Rakai Tangan
Tuhan dari Merangin
BAGIAN 3
(Gertak Lengan Tak Bernadi di 11 Purnama)
BAGIAN 1
Pada suatu
senja di bukit Manggarai sebuah benda terbang dengan cepatnya dan dengan tak
hingga hitungan detik yang berkilat bagai pusaran jutaan mill kecepatan anak
panah yang melontar ke arah barat, dengan desingan bak seribu tawon yang
gemuruh dan cahaya putih mengitari benda itu. Mewarnai gelap yang hampir tiba
di tengah hutan Manggarai.
Hutan yang
dikenal sebagai hutan larangan, dengan bebatuan dan tebing-tebing tinggi yang
mencuat. Tak hanya pepohonan yang mengisi hutan itu namun juga binatang buas
yang siap melahap siapa pun yang lewat hutan itu, singa, harimau, gajah hingga
ular berbisa menjadi sebuah keangkeran dalam selimut hutan rimba itu.
Sepasang
kaki berjalan hampir tiba di tengah hutan yang baru saja menginjakkan kaki
ditanah Sumatera, kaki yang kekar dan berbulu dengan bakiak di tempahnya dari
kayu dan baju serba putih dengan ikat kepala berwarna biru, ditubuhnya tersemat
sebilah busur panah dan beberapa anak panah menjadi teman busur itu. Rambut
hitam panjang terurai menegaskan bahwa dia adalah pemuda pengembara yang tak
pelak merupakan pemuda berkepandaian tinggi.
“Sreett…”
Kaki lelaki
itu menginjak jerat yang sejak belasan hari terpasang di hutan itu, nampaknya
ada yang sengaja memasang jerat tersebut untuk menangkap binatang yang lewat,
namun kali ini sial yang nyaris tertangkap adalah pemuda tampan yang berbusur
panah, dengan secepat kilat pemuda itu melompat dan tak sekejap mata pun
melihatnya dia telah berada diatas sebatang ranting pohon yang tepat
berada disebelah jerat tersebut.
“prett
kampret…nyaris saja, di kira aku babi hutan akan dijerat begini..”
Sembari
membenarkan busur panah yang ada dibalik punggungnya dan dengan segera
memandang kesegala arah takut-takut ada sesuatu yang mengintainya, dan benar
saja, belum lepas mata pemuda itu memandang sebatang tombak nyaris mendarat di
ulu hati pemuda itu, namun dengan sigap pemuda itu masih sanggup mengindar dan
melompat ke bawah pepohonan tersebut, amat sangat terkejut pemuda itu, belum
hilang rasa terkejutnya, sebuah tombak kembali melayang tepat diarah matanya,
seketika pemuda itu menangkis bilah tombak itu dengan cara menendangnya
berlawanan, dan tombak itu berbalik arah.
“sreeekk…”
Terdengar
suara semak bergoyang disekitar pepohonan yang jaraknya hanya bebrapa tombak
dari pemuda itu tepat berdiri seorang lelaki tanpa baju, hanya selembar daun
jati yang menempel tepat diaurat bagian bawahnya. Lelaki itu setengah baya dan
lusuh dengan rambut gimbal dan sebuah panah masih terpegang erat ditangannya,
tepat sebelah lelaki itu berdiri, seekor srigala masih setia mendampingi lelaki
itu.
“serang …”
Lelaki
lusuh itu memberi perintah pada srigalanya untuk menyerang pemuda itu, namun
beberapa langkah pemuda itu terpaksa mundur dan sigap menghindar dari terkaman
srigala tersebut.
“hiaatt..”
Beberapa
gerak langkah kakinya terbang ke udara, dan dengan segera membalas serangan
hewan liar yang tak terbayang rasa garang yang diperlihatkan dari tatapan mata
dan cakar serta taring yang sipa merobek dan mencabik cabik tubuh pemuda itu.
“jebrreett..”
“kraaakk..”
“gubrakk….”Srigala
itu terpental beberapa langkah dari pemuda itu, dan mengaum seakan menggetarkan
sunyi malam di hutan larangan itu, dan tak pekik rasanya hutan ini menjadi
sebuah keangkeran yang tersendiri, siapa pun akan merindung jika berada sendiri
dalam suasana gelap dan auman srigala.
Kembali
menyerang srigala itu dan melompat mengahmpiri pemuda itu dengan tatapan
tajamnya dan cakar yang tajam mengarah tepat kewajah pemuda itu, namun dengan
sigap pemuda itu menghindar dan tak sangka gerakan tipuan seakan menghindar itu
kaki kanan pemuda itu menyiapkan tendangan berisi tenaga dalam yang sanggup
menghancurkan sebongkah batu gunung dan tepat mendarat di kepala srigala itu,
srigala itu dengan cepat terpental dan membentur batang pohon yang tepat
disebelah lelaki separuh baya itu berdiri, dan tak bergerak lagi…
“kurang
ajar…”
Lelaki
separuh baya itu menyerang balik pemuda itu dengan satu mata tombaknya yang
dihunuskan dan tanpa ragu menghujam perut pemuda itu namun hanya terkena angin
lalu, dan bertubi menghujam dada, kaki dan kepala pemuda itu, namun pemuda itu
masih sigap dan tak terlalu lincah untuk mendapatkan serangan seorang lelaki
separuh baya.
Rupanya
lelaki separuh baya itu masih tergolong sakti, dia berkepandaian cukup tinggi
yang Nampak dari serangannya yang masih tak terbaca oleh pemuda itu. Kali
dengan kekuatan dahsyat tombak lelaki separuh baya itu nyaris menghujat di
pelipis matanya dan benar saja pemuda itu tak sempat menghindar, namun beberapa
helai rambutnya terkena ujung tombak itu, masih untung tak kena batok
kepalanya, jika kena pemuda itu akan segera bersimbah darah segar..
“tunggu..tunggu..”
“hmmm..”lelaki
separuh baya itu dengan nada geram menajawab, dengan mata tertuju pada pemuda
itu dan masih tajam seakan menembus tulang si pemuda.
“engkau
itu siapa? Kenapa tiba-tiba menyerangku?” sembari berdiri tepat dihadapan
lelaki separuh baya itu
“kau belum
tahu siapa aku? Kau layak mati anak muda…”
“hei
hei…hei…mati, mati saja kau ini..” sembari meletakkan telunjuknya di depan
mulut pemuda itu.
“mati itu
urusan gusti Allah, engkau siapa kakek tua? Bagaimana aku tahu jika kenalan
saja tidak hik..hik ..hik” dalam suaranya pemuda itu amsih sempat melempar tawa
pada lelaki tua itu yang sejak tadi memandang tajam kearahnya.
“Aku
lelaki Dusun Setan, penjaga hutan manggarai ini, siapapun yang melewati hutan
ini telah sepantasnya keluar tanpa nyawa…
“haha??
Owhhh engkau si si manusia srigala itu? Yang terkenal di ujung 4 penjuru mata
angin hutan manggarai ini? ..”
“yahh..kau
tahu aku? Berarti sudah cukup itu untuk membuat kau mati tak
penasaran…hhmm,,,,.” Cetus lelaki separuh baya itu seringainya masih saja
menyeramkan, dia lelaki yang telah lama tinggal di hutan Manggarai ini dan dia
adalah ketua dari suku anak dalam yang ada di hutan manggarai ini, dia memang
biasa menangkap siapa saja yang lewat hutan itu dan menjadikannya sebagai
santapannya, telah banyak yang menjadi korban dari keganasan si manusia srigala
itu terutama penduduk desa yang tinggal disekitar hutan itu, dan alih-alihnya
menjadi sebuah cerita angker pengisi hutan manggarai ini.
“hik hik
hik…” pemuda itu tertawa, sembari membenarkan kembali busur anak panah yang
sejak tadi masih digendongnya.
“jadi
engkau mau membunuhku lalu mau kau apakan aku?” pemuda itu bertanya masih
sembari mengejek lelaki separuh baya itu dan dengan sedikit melangkah kekiri
pemuda itu membalas tatapan tajam lelaki separuh baya itu.
“akan
kumakan kau dan kujadikan tangkapan ku yang termanis di ujung hari
ini..hmmm..”lelaki separuh baya itu menjawab sembari mengeram dan mengaung bak
seekor singa yang lapar.
“owhh..jadd..i”
belum selesai pemuda itu berbicara sebuah pukulan nyaris mendarat di dada
pemuda itu, lelaki separuh baya itu menyerangnya secara tiba-tiba dan membabi
buta.
“geprak…”
Sebatang
pohon tumbang terkena pukulan si Manusia Srigala itu tak lain itu adalah jurus raungan seribu cakar
srigala manggarai dan dengan segera pemuda itu menghindar beberapa langkah
dan menyiapkan pukulan di tangan kanannya dengan mengumpulkan tenaga dalam yang
sejak tadi dia selalu menghindar.
Melompat
beberapa langkah dan membalas pukulan lelaki tua itu dengan kepalan tangan
kananya yang tak disepelekan kekuatannya sebanding dengan seribu pukulan
raksasa, jika menghantam batu akan dipastikan batu itu akan remuk seketika,
namun kali ini tak disangka pukulan itu hanya mengenai angin lalu dan si
Manusia Srigala telah lebih dulu mengenai punggung pemuda itu.
“gebraaakk..”
Pemuda itu
terjatuh beberapa tombak dan terpental membentur pohon yang ada di hadapan nya
tadi. Dengan punggung yang lebam sepertinya tulang belakang punggung itu telah
remuk oleh pukulan Si Manusia Siluman itu. Tubuh pemuda itu terkapar di balik
sebatang pohon itu, dengan meraung kesakitan yang hanya dikeluarkan dalam
rongga dadanya yang tertahan. Mencoba berdiri, dengan kaki sebelah kanan berdiri
dan sebelah kiri masih menyentuh tanah hingga kelutut, pemuda itu mengatur
nafasnya.
“sudah
tiba kau menjadi santapan malamku anak muda..” lelaki separuh baya itu
menghampiri pemuda itu yang menyemburkan darah segar dari mulutnya, luka
dalamnya semakin parah sepertinya dan dia semakin tak mampu bangkit.
“hekk
heggk..” pemuda itu muntahkan darah segar kembali, namun dengan amsih mencoba
berdiri dan mengumpulkan tenaga dalamnya untuk mempersiapkan serangan lelaki
separuh baya yang menghampirinya.
“sleebbbb..”
tombak lelaki separuh baya itu diarahkan bagian perut si pemuda itu dan hanya
beberapa kejap saja mata tombak itu dipastikan tepat mengenai perut pemuda itu.
“braaakk….”
“weeeess…”
seseorang terbang menyambar pemuda itu dan segera membawanya kabur, dan menjauh
dari si manusia Srigala itu, dan dengan cepat orang itu hilang di telan
gelapnya malam dan tak terlihat..
“kurang
ajar…” manusia Srigala itu mengeram dan merutuk orang yang membawa kabur
buruannya itu, sembari mengaum, matanya masih memandang tajam kearah orang itu
pergi namun tak berniat mengejarnya, manusia Srigala itu meninggalkan tempat
itu..
BAGIAN 2
Di sebuah
gubuk yang teranyam dari bambu dan beratap jerami, dengan obor dan lampu
menjadi satu-satunya penerang yang ada di tempat itu, jauh dari kota raja,
gubuk itu hanya ada satu ditempat itu, sebua tempat tidur reot dan sebuah
bantal kapuk dengan beralaskan jerami yang ditumpuk tipis dan dibalut kain,
seorang ibu tengah menahan sakit berjuang untuk kelahiran buah hatinya, dia
Ratna, seorang wanita berusia tidak lebih dari dua puluh tahun, wanita itu
istri pradita, yang telah tiga purnama meninggalkan istrinya yang tengah hamil
tua untuk mencari suatu hal penting yang tak dapat di tinggalkannya, titah dari
gurunya yang ia peroleh saat bersemedi di goa sangir.
kucuran
keringat terus menetes dan pada saat itu tepat malam empat belas yang tepat
saat bulan purnama. Namun bulan yang harusnya memancarakan cahaya terang
nyatanya tak seutuh biasanya, redup kian menemanin sisa malam itu dan seperti
memberi sepi yang sangat pada suasana malam itu.
Angin
berhembus kencang dan semakin semilir dingin di luar rumah, dua pasang mata
yang sejak tadi terus menunggu untuk menjadi saksi lahirnya seorang anak
manusia ke alam dunia. Dingin semakin seimbang dengan larutnya malam, sejoli
yang saling menyapa dan saling setia menemani sisa malam yang telah kira-kira
pukul Sembilan sampai 12 malam, suara jangkrik menjadi teman mememcah kesunyian
dan gemericik air yang ada dibelakang rumah menjadi nyanyian sendu yang
menepikan rasa gundah sang ibu sembari sekali-kali menahan rasa sakit dan
sekali-kali pula menggit kecil kain yang ada di tangannya.
“ayo neng
sedikit lagi..”
“ehhhggg..ehhhgg..”
“udah
keliatan tuh kepala bayinya …”
“iya
mboo…ehhhgg..ehhgg..”
“tarik
nafas yang dalam neng, terus..teruuuss..”
Berklai-kali
seorang wanita lebih separuh baya itu berucap memberikan perintah pada wanita
yang tengah berjuang menahan sakit itu. Wanita tua itu mbo Sarmi, seorang dukun
beranak yang tinggal di desa perbatasan, dan telah terbiasa membantu persalinan
dan sering dipanggil untuk membantu persalin di desa sekitarnya, Seakan harap
terus diberikan pada wanita itu dengan tergopoh dan sembari terengah wanita itu
terus membantu wanita muda itu.
Udara di
luar semakin menusuk dan terasa menyulut kedalam tulang-tulang, sinar rembulan
yang sejak tadi terang benderang perlahan bergerak redup dan kemudian
hilang. Sekitar menjadi gelap dan tak pelak suasana menjadi semakin sepi dan
tak ada hawa bahwa itu adalah sebuah tempat tinggal manusia, gelapnya membunuh
sekitar dan meredupkan setiap jengkal dusun itu.
Semakin
dalam dan semakin sunyi siring dan seirama dengan perjuangan terengah si ibu
yang sejak tadi
“oeeek
oeekkk…oeekkk ….oeeekkkk…”
“alhamdulilahhhh…bayinya
udah lahir neng..”
Wanita tua
yang sejak tadi memegang perut Ratna itu berkata sembari memasukan tangannya
kedalam kain persalinan siibu muda itu dan dengan segera sijabang bayi yang
masih berlumuran darah itu akhirnya terlahir.
“bayinya
laki-laki neng, ganteng anaknya…” wanita yang sejak tadi sibuk membantu itu
terus berucap memuji sang jabang bayi yang masih digendongnya, si ibu jabang
bayi hanya tersenyum dan kemudian tak sadarkan diri. Mungkin lelah untuk
berjuang sejak sesore tadi untuk melahirkan si jabang bayi, dan perjuangannya
terbayar sudah dengan lahirnya jabang bayi yang diharapkan dan ditunggunya itu.
Serasa letih telah hilang yang disematkannya dalam senyum kecil sebelumnya.
Wanita tua
itu dengan segera keluar dari kamar mungil itu dan dengan segera mengambil
sebuah tempat air di dapur dan memandikan sijabang bayi dengan
mengusap-ngusapnya menggunakan kain kecil yang sejak tadi dipegangnya, dan
dibersihkan sijabang bayi itu dengan hati-hati.
Dengan
segera Mbo Sarmi membawa si jabang bayi yang telah bersih itu kedalam
gubuk mungil itu, dan menggendongnya dengan sehelai kain berwarna coklat dengan
batik tulis disekitar kain itu berbentuk bunga. Di eratkan kain itu ke tubuhnya
dan mengikatnya dan kemudian sembari mengayun-ngayunkan si jabang bayi
itu, perlahan untuk menidurkannya.
“gedepak..gedepak..gedepak…”
Terdengar
suara kuda yang berlari kencang di luar rumah, dan dengan segera mbo Sarmi
berubah raut wajahnya menjadi cemas, menggigil tubuh tuanya itu dan segera
menutup jendela yang sejak tadi hanya tertutup kain hitam tipis, mengunci
rapat-rapat jendela itu, belum sempat dia meraih kunci jendela yang terbuat
dari kayu itu tiba-tiba sebuah batu kecil berwarna hitam mendarat di pelipis
wajah wanita tua itu, dan dengan segera wanita tua itu terjatuh dan segera pula
darah mengucur dari pelipis wajahnya yang dari sana batu kecil itu tak muncul
lagi, batu itu sanggup dengan mudah menembus kulit wajah wanita tua itu.
Dengan
tubuh yang hanya meraungkan suara lirih dia masih berusaha berdiri dan mencoba
meraih kain putih kecil dan kotak hitam kecil yang berada lima jengkal dari
tempat dia terjatuh. Diambilnya kotak kecil hitam yang berlukiskan melati dan
sebuah keris di dua sudut mukanya, dan segera menyelinapkannya di balik lengan
si Jababng Bayi lalu kemudian dengan sisa tenaganya wanita tua itu segera
membungkus si Jabang bayi, dan sembari menghentakkan Kaki kanannya ke lantai
tanah dalam keadaan telungkup, dan segera di sudut rumah mungil itu berubah
gelap, dan dengan segera pula seekor harimau putih muncul disampingnya dengan
tubuh yang sebesar kambing namun lebih gemuk dan Harimau itu berkumis tujuh di
dua sisi mulutnya, menatap wanita Tua itu dan segera tanpa jejak melompat
melalui jendela yang sejak tadi terbuka di rumah mungil itu, Harimau itu lenyap
di telan malam.
Lelaki
berjubah hitam yang tadi melempar batu hitam kecil itu segera masuk kedalam,
dan memeriksa sekitar ruangan itu, dan hanya dua sosok yang telah terbaring
sejak tadi saja, dan dihampiri wanita tua itu dengan segera, sembari membalikan
wajah wanita rua itu.
“dimana
jabang bayi itu?” lelaki berjubah Hitam itu bertanya dengan mata merah dan
melotot pada Mbo Sarmi,
“dia sudah
pergi..hhik hik..” wanita tua itu masih sempat tertawa, sedikit bahagia dia
masih dapat selamatkan jabang bayi itu.
“heeh,
kurang ajar, segera tunjukan dimana jabang bayi itu? Atau nyawamu akan melayang
bersama angin malam?..”bentak lelaki berjubah Hitam itu.
“hhikhik…kau
cari saja sendiri…”masih menyempatkan tertawa dengan lirih dan wajah masih
dipenuhi darah segar, karena pelipisnya yang masih tak henti mengeluarkan darah…
“sreeeettt..takk..”
satu pukulan mendarat diwajah wanita tua itu dan tepat di leher nya, dan segera
darah mengalir deras dari leher dan mulut wanita tua itu dan akhirnya tak
bergerak lagi.
Lelaki
berjubah hitam itu bangunkan diri, dan dengan segera menghampiri Ratna yang
sejak tadi tergolek lemas dan masih belum sadarkan diri, lalu mengambilnya dan
menaruhnya di bahu lelaki berjubah Hitam itu dan dengan segera melompat dari
jendela itu sembari melemparkan sebuah Batu Hitam berbentuk segi lima kea rah
rumah mungil itu.
“duaaarrrr….”
Rumah itu terbakar hangus, dan api menyala besar lalu melahap rumah mungil yang
terbuat dari kayu dan jerami itu…
Lelaki
berjubah hitam itu lalu melompat tepat dipunggung kudanya yang sejak tadi
berdiri di depan rumah mungil itu.
“hiaahht…heeeggh..”
“keteprak
..keteprak..keteprak…” kuda itu segera berlari kencang menembus angin malam
yang gelap dan semakin redup dengan lenyapnya cahaya rembulan yang sejak tadi
menyaksikan malam durjana itu.
BAGIAN 3
Dibalik
sebatang Pohon Maranti yang besar di tepi sebuah sungai lelaki yang sejak tadi
menggendong Ratna berhenti da kemudian duduk sembari meletakkan Ratna di balik
pohon itu. Wanita itu masih saja tak sadarkan diri, lelaki itu telah
menyirapnya sehingga wanita itu akan tetap tertidur untuk beberapa saat sesuai
keinginan sipemilik sirep itu, selain itu pula aliran darahnya telah ditotok
oleh lelaki berjubah hitam itu sehingga walaupun dia tersadar dia tak akan
dapat bergerak.
Lelaki itu
memandang kesekitar sungai dan keseluruh penjuru mata angin dan kemudian
komat-kamit seperti membaca aliran mantra yang tak henti di sebutnya, alunan
mantra itu adalah untuk memanggil sesuatu makhluk yang dimunculkan dari alam
gaib. Sembari kemudian dia mengambil sebuah ikat kepala dari balik jubah
hitamnya, ikat kepala berwarna kuning, yang kumudian dia ikatkan dikepalanya.
Air
disekitar sungai itu kemudian bergetar hebat dan berputar lalu semakin deras
dan kemudian sebuah dentuman besar meledak dari tengah pusaran air itu, dan
dengan segera muncul sebuah istana yang megah perlahan dengan berlian tersemat
disetiap dipagarnya, marmer menjadi lantai yang tak kalah indah di dasarnya,
dan dinding berwarna emas, laksana sebuah Candi tua namun artistic bangunan
istana itu, decak kagum pasti akan tersemat dari siapapun yang melihatnya, tak
kan terbayang tak indah lagi jika manusia manapun melihatnya..
Air
disekitar masih terus bergerak dan mencuar keatas, lelaki berjubah Hitam itu
lalu memangku Ratna kembali dan segera melompat ke air itu, napak sancang
menjadi sebuah ilmu yang dipergunakan oleh lelaki itu untuk mampu berjalan di
atas air dan segera berlutut dan sembari menempelkan kedua telapak tangannya
dan menundukkan kepalanya, dan tiba-tiba pintu istana itu terbuka lebar,
pertanda pemilik istana itu mengizinkannya untuk masuk.
Lelaki
berjubah Hitam itu segera masuk dan beberapa langkah lelaki itu berjalan
istana itu lalu lenyap dari pandangan bersama lenyapnya lelaki berjubah hitam
itu di dalam istana, dan air di sekitar kembali meriak dan berpusar lalu tenang.
Lelaki
berjubah Hitam itu sampai disebuah pintu lalu seorang wanita menggunakan kain
kemban membukanya sembari melepaskan tangan kehadapan lelaki berjubah Hitam itu.
“siapa?”
“aku
Gresang”
“owhh..silahkan
masuk, ketua telah menunggu mu sejak tadi…”
Lelaki
berjubah Hitam itu segera masuk ke dalam dan meletakan Ratna diatas sebuah batu
sembari menidurkannya,
“kerja
yang bagus Gresang…” wanita yang tiba-tiba muncul dengan berpakaian serba
kuning, dengan gelang perak dan kuncir Rambut yang dibalut dengan sebuah kain
penutup kepala berwarna Kuning serta bercadar Kuning, itu kemudian berucap dan
menepuk pundak lelaki berjubah Hitam itu.
“terimakasih
ketua…” lelaki berjubah Hitam itu sembari merendahkan dirinya dan kemudian
bangun lalu duduk di sebuah batu yang mirip kursi yang terbaris memang sengaja
untuk tempat dilakukannya pembicaraan antar mereka.
“tapi
ketua, aku masih gagal membawa jabang Bayi itu..”
“jabang
bayi itu harus segera kau bawa kemari, sebelum purnama dibulan kedua nanti, di
hari itu siang hari akan tepat dengan gerhana matahari dan sijabang bayi itu
harus telah berada di sini”..wanita bercadar Kuning itu menegaskan dan sembari
memegang cadarnya dan mendekati wanita yang sejak tadi terbaring di tempat
tidur batu itu.
“Aku
mengerti ketua, akan ku ambil Jabang bayi itu sebelum purnama itu dan
kuserahkan padamu..”
“bagus,
…hmm jangan kecewakan aku..”
“baik
ketua, ..”
“Ada yang
ingin kau katakana lagi ?”
“ketika
aku dirumah mungil itu, aku membunuh seorang wanita Tua, Sarmi namanya wanita
tua itu..dan dia yang terakhir membawa jabang bayi itu, yang kemudian lenyap
saat aku hampiri sijabang bayi itu..”
“Hmmm..Sarmi?..dia
seorang wanita Harimau yang telah kehilangan kesaktiannya sejak dia menjadi
manusia, namun dia masih dijaga oleh seekor Harimau putih berkumis 7 di kedua
sisi mulutnya…”
“iyah
ketua, aku mendengar auman seekor Harimau saat aku hendak masuk kedalam Rumah
itu..ketua mengenal wanita tua itu, sepertinya ketua tahu banyak tentang wanita
itu?..”
“Aku
pernah mendengarnya dari guru ku pada masa lalu, wanita tua itu dahulu adalah
seorang manusia harimau yang ditakuti di empat penjuru mata angin di Merangin,
bahkan sampai keseluruh Andalas, dia memiliki sebuah senjata sakti yang hanya
dia yang memilikinya, senjata itu adalah sebuah cemeti, yang jika benda itu
mengenai gunung maka gunung itu akan hancur seketika, namun kemudian namanya
hilang ditelan bumi, sejak beberapa tahun ini tak pernah terdengar lagi dia ada
di mana, tujuh buah kumis Harimau itu adalah sebuah mustika, siapapun yang
memilikinya akan dapat mengendalikan semua Harimau yang ada di jagad raya ini..
dan Harimau itu memiliki permata di atas kepalanya, dan siapapun yang dapat
mengambil permata itu, maka dia akan menjadi seorang pendekar pilih tanding di
dunia ini”
“menganggumkan
sekali wanita tua itu ketua, tapi sayang kini dia telah mati ditangan ku..hahaa
haa..”
“Ada
kemungkinan jabang bayi itu dia berikan kepada Harimau peliharannya itu untuk
diselamatkan, dan suatu saat Harimau itu akan mencari kita, kita harus
mempersiapkan diri, dan kini pekerjaanmu pun akan menjadi semakin sulit, karena
jabang Bayi itu di lindungi oleh Harimau putih itu….ahh sudah lah, lebih baik
kau beristirahat sejenak di istana ini, ”
“Terima
kasih ketua, aku akan segera mencari jabang bayi itu..mohon pamit…”
Lelaki
berjubah Hitam itu segera keluar dan bergegas kedalam ruangan di sebelah dalam
yang terhitung tiga baris dari ruang pertemuan tadi, lalu lelaki berjubah Hitam
itu segera masuk dan menutup pintunya…
Ratna yang
sejak tadi terbaring ternyata telah tersadar namun tidak dapat bergerak, karena
totokan di aliran darahnya yang dilakukan oleh si jubah Hitam masih belum
terbebas, sehingga dia hanya mampu mendengarkan semua pembicaraan lelaki
berjubah hitam itu dengan wanita bercadar kuning namun tak dapat berbuat
apa-apa, rasa cemas hadir di dalam hatinya, semua ketakutan berkecamuk, tak
tertahan rasanya dia ingin menangis mendengar semua penuturan mereka itu namun
dalam hatinya masih tersemat rasa syukur pada yang maha kuasa, karena jabang
bayi nya masih belum berhasil didapatkan oleh lelaki berjubah Hitam itu, namun
dia juga cemas tentang keberadaan jabang bayinya itu yang belum sempat dia beri
nama sama sekali.
Dia hanya
berdoa pada yang maha kuasa agar jabang bayinya dapat selalu berada dalam
lindungannya, dan dia selalu berharap untuk dapat melihat suaminya yang tengah
mengembara walau untuk terakhir kalinya. Semakin takut dia didalam hatinya,
benaknya semakin penat, dadanya terasa menyempit, hatinya seakan menggunung dan
tak dapat ditahan lagi air mata keluar dari bola matanya yang sejak tadi
berkedip-kedip. Walau tubuhnya tak dapat bergerak namun pikirnya masih dapat
berjalan dengan baik. Nafas semakin terengah menahan tangisnya, walau air
matanya telah keluar namun sesak nafas masih tertahan di dalam dadanya.
Ia dan
suaminya pernah mengisayaratkan nama untuk bayi mereka pada suatu malam, dan
mereka telah mengira-ngira bahwa mereka akan memperoleh seorang bayi lelaki
yang gagah perkasa dan akan menjadi kebanggaan keluarganya, seperti ayahnya.
Namun mimpi-mimpi itu nyaris tak tertebak ujungnya, akan seperti apa nantinya
setelah sijabang bayi tak diketahui adanya, dan dia masih dalam genggaman
manusia-manusia asing yang pasti berniat buruk pada nya dan jabang bayinya.
Komentar
Posting Komentar