Langsung ke konten utama

KARYA SASTRA

Rakai Tangan Tuhan dari Merangin

(Gertak Lengan Tak Bernadi di 11 Purnama)

BAGIAN 1
Pada suatu senja di bukit Manggarai sebuah benda terbang dengan cepatnya dan dengan tak hingga hitungan detik yang berkilat bagai pusaran jutaan mill kecepatan anak panah yang melontar ke arah barat, dengan desingan bak seribu tawon yang gemuruh dan cahaya putih mengitari benda itu. Mewarnai gelap yang hampir tiba di tengah hutan Manggarai.

Hutan yang dikenal sebagai hutan larangan, dengan bebatuan dan tebing-tebing tinggi yang mencuat. Tak hanya pepohonan yang mengisi hutan itu namun juga binatang buas yang siap melahap siapa pun yang lewat hutan itu, singa, harimau, gajah hingga ular berbisa menjadi sebuah keangkeran dalam selimut hutan rimba itu.

Sepasang kaki berjalan hampir tiba di tengah hutan yang baru saja menginjakkan kaki ditanah Sumatera, kaki yang kekar dan berbulu dengan bakiak di tempahnya dari kayu dan baju serba putih dengan ikat kepala berwarna biru, ditubuhnya tersemat sebilah busur panah dan beberapa anak panah menjadi teman busur itu. Rambut hitam panjang terurai menegaskan bahwa dia adalah pemuda pengembara yang tak pelak merupakan pemuda berkepandaian tinggi.

“Sreett…”
Kaki lelaki itu menginjak jerat yang sejak belasan hari terpasang di hutan itu, nampaknya ada yang sengaja memasang jerat tersebut untuk menangkap binatang yang lewat, namun kali ini sial yang nyaris tertangkap adalah pemuda tampan yang berbusur panah, dengan secepat kilat pemuda itu melompat dan tak sekejap mata pun melihatnya dia  telah berada diatas sebatang ranting pohon yang tepat berada disebelah jerat tersebut.

“prett kampret…nyaris saja, di kira aku babi hutan akan dijerat begini..”
Sembari membenarkan busur panah yang ada dibalik punggungnya dan dengan segera memandang kesegala arah takut-takut ada sesuatu yang mengintainya, dan benar saja, belum lepas mata pemuda itu memandang sebatang tombak nyaris mendarat di ulu hati pemuda itu, namun dengan sigap pemuda itu masih sanggup mengindar dan melompat ke bawah pepohonan tersebut, amat sangat terkejut pemuda itu, belum hilang rasa terkejutnya, sebuah tombak kembali melayang tepat diarah matanya, seketika pemuda itu menangkis bilah tombak itu dengan cara menendangnya berlawanan, dan tombak itu berbalik arah.

“sreeekk…”
Terdengar suara semak bergoyang disekitar pepohonan yang jaraknya hanya bebrapa tombak dari pemuda itu tepat berdiri seorang lelaki tanpa baju, hanya selembar daun jati yang menempel tepat diaurat bagian bawahnya. Lelaki itu setengah baya dan lusuh dengan rambut gimbal dan sebuah panah masih terpegang erat ditangannya, tepat sebelah lelaki itu berdiri, seekor srigala masih setia mendampingi lelaki itu.
“serang …”
Lelaki lusuh itu memberi perintah pada srigalanya untuk menyerang pemuda itu, namun beberapa langkah pemuda itu terpaksa mundur dan sigap menghindar dari terkaman srigala tersebut.
“hiaatt..”
Beberapa gerak langkah kakinya terbang ke udara, dan dengan segera membalas serangan hewan liar yang tak terbayang rasa garang yang diperlihatkan dari tatapan mata dan cakar serta taring yang sipa merobek dan mencabik cabik tubuh pemuda itu.
“jebrreett..”
“kraaakk..”
“gubrakk….”Srigala itu terpental beberapa langkah dari pemuda itu, dan mengaum seakan menggetarkan sunyi malam di hutan larangan itu, dan tak pekik rasanya hutan ini menjadi sebuah keangkeran yang tersendiri, siapa pun akan merindung jika berada sendiri dalam suasana gelap dan auman srigala.
Kembali menyerang srigala itu dan melompat mengahmpiri pemuda itu dengan tatapan tajamnya dan cakar yang tajam mengarah tepat kewajah pemuda itu, namun dengan sigap pemuda itu menghindar dan tak sangka gerakan tipuan seakan menghindar itu kaki kanan pemuda itu menyiapkan tendangan berisi tenaga dalam yang sanggup menghancurkan sebongkah batu gunung dan tepat mendarat di kepala srigala itu, srigala itu dengan cepat terpental dan membentur batang pohon yang tepat disebelah lelaki separuh baya itu berdiri, dan tak bergerak lagi…
“kurang ajar…”
Lelaki separuh baya itu menyerang balik pemuda itu dengan satu mata tombaknya yang dihunuskan dan tanpa ragu menghujam perut pemuda itu namun hanya terkena angin lalu, dan bertubi menghujam dada, kaki dan kepala pemuda itu, namun pemuda itu masih sigap dan tak terlalu lincah untuk mendapatkan serangan seorang lelaki separuh baya.
Rupanya lelaki separuh baya itu masih tergolong sakti, dia berkepandaian cukup tinggi yang Nampak dari serangannya yang masih tak terbaca oleh pemuda itu. Kali dengan kekuatan dahsyat tombak lelaki separuh baya itu nyaris menghujat di pelipis matanya dan benar saja pemuda itu tak sempat menghindar, namun beberapa helai rambutnya terkena ujung tombak itu, masih untung tak kena batok kepalanya, jika kena pemuda itu akan segera bersimbah darah segar..
“tunggu..tunggu..”
“hmmm..”lelaki separuh baya itu dengan nada geram menajawab, dengan mata tertuju pada pemuda itu dan masih tajam seakan menembus tulang si pemuda.
“engkau itu siapa? Kenapa tiba-tiba menyerangku?” sembari berdiri tepat dihadapan lelaki separuh baya itu
“kau belum tahu siapa aku? Kau layak mati anak muda…”
“hei hei…hei…mati, mati saja kau ini..” sembari meletakkan telunjuknya di depan mulut pemuda itu.
“mati itu urusan gusti Allah, engkau siapa kakek tua? Bagaimana aku tahu jika kenalan saja tidak hik..hik ..hik” dalam suaranya pemuda itu amsih sempat melempar tawa pada lelaki tua itu yang sejak tadi memandang tajam kearahnya.
“Aku lelaki Dusun Setan, penjaga hutan manggarai ini, siapapun yang melewati hutan ini telah sepantasnya keluar tanpa nyawa…
“haha?? Owhhh engkau si si manusia srigala itu? Yang terkenal di ujung 4 penjuru mata angin hutan manggarai ini? ..”
“yahh..kau tahu aku? Berarti sudah cukup itu untuk membuat kau mati tak penasaran…hhmm,,,,.” Cetus lelaki separuh baya itu seringainya masih saja menyeramkan, dia lelaki yang telah lama tinggal di hutan Manggarai ini dan dia adalah ketua dari suku anak dalam yang ada di hutan manggarai ini, dia memang biasa menangkap siapa saja yang lewat hutan itu dan menjadikannya sebagai santapannya, telah banyak yang menjadi korban dari keganasan si manusia srigala itu terutama penduduk desa yang tinggal disekitar hutan itu, dan alih-alihnya menjadi sebuah cerita angker pengisi hutan manggarai ini.
“hik hik hik…” pemuda itu tertawa, sembari membenarkan kembali busur anak panah yang sejak tadi masih digendongnya.
“jadi engkau mau membunuhku lalu mau kau apakan aku?” pemuda itu bertanya masih sembari mengejek lelaki separuh baya itu dan dengan sedikit melangkah kekiri pemuda itu membalas tatapan tajam lelaki separuh baya itu.
“akan kumakan kau dan kujadikan tangkapan ku yang termanis di ujung hari ini..hmmm..”lelaki separuh baya itu menjawab sembari mengeram dan mengaung bak seekor singa yang lapar.
“owhh..jadd..i” belum selesai pemuda itu berbicara sebuah pukulan nyaris mendarat di dada pemuda itu, lelaki separuh baya itu menyerangnya secara tiba-tiba dan membabi buta.
“geprak…”
Sebatang pohon tumbang terkena pukulan si Manusia Srigala itu tak lain itu adalah jurus raungan seribu cakar srigala manggarai dan dengan segera pemuda itu menghindar beberapa langkah dan menyiapkan pukulan di tangan kanannya dengan mengumpulkan tenaga dalam yang sejak tadi dia selalu menghindar.
Melompat beberapa langkah dan membalas pukulan lelaki tua itu dengan kepalan tangan kananya yang tak disepelekan kekuatannya sebanding dengan seribu pukulan raksasa, jika menghantam batu akan dipastikan batu itu akan remuk seketika, namun kali ini tak disangka pukulan itu hanya mengenai angin lalu dan si Manusia Srigala telah lebih dulu mengenai punggung pemuda itu.
“gebraaakk..”
Pemuda itu terjatuh beberapa tombak dan terpental membentur pohon yang ada di hadapan nya tadi. Dengan punggung yang lebam sepertinya tulang belakang punggung itu telah remuk oleh pukulan Si Manusia Siluman itu. Tubuh pemuda itu terkapar di balik sebatang pohon itu, dengan meraung kesakitan yang hanya dikeluarkan dalam rongga dadanya yang tertahan. Mencoba berdiri, dengan kaki sebelah kanan berdiri dan sebelah kiri masih menyentuh tanah hingga kelutut, pemuda itu mengatur nafasnya.
“sudah tiba kau menjadi santapan malamku anak muda..” lelaki separuh baya itu menghampiri pemuda itu yang menyemburkan darah segar dari mulutnya, luka dalamnya semakin parah sepertinya dan dia semakin tak mampu bangkit.
“hekk heggk..” pemuda itu muntahkan darah segar kembali, namun dengan amsih mencoba berdiri dan mengumpulkan tenaga dalamnya untuk mempersiapkan serangan lelaki separuh baya yang menghampirinya.
“sleebbbb..” tombak lelaki separuh baya itu diarahkan bagian perut si pemuda itu dan hanya beberapa kejap saja mata tombak itu dipastikan tepat mengenai perut pemuda itu.
“braaakk….”
“weeeess…” seseorang terbang menyambar pemuda itu dan segera membawanya kabur, dan menjauh dari si manusia Srigala itu, dan dengan cepat orang itu hilang di telan gelapnya malam dan tak terlihat..
“kurang ajar…” manusia Srigala itu mengeram dan merutuk orang yang membawa kabur buruannya itu, sembari mengaum, matanya masih memandang tajam kearah orang itu pergi namun tak berniat mengejarnya, manusia Srigala itu meninggalkan tempat itu..







BAGIAN 2

Di sebuah gubuk yang teranyam dari bambu dan beratap jerami, dengan obor dan lampu menjadi satu-satunya penerang yang ada di tempat itu, jauh dari kota raja, gubuk itu hanya ada satu ditempat itu, sebua tempat tidur reot dan sebuah bantal kapuk dengan beralaskan jerami yang ditumpuk tipis dan dibalut kain, seorang ibu tengah menahan sakit berjuang untuk kelahiran buah hatinya, dia Ratna, seorang wanita berusia tidak lebih dari dua puluh tahun, wanita itu istri pradita, yang telah tiga purnama meninggalkan istrinya yang tengah hamil tua untuk mencari suatu hal penting yang tak dapat di tinggalkannya, titah dari gurunya yang ia peroleh saat bersemedi di goa sangir.

kucuran keringat terus menetes dan pada saat itu tepat malam empat belas yang tepat saat bulan purnama. Namun bulan yang harusnya memancarakan cahaya terang nyatanya tak seutuh biasanya, redup kian menemanin sisa malam itu dan seperti memberi sepi yang sangat pada suasana malam itu.

Angin berhembus kencang dan semakin semilir dingin di luar rumah, dua pasang mata yang sejak tadi terus menunggu untuk menjadi saksi lahirnya seorang anak  manusia ke alam dunia. Dingin semakin seimbang dengan larutnya malam, sejoli yang saling menyapa dan saling setia menemani sisa malam yang telah kira-kira pukul Sembilan sampai 12 malam, suara jangkrik menjadi teman mememcah kesunyian dan gemericik air yang ada dibelakang rumah menjadi nyanyian sendu yang menepikan rasa gundah sang ibu sembari sekali-kali menahan rasa sakit dan sekali-kali pula menggit kecil kain yang ada di tangannya.

“ayo neng sedikit lagi..”
“ehhhggg..ehhhgg..”
“udah keliatan tuh kepala bayinya …”
“iya mboo…ehhhgg..ehhgg..”
“tarik nafas yang dalam neng, terus..teruuuss..”
Berklai-kali seorang wanita lebih separuh baya itu berucap memberikan perintah pada wanita yang tengah berjuang menahan sakit itu. Wanita tua itu mbo Sarmi, seorang dukun beranak yang tinggal di desa perbatasan, dan telah terbiasa membantu persalinan dan sering dipanggil untuk membantu persalin di desa sekitarnya, Seakan harap terus diberikan pada wanita itu dengan tergopoh dan sembari terengah wanita itu terus membantu wanita muda itu.

Udara di luar semakin menusuk dan terasa menyulut kedalam tulang-tulang, sinar rembulan yang sejak tadi terang benderang perlahan bergerak redup dan kemudian  hilang. Sekitar menjadi gelap dan tak pelak suasana menjadi semakin sepi dan tak ada hawa bahwa itu adalah sebuah tempat tinggal manusia, gelapnya membunuh sekitar dan meredupkan setiap jengkal dusun itu.

Semakin dalam dan semakin sunyi siring dan seirama dengan perjuangan terengah si ibu yang sejak tadi
 “oeeek  oeekkk…oeekkk ….oeeekkkk…”
“alhamdulilahhhh…bayinya udah lahir neng..”
Wanita tua yang sejak tadi memegang perut Ratna itu berkata sembari memasukan tangannya kedalam kain persalinan siibu muda itu dan dengan segera sijabang bayi yang masih berlumuran darah itu akhirnya terlahir.

“bayinya laki-laki neng, ganteng anaknya…” wanita yang sejak tadi sibuk membantu itu terus berucap memuji sang jabang bayi yang masih digendongnya, si ibu jabang bayi hanya tersenyum dan kemudian tak sadarkan diri. Mungkin lelah untuk berjuang sejak sesore tadi untuk melahirkan si jabang bayi, dan perjuangannya terbayar sudah dengan lahirnya jabang bayi yang diharapkan dan ditunggunya itu. Serasa letih telah hilang yang disematkannya dalam senyum kecil sebelumnya.

Wanita tua itu dengan segera keluar dari kamar mungil itu dan dengan segera mengambil sebuah tempat air di dapur dan memandikan sijabang bayi dengan mengusap-ngusapnya menggunakan kain kecil yang sejak tadi dipegangnya, dan dibersihkan sijabang bayi itu dengan hati-hati.

Dengan segera Mbo  Sarmi membawa si jabang bayi yang telah bersih itu kedalam gubuk mungil itu, dan menggendongnya dengan sehelai kain berwarna coklat dengan batik tulis disekitar kain itu berbentuk bunga. Di eratkan kain itu ke tubuhnya dan mengikatnya dan  kemudian sembari mengayun-ngayunkan si jabang bayi itu, perlahan untuk menidurkannya.

“gedepak..gedepak..gedepak…”
Terdengar suara kuda yang berlari kencang di luar rumah, dan dengan segera mbo Sarmi berubah raut wajahnya menjadi cemas, menggigil tubuh tuanya itu dan segera menutup jendela yang sejak tadi hanya tertutup kain hitam tipis, mengunci rapat-rapat jendela itu, belum sempat dia meraih kunci jendela yang terbuat dari kayu itu tiba-tiba sebuah batu kecil berwarna hitam mendarat di pelipis wajah wanita tua itu, dan dengan segera wanita tua itu terjatuh dan segera pula darah mengucur dari pelipis wajahnya yang dari sana batu kecil itu tak muncul lagi, batu itu sanggup dengan mudah menembus kulit wajah wanita tua itu.

Dengan tubuh yang hanya meraungkan suara lirih dia masih berusaha berdiri dan mencoba meraih kain putih kecil dan kotak hitam kecil yang berada lima jengkal dari tempat dia terjatuh. Diambilnya kotak kecil hitam yang berlukiskan melati dan sebuah keris di dua sudut mukanya, dan segera menyelinapkannya di balik lengan si Jababng Bayi lalu kemudian dengan sisa tenaganya wanita tua itu segera membungkus si Jabang bayi, dan sembari menghentakkan Kaki kanannya ke lantai tanah dalam keadaan telungkup, dan segera di sudut rumah mungil itu berubah gelap, dan dengan segera pula seekor harimau putih muncul disampingnya dengan tubuh yang sebesar kambing namun lebih gemuk dan Harimau itu berkumis tujuh di dua sisi mulutnya, menatap wanita Tua itu dan segera tanpa jejak melompat melalui jendela yang sejak tadi terbuka di rumah mungil itu, Harimau itu lenyap di telan malam.

Lelaki berjubah hitam yang tadi melempar batu hitam kecil itu segera masuk kedalam, dan memeriksa sekitar ruangan itu, dan hanya dua sosok yang telah terbaring sejak tadi saja, dan dihampiri wanita tua itu dengan segera, sembari membalikan wajah wanita rua itu.
“dimana jabang bayi itu?” lelaki berjubah Hitam itu bertanya dengan mata merah dan melotot pada Mbo Sarmi,
“dia sudah pergi..hhik hik..” wanita tua itu masih sempat tertawa, sedikit bahagia dia masih dapat selamatkan jabang bayi itu.
“heeh, kurang ajar, segera tunjukan dimana jabang bayi itu? Atau nyawamu akan melayang bersama angin malam?..”bentak lelaki berjubah Hitam itu.
“hhikhik…kau cari saja sendiri…”masih menyempatkan tertawa dengan lirih dan wajah masih dipenuhi darah segar, karena pelipisnya yang masih tak henti mengeluarkan darah…
“sreeeettt..takk..” satu pukulan mendarat diwajah wanita tua itu dan tepat di leher nya, dan segera darah mengalir deras dari leher dan mulut wanita tua itu dan akhirnya tak bergerak lagi.

Lelaki berjubah hitam itu bangunkan diri, dan dengan segera menghampiri Ratna yang sejak tadi tergolek lemas dan masih belum sadarkan diri, lalu mengambilnya dan menaruhnya di bahu lelaki berjubah Hitam itu dan dengan segera melompat dari jendela itu sembari melemparkan sebuah Batu Hitam berbentuk segi lima kea rah rumah mungil itu.
“duaaarrrr….” Rumah itu terbakar hangus, dan api menyala besar lalu melahap rumah mungil yang terbuat dari kayu dan jerami itu…
Lelaki berjubah hitam itu lalu melompat tepat dipunggung kudanya yang sejak tadi berdiri di depan rumah mungil itu.
“hiaahht…heeeggh..”
“keteprak ..keteprak..keteprak…” kuda itu segera berlari kencang menembus angin malam yang gelap dan semakin redup dengan lenyapnya cahaya rembulan yang sejak tadi menyaksikan malam durjana itu.




BAGIAN 3


Dibalik sebatang Pohon Maranti yang besar di tepi sebuah sungai lelaki yang sejak tadi menggendong Ratna berhenti da kemudian duduk sembari meletakkan Ratna di balik pohon itu. Wanita itu masih saja tak sadarkan diri, lelaki itu telah menyirapnya sehingga wanita itu akan tetap tertidur untuk beberapa saat sesuai keinginan sipemilik sirep itu, selain itu pula aliran darahnya telah ditotok oleh lelaki berjubah hitam itu sehingga walaupun dia tersadar dia tak akan dapat bergerak.

Lelaki itu memandang kesekitar sungai  dan keseluruh penjuru mata angin dan kemudian komat-kamit seperti membaca aliran mantra yang tak henti di sebutnya, alunan mantra itu adalah untuk memanggil sesuatu makhluk yang dimunculkan dari alam gaib. Sembari kemudian dia mengambil sebuah ikat kepala dari balik jubah hitamnya, ikat kepala berwarna kuning, yang kumudian dia ikatkan dikepalanya.

Air disekitar sungai itu kemudian bergetar hebat dan berputar lalu semakin deras dan kemudian sebuah dentuman besar meledak dari tengah pusaran air itu, dan dengan segera muncul sebuah istana yang megah perlahan dengan berlian tersemat disetiap dipagarnya, marmer menjadi lantai yang tak kalah indah di dasarnya, dan dinding berwarna emas, laksana sebuah Candi tua namun artistic bangunan istana itu, decak kagum pasti akan tersemat dari siapapun yang melihatnya, tak kan terbayang tak indah lagi jika manusia manapun melihatnya..

Air disekitar masih terus bergerak dan mencuar keatas, lelaki berjubah Hitam itu lalu memangku Ratna kembali dan segera melompat ke air itu, napak sancang menjadi sebuah ilmu yang dipergunakan oleh lelaki itu untuk mampu berjalan di atas air dan segera berlutut dan sembari menempelkan kedua telapak tangannya dan menundukkan kepalanya, dan tiba-tiba pintu istana itu terbuka lebar, pertanda pemilik istana itu mengizinkannya untuk masuk.

Lelaki berjubah Hitam itu segera masuk dan beberapa langkah lelaki itu berjalan  istana itu lalu lenyap dari pandangan bersama lenyapnya lelaki berjubah hitam itu di dalam istana, dan air di sekitar kembali meriak dan berpusar lalu tenang.

Lelaki berjubah Hitam itu sampai disebuah pintu lalu seorang wanita menggunakan kain kemban membukanya sembari melepaskan tangan kehadapan lelaki berjubah Hitam itu.
“siapa?”
“aku Gresang”
“owhh..silahkan masuk, ketua telah menunggu mu sejak tadi…”
Lelaki berjubah Hitam itu segera masuk ke dalam dan meletakan Ratna diatas sebuah batu sembari menidurkannya,

“kerja yang bagus Gresang…” wanita yang tiba-tiba muncul dengan berpakaian serba kuning, dengan gelang perak dan kuncir Rambut yang dibalut dengan sebuah kain penutup kepala berwarna Kuning serta bercadar Kuning, itu kemudian berucap dan menepuk pundak lelaki berjubah Hitam itu.
“terimakasih ketua…” lelaki berjubah Hitam itu sembari merendahkan dirinya dan kemudian bangun lalu duduk di sebuah batu yang mirip kursi yang terbaris memang sengaja untuk tempat dilakukannya pembicaraan antar mereka.
“tapi ketua, aku masih gagal membawa jabang Bayi itu..”
“jabang bayi itu harus segera kau bawa kemari, sebelum purnama dibulan kedua nanti, di  hari itu siang hari akan tepat dengan gerhana matahari dan sijabang bayi itu harus telah berada di sini”..wanita bercadar Kuning itu menegaskan dan sembari memegang cadarnya dan mendekati wanita yang sejak tadi terbaring di tempat tidur batu itu.
“Aku mengerti ketua, akan ku ambil Jabang bayi itu sebelum purnama itu dan kuserahkan padamu..”
“bagus, …hmm jangan kecewakan aku..”
“baik ketua, ..”
“Ada yang ingin kau katakana lagi ?”
“ketika aku dirumah mungil itu, aku membunuh seorang wanita Tua, Sarmi namanya wanita tua itu..dan dia yang terakhir membawa jabang bayi itu, yang kemudian lenyap saat aku hampiri sijabang bayi itu..”
“Hmmm..Sarmi?..dia seorang wanita Harimau yang telah kehilangan kesaktiannya sejak dia menjadi manusia, namun dia masih dijaga oleh seekor Harimau putih berkumis 7 di kedua sisi mulutnya…”
“iyah ketua, aku mendengar auman seekor Harimau saat aku hendak masuk kedalam Rumah itu..ketua mengenal wanita tua itu, sepertinya ketua tahu banyak tentang wanita itu?..”
“Aku pernah mendengarnya dari guru ku pada masa lalu, wanita tua itu dahulu adalah seorang manusia harimau yang ditakuti di empat penjuru mata angin di Merangin, bahkan sampai keseluruh Andalas, dia memiliki sebuah senjata sakti yang hanya dia yang memilikinya, senjata itu adalah sebuah cemeti, yang jika benda itu mengenai gunung maka gunung itu akan hancur seketika, namun kemudian namanya hilang ditelan bumi, sejak beberapa tahun ini tak pernah terdengar lagi dia ada di mana, tujuh buah kumis Harimau itu adalah sebuah mustika, siapapun yang memilikinya akan dapat mengendalikan semua Harimau yang ada di jagad raya ini.. dan Harimau itu memiliki permata di atas kepalanya, dan siapapun yang dapat mengambil permata itu, maka dia akan menjadi seorang pendekar pilih tanding di dunia ini”
“menganggumkan sekali wanita tua itu ketua, tapi sayang kini dia telah mati ditangan ku..hahaa haa..”
“Ada kemungkinan jabang bayi itu dia berikan kepada Harimau peliharannya itu untuk diselamatkan, dan suatu saat Harimau itu akan mencari kita, kita harus mempersiapkan diri, dan kini pekerjaanmu pun akan menjadi semakin sulit, karena jabang Bayi itu di lindungi oleh Harimau putih itu….ahh sudah lah, lebih baik kau beristirahat sejenak di istana ini, ”
“Terima kasih ketua, aku akan segera mencari jabang bayi itu..mohon pamit…”
Lelaki berjubah Hitam itu segera keluar dan bergegas kedalam ruangan di sebelah dalam yang terhitung tiga baris dari ruang pertemuan tadi, lalu lelaki berjubah Hitam itu segera masuk dan menutup pintunya…

Ratna yang sejak tadi terbaring ternyata telah tersadar namun tidak dapat bergerak, karena totokan di aliran darahnya yang dilakukan oleh si jubah Hitam masih belum terbebas, sehingga dia hanya mampu mendengarkan semua pembicaraan lelaki berjubah hitam itu dengan wanita bercadar kuning namun tak dapat berbuat apa-apa, rasa cemas hadir di dalam hatinya, semua ketakutan berkecamuk, tak tertahan rasanya dia ingin menangis mendengar semua penuturan mereka itu namun dalam hatinya masih tersemat rasa syukur pada yang maha kuasa, karena jabang bayi nya masih belum berhasil didapatkan oleh lelaki berjubah Hitam itu, namun dia juga cemas tentang keberadaan jabang bayinya itu yang belum sempat dia beri nama sama sekali.
Dia hanya berdoa pada yang maha kuasa agar jabang bayinya dapat selalu berada dalam lindungannya, dan dia selalu berharap untuk dapat melihat suaminya yang tengah mengembara walau untuk terakhir kalinya. Semakin takut dia didalam hatinya, benaknya semakin penat, dadanya terasa menyempit, hatinya seakan menggunung dan tak dapat ditahan lagi air mata keluar dari bola matanya yang sejak tadi berkedip-kedip. Walau tubuhnya tak dapat bergerak namun pikirnya masih dapat berjalan dengan baik. Nafas semakin terengah menahan tangisnya, walau air matanya telah keluar namun sesak nafas masih tertahan di dalam dadanya.

Ia dan suaminya pernah mengisayaratkan nama untuk bayi mereka pada suatu malam, dan mereka telah mengira-ngira bahwa mereka akan memperoleh seorang bayi lelaki yang gagah perkasa dan akan menjadi kebanggaan keluarganya, seperti ayahnya. Namun mimpi-mimpi itu nyaris tak tertebak ujungnya, akan seperti apa nantinya setelah sijabang bayi tak diketahui adanya, dan dia masih dalam genggaman manusia-manusia asing yang pasti berniat buruk pada nya dan jabang bayinya.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

POLITIK DAN KETIDAK DEWASAANNYA

D"opini" “Semakin dewasa perpolitikan itu semakin terlihat kacau, antara yang memaknai dan yang berperan dalam mendefinisikan kacau, elit hilir mudik mencari cara untuk membentuk kemenangan dengan jalan prestisius dalam anggapannya” Apa yang kita paham tentang politik? Apa yang kita paham tentang kedewasaan? Adakah kaitan dari kedua kata ini? Politik dan kedewasaan adalah sebuah proses saling bertoleransi dan saling bersikap untuk sebuah upaya yang lebih baik melalui sistem kesadaran. Jika kita berbicara politik dan kedewasaannya, maka kita akan membicarakan sebuah sistem yang telah tertata rapi dan telah terbentuk dengan sangat detail sehingga orang diluar atau actor politik akan dapat memahami alur yang berkembang. Sistem yang dimaksud adalah sebuah sistem yang berlandaskan kesadaran. Sistem yang berlandaskan kesadaran adalah tingkatan sistem yang telah mencapai titik sempurna dan telah berada dalam tingkatan teratas dari berbagai sistem yang ada, sebu...

Tentang "Jadi" Jurnalis

Menjadi seorang jurnalis adalah sesuatu yang berbeda. Walau tak sekeren profesi lain semisal dokter, PNS, pegawai BUMN atau lainnya yang berseragam. Tidak hanya kalah keren, tapi profesi ini pun belakangan lebih sering bergelut dengan stigma. Banyak kalangan yang menilai profesi ini tidak lebih dari sekedar mencari kesalahan orang. Lalu menukarnya dengan rupiah. Ah kejam sekali mereka yang berpandangan demikian. Tapi ku kira bukan hal yang salah juga pandangan itu muncul. Bagaimana tidak sitgma itu muncul, jika kemudian “kartu pers” bisa dengan mudah dibuat. Bisa dengan mudah digunakan sebagai kartu sakti. Mending kalau kartu itu digunakan oleh orang yang tepat, orang yang paham akan fungsi dan etikanya. Jika digunakan oleh segelintir oknum, rasanya itu yang membuat stigma ini muncul. Seharusnya ada pembatasan dan aturan, yang bisa menjaga ini. Agar tak sembarang orang bisa mengidentikan dengan profesi jurnalis dan sedikit-sedikit atas nama “Pers”. Bayangkan, ketika kartu sakti...

Perkara Gus dan Pedagang Es teh

  Credit foto : Detik.com Petruk bingung, belakangan, panggung media sosial hingga media massa, bahkan pos ronda ramai dengan berita tentang seorang Gus yang merupakan utusan presiden sekaligus tokoh ulama berseteru dengan netizen. Yah, petruk bilang berseteru dengan netizen karena bapak penjual es teh yang disebut "goblok" oleh utusan presiden itu tak berseteru langsung. Hanya saja hatinya mungkin merasa tersakiti ketika ucapan utusan presiden itu terlontar dengan lantang didepan hadirin yang banyak. Tapi kembali lagi hati orang siapa yang tahu. Tapi, ucapan pedas yang katanya hanya candaan itu ternyata menusuk dalam di relung hati banyak warganet. Terang saja, balasan hujatan terlontar lebih dari kata "goblok" pada utusan presiden itu. Luapan kekesalan netizen ditumpah ruahkan di berbagai platform media sosial.  Memang jangan sepelekan warganet atau netizen, kekuatannya lebih hebat daripada sebatas kekuatan orang dalam. Karena penjual es teh disakiti, semua netize...