yang tak pernah terlihat kamu sungguh padaku” aku menciut.”aku hanya punya hati
dan ingin kuperlihatkan padamu dalam sebuah makna ketulusan nanti”….”aku tak
terlalu percaya dengan hati, yang ku ingin adalah kenyataan yang dapat kulihat
dan aku merasakannya’….aku gegap ..”kamu bidadariku aku akan lakukan apapun
untukmu” ..percakapan disore perpisahan ku di sudut bisu ruang kelasku, semoga
mereka tak mendengarnya dan tak berbisik kaku tentang celotehanku pada dinding
lain, karena aku malu…
Untuk wanitaku yang teramat sangat kucinta kamu masih
pujaan ku hingga saat ini dan kini kamu pergi ….
Setahun yang lalu ku bercerita pada sahabatku dan
terbias setiap alunan sunyi yang menyempit seiring gemericik hujan dalam
dangkalnya otakku, aku hanya sebagian yang terasa dan rasanya tak ingin lumpuh
untuk menutup pedih yang hilang begitu saja, owh ya aku terlalu naif dan tak
bernyali atau banci?....
Peluh yang terurai mungkin tak akan terfermentasi
menjadi alkohol atau terdiferensiasi bentuk menjadi kristaliasai, peluh ya
hanya peluh yang sekejap saja akan hilang diserap hujan, aku bukan lelaki jika
bicara, dan aku bukan lelaki jika berucap, bahkan jari-jariku lebih lentik dari
bibirku dan lebih ramai dari suara tenggorokanku…
Ya ini yang terucap, di bias malam terinduksi sepi
dan tercabik mimpi, hanya berani berucap dalam berisiknya suara hati, tapi
bisu, atau butuh Braille untuk mengucapkan setiap rasa?..mungkin juga butuh
morse untuk kamu mengerti catatan direlung sempit nadiku?..
Ahh lelaki, tak semua yang di ucap adalah yang akan
di buat, aku lelaki jika bertindak, dan aku lelaki jika berpikir, karena hati
lebih maskulin dari bicaraku yang tak selantang ego dalam benak dan
relung-relung terdalam..
Aku gagal perkasa tapi tak berarti aku tak bernyali…
Kerikil Di sebelah Terminal
d)
“sudah hentikan teriakkan di ujung jalan ini”
“kamu tak berhak melarangku, kamu hanya intelektual yang tak
peduli”
“aku mencari satu keistimewaan dibalik gunjingan yang tak
pernah ku tahu dimana tujuan terbaik dari teriakanmu”
Bukan ingin menjadi yang tak peduli, tapi tak ingin
menghabiskan suaraku untuk berteriak, tapi mereka tak mendengarnya, kondektur
bis antar kota sanggup berteriak lebih keras, tukang sampah punya masa lebih
besar dari kita, tapi aku ingin,…
Kita berbeda dan tak punya ..
Jika nanti kuteriakkan lebih besar aku akan hadir dijiwa
mereka mencari sebuah keadilan,
Biarkan aku terdiam dan biarkan aku tumbuh mencari jalan
keluarnya dengan benakku yang tak perlu kau pegang ekorku lalu aku tersulut,
biar emosi menjaganya dan biar nuraniku menjadi pembatasnya,
Aku masih jadi yang beringin, biar nanti kamu anggap aku
brutal, biar nanti kamu anggap aku apatis, biar nanti kamu anggap aku bodoh,
aku lelaki dengan pikirku, aku lelaki dengan egoisku, aku lelaki dengan
idealisem ku..
Negeri disebelah terminal, ini yang selalu berteriak, tapi
aku bukan bagiannya, aku adalah satu jiwa yang dingin ingin mencari pembuktian,
cacat jika aku tak berani menjaid besar, cacat aku jika aku nanti hanya menjadi
kerikil kecil di rumah kerdil..
Rumah negeri dan peristirahatan untuk dahaga intelektualku
yang tak berunjuk kecerdasan, aku masih percaya “Idealisme”
Katakan tidak Pada”(hal)” Korupsi
d).
Korupsi
itu laten atau mungkin mutlak yang hakiki, kita menjadi pemberantas korupsi,
tapi lembaga yang menaungi kita saja tidak sungguh-sungguh menutup perilaku
itu, bahkan rasanya malu jika hanya uraian dari mulut dan deskripsi dari
berbagai sumber yang tidak dicerminkan oleh perilaku, kita hanya akan menjadi
bagian yang tertekan. Setiap orang adalah carier untuk terjangkitnya potensi
korupsi, setiap tindakkan berpotensi menimbulkan korupsi, seperti istilah
definisi komunikasi “setiap manusia berpotensi menimbulkan perilaku dan setiap
perilaku berpotensi menimbulkan komunikasi”, mungkin berangkat dari pernyataan
ini, jika suatu saat nanti korupsi sudah menjadi bagian dari budaya, kita bisa
berbuat apa?
Terlalu
besar kita memaknai dan terlalu sering kita mencaci setiap perilaku korupsi itu
namun hanya menjadi buah dari doa yang kita cerminkan dalam perilaku kita
sendiri dan kita tidak bisa menjadikan umpatan itu pembelajaran menjadi
pencegah bahkan kita adalah bagian dari mereka. Sepertinya budaya telah
terfragmentasi menjadi satu bagiannya, korupsi dan korupsi adalah
integral dari budaya itu sendiri.
Bilang
tidak pada”hal” korupsi? jelas adalah doa yang terus diamini oleh setiap orang
yang ada di bangsa ini, bangsa yang telah mewarisi secara mendasar trik dan
intrik korupsi, ternyata telah mampu mengimplementasikannya dalam pemerintahan
semata, karena kita adalah bagian dari korupsi itu, warisan penjajah Hindia
Belanda yang telah terukur sempurna, seperti protein yang terurai menjadi asam
amino.
Lembaga
pendidikkan adalah lembaga pencerdas kehidupan Bangsa? Semua perilaku dalam
kehidupan kampus adalah cerminan dari miniature Negara, banyak golongan, banyak
trik dan intrik yang penuh ego, kepentingan, kekuasaan dan autoritas, yang kuat
menjadi penguasa dan yang lemah menjadi hedonis atau oposisi, tapi tak satupun
dari sana yang menjadi contoh baik untuk ditiru pada kehidupan besar dalam
lingkup Negara, lembaga ini semakin hari terasa semakin konyol dan kotor, KKN
(korupsi, Kolusi dan Nepotisme) telah menjadi lazim di kesehariannya, coba kita
pikir, saat kita berada dalam lingkup kampus, pendidik itu hanya menjadikan
ajang pertunjukkan kecerdasan dan obral jabatan, tidak memenuhi dengan penuh
profesionalitas mereka, setiap saat kita hanya di racuni dengan kebiasaan score
oriented, absent oriented, tanpa pemahaman, dan itu terasa seperti membodohi
dan menumbuh suburkan ego KKN di lumbung padi, pendidik tidak masuk tapi absen
harus diisi dan jika membangkang tinggal tiba waktunya untuk menerima nilai
yang jatuh, dan membalikkan pertanyaan absensi dan afektif namun mereka tidak
sadar jika itu hanya kecurangan belaka, dan haram bagi kita intelektual turut
patuh pada sisitem sempit itu.
Kerabat-kerabat
Tikus ? kita sering mendengar banyak tikus berkeliaran dan terseret dalam
jeruji besi, tapi tak mau sendiri, mereka berjamaah seperti apa? Shalat saja
banyak individual tapi korupsi kenapa berjamaah? Kalau kita berpikir media masa
selalu menjatuhkan orang besar, maka orang besar itu adalah bagian yang tersapu
angin. Tikus semakin cerdas tapi manusia semakin kecolongan bahkan tertipu
dengan tikus itu, kini, mereka berkerabat dan semakin penuh jeruji besi oleh
mereka.
Ini
kegagalan pendidikkan di Bangsa ini, tidak mencerdaskan tapi malah menumbuh
suburkan KKN di sana sini. Kalau saja etika profesi itu dipahami dan di
implementasikan dalam kesehariannya maka itu akan menjadi satu bagian yang utuh
dan tak perlu kita terjepit sistem yang kaku dan patuh pada setiap kesalahan
yang ada.
Modernisasi
atau depedensi? Setiap bangsa mempunyai otoritas untuk mengatur dan melindungi
segenap bangsa dan seluruh tumpah darahnya dengan akal, darah, dan tulangnya.
Pada saat mendengar istilah modernisasi maka yang teringat adalah perubahan
yang terjadi dalam bangsa itu disebabkan oleh faktor internal bangsa itu
sendiri, perubahan yang terjadi secara menyeluruh dan salah satunya adalah
terciptanya individu-individu yang memahami makna rasionalitas antara
nasionalisme dan religiusnya, tidak banyak bangsa ini yang mampu
mengkombinasikan kedua paham itu, satu orang ada dalam lingkup nasionalisme dan
satu bagian lain berada dalam golongan religius garis keras atau fanatic, tapi
berdiri sendir, sehingga hanya kekacauan yang terjadi dalam bangsa itu, tidak
memecahkan masalah bahkan memperbesar gelembung permasalahan bangsa,
iming-iming revitalisasi Pancasila, namun tidak berjalan, coba kita kaji ulang
dalam isi sila pancasila sila pertama dan ketiga, yang dengan jelas mengusung
nasionalisme dan agama sebagai dasar Negara “ketuhanan yang maha esa” dan
“persatuan Indonesia”. Terpampang dengan jelas isi dari sila pancasila itu yang
tidak berjalan seiring, namun menjadi pecahan golongan yang mencari induk
dimasing-masing tujuannya. Kata Depedensi, membuat kita teringat pada satu hal
bahwa perubahan yang terjadi dalam sebuah bangsa disebabkan oleh hal yang
berasal dari luar (eksternal) bangsa itu sendiri, sehingga cerminan otoritas
bangsa sebagai pemilik hak penuh tidak dicapai, percuma ada pancasila, ada
hukum ada undang-undang dasar jika kita saja tidak supremasi terhadap semua hal
itu. Bangsa lain bukan berdiri untuk mendikte kita, kita tak perlu di dikte
jika kita mampu merubah modernisasi dan mengutamakn internal lalu mereka akan
hilang dengan sendirinya, perubahan social adalah akibat yang akan berbicara
pada tataran ini, satu hal yang ditekankan adalah pendidikkan sebagai obat
dalam dahaga intelektual. Berangkat dari peramasalahan ini maka pendidikkan
adalah hal pasti yang harus terus diukur dan di perjuangkan keberlangsungannya,
tidak menjadi domino effect negatif tapi menjadi positif.
Tak
Bertuan..
d)
Ini tentang kisah yang tak layak kau
dengarkan..
Tak pantas kau sanjungkan dalam benak, anak
cucu ku dikemudian hari..
Tak bejat sebejat bejatnya, dan tak peka
sepeka pekanya,
Daun kering masih jauh lebih berharga dari
mereka..
Kau puja saja dia dalam gelimangan hormatnya..
Dan kau maki saja dia saat kau tak sepaham
dengannya..
Dia yang terhina tapi tak bisa kuhina
Dia yang terkutuk tapi tak bisa ku kutuk
Dia yang terendah tapi tak bisa direndahkan..
Apa? Pujangga mana yang akan menyairkan untuk
meneduhkan amarah?
Masih ada yang tercipta lebih Bengal dari
dia?..
Kau pikirkan dalam dalam, hingga terpikir
bahwa mereka diciptak bukan bagian dari kita..
Dan kita tercipta bukan bagian dari mereka..
Senandung..
Seperti surosowan yang telah pugar, dan kini
telah dimakan usia,,
Terlihat indah tapi tak terlihat agung..
Terlihat besar tapi tak berbentuk seperti yang
kau mau..
Bukan menyatakan bahwa ini adalah makian..
Kau simpan saja di relungnya, maka kan kau
tahu …
Setelah gelap ini anak cucuku kan lepas dari
ingatan mu,
Kita kan kembali pada masa, mereka tak
mengenalmu..
Pada masa hormat bukan segalanya..
Dibawah panggilan Tuhan…
Hikayat Pujangga Disenja Surosowan…
d)
Pujangga mana yang mampu berbaur
dengan kegembiraan?..
Sebutkan padaku. Dan tanyakan pada
ku..
Sepertiga senja telah terbit diufuknya
telah jingga,..
Dan kini kau lihat di sudut benteng
itu, terpaku jasad yang gelap..
Mereka berteriak dan berkata..
“aku pujangga yang kau Tanya”
Ah tak percaya kusebutkan dalam
benakku..
Kita tak pernah mampu berkata saat
mati,..
“aku yang kau hina dan kau rentakan”
Ah biasa saja seperti berbekas, senja
memang terlalu sering berbohong..
Kulenyapkan semuanya dalam hening, dan
geming ku telah kembali menyapa derajat yang rendah bahkan melambung tinggi
sekalipun..
Ku sebut dia “Getir” kercap yang telah
terngiang dalam hasrat, telah terbual dalam rayu sendunya..
Kini telah tergelatak sejak sepagi
ini, dan dia mati..
Biarkan saja dia kembali pada
tuhannya, dan biarkan dia kembali apda maha pencipta.. namun agungnya dia tak meamtikan
saraf ku untuk menutur lidah berkata
“Cantik”
Pujangga mana yang tak pernah berbaur
dengan kegetiran?..
Kusebutkan padamu. Dan ku jelaskan
padamu..
Malam-malam telah menjemput sisa siang
yang hampir tenggelam,..
Abu-abu kini langit telah berubah gelap..
atau mataku yang sudah tak mampu melihat ,…
Kubiarkan mereka menjadi siluet
senja, kita tetap akan melihat bahwa kau yang hitam diujung sana..
Telah terbentuk menjadi karang di
lubuk hati..
Mayatnya telah membusuk di khalbu, ini
bencana malam..
Tak terhindar..
Dewa malam, kau terlalu jujur padaku…
Haru jika kau akui .. aku adalah
bagian kegalauan yang telah gelap di sanjung gempita senja,
Hingga terbentur dalam geraknya..
Ah tak percaya..
“aku yang kau sebut tadi pujangga
malam”
Mungkin bisa mu saja bercerita sendu..
Kukernyitkan keningku sampai ku tutup
mataku..
“kau aku saja aku adalah kejujuran mu”
Bodoh jika kusebut kejujuran bahkan
terlalu rendah mengakuinya..
Ini kegetiran yang telah bias..
Dan ,,
Rasanya untuk menuduh takdir sebagai
kambing hitam kesalahan..
Adalah sebuah ketepatan..
Komentar
Posting Komentar