Langsung ke konten utama

BUDAYA


(1)  Bedol Pamarayan Budaya Yang Mulai Terlupakan
Bedol Pamarayan yang dahulu kerap dilakukan di sekitar Bendungan Pamarayan, Desa Panyabrangan, Kecamatan Cikeusal kini sudah tidak pernah dilakukan lagi. Padahal jika acara tahunan tersebut kembali dilaksanakan diyakini bisa menarik minat wisata yang ada di Kabupaten Serang. Sekedar info, Bendung Pamarayan ada di Desa Panyabrangan, Kecamatan Cikeusal, Kabupaten Serang. Jadi walaupun namanya Bendung Pamarayan, tapi lokasinya masih masuk Kecamatan Cikeusal bukan Kecamatan Pamarayan.

Pada masanya, Bedol Pamarayan ini merupakan agenda tahunan masyarakat setempat. Prosesinya dilakukan dengan membuka 8 pintu aliran bendungan gerak Pamarayan. Setelah itu, air dari bendungan tersebut akan mengalir dengan derasnya hingga membuat air di Sungai Ciujung ikut terbawa. Karena derasnya air tersebut, akibatnya sungai menjadi dangkal dan ikan banyak yang mabuk.
Kemudian masyarakat berlomba-lomba menangkap ikan dari bendungan tersebut. Tradisi ini sudah dilaksanakan sejak zaman Belanda. Tradisi ini biasa dilaksanakan setiap tanggal 10 Oktober setiap tahunnya, tujuannya adalah untuk mencitrakan bahwa Bendungan Pamarayan merupakan milik semua masyarakat. Kegiaten ini menjadi pesta rakyat warga sekitar Pamarayan dan kerap diikuti secara meriah oleh warga sekitar. Namun sayang, tradisi tahunan ini sudah sejak lama tidak pernah dilaksanakan lagi. Masyarakat pun nampak rindu dengan pesta rakyat tersebut.

Bahkan beberapa bulan lalu, sempat masyarakat tertipu. Masyarakat saat itu banyak yang telah berkumpul di jembatan bendungan Pamarayan. Jembatan dipenuhi ratusan orang saat itu. Pada hari itu bertepatan tanggal 10 Oktober 2016, mereka mengira akan dilaksanakan bedol bendungan. Namun setelah berjam-jam menunggu bahkan ada yang sudah mempersiapkan alat tangkap, mereka harus kecewa. Lantaran isu bedol pamarayan hanya isapan jempol kala itu.
Seorang warga Pamarayan Haerudin mengatakan, tradisi bedol Pamarayan ini sudah lama tidak dilaksanakan. Padahal setiap acara ini berlangsung kerap meriah, dan banyak warga yang turut serta dalam tradisi ini. Sebab acara ini sudah seperti pesta rakyat bagi masyarakat sekitar. Dirinya berharap tradisi ini tidak hilang dari peredaran dan bisa kembali dilaksanakan. “Sudah sejak 2009 enggak dilaksanakan,”katanya beberapa waktu lalu.
Bupati Serang Ratu Tatu Chasanah menyayangkan jika acara tahunan ini sudah tidak pernah dilaksanakan lagi. Padahal acara ini bisa menarik minat masyarakat yang sangat antusias untuk datang ke Kabupaten Serang. “Saya dapat informasi bahwa dulu di Bendung Pamarayan ini ada tradisi namanya Bedol Bendung Pamarayan. Tapi sejak saya menjabat sebagai Bupati Serang, kegiatan ini sudah tidak pernah ada,”ujarnya.

Menurutnya, jika acara ini kembali dilaksanakan, bukan hanya masyarakat sekitar Pamarayan dan Cikeusal yang akan ikut dalam kegiatan tersebut, namun masyarakat dari luar Kabupaten Serang, bahkan Banten pun bisa tertarik untuk menyaksikan. Menurut saya ini potensi dari pariwisata yang bisa kita kembangkan,”katanya.
Pihaknya akan mencoba untuk mengkses kembali kegiatan tersebut agar bisa diagendakan setiap tahun nantinya. Oleh karenanya kedepan diharapkan Bedol Bendung Pamarayan ini bisa masuk menjadi kalender wisata Kabupaten Serang. Pelaksanaannya nanti tidak hanya berlomba menangkap ikan, namun bisa menampilkan kesenian-kesenian yang ada di Kabupaten Serang. Dengan demikian, masyarakat luas akan bisa mengetahui jika di Banten ini memiliki berbagai kesenian dan tradisi. “Nanti coba saya akses karena ini kewenangan dari balai besar kita akses supaya agenda ini bisa ada lagi. Semoga nanti bisa diagendakan kegiatan tersebut,”tuturnya. ***

(2)  Ruwatan Ciujung Media Bersihkan Aliran Sungai
Masyarakat Desa Tengkurak, Kecamatan Tirtayasa, Kabupaten Serang memiliki tradisi yang unik untuk mengungkapkan rasa pedulinya terhadap daerah aliran Sungai Ciujung. Salah satu tradisi tersebut yakni melakukan ruwatan terhadap aliran Sungai yang menjadi sumber penghidupan mereka tersebut. Acara yang telah berlangsung sejak dua tahun terakhir ini biasa dilaksanakan setiap awal bulan Syafar.

Tradisi ini dilakukan sebagai ungkapan rasa syukur pada yang maha kuasa yang telah memberikan keberkahan kepada para nelayan. Sebab, Aliran Sungai Ciujung sangat vital perannya di masyarakat. Namun sayang, setelah beberapa tahun terakhir, aliran sungai ini mulai di kotori dengan berbagai limbah pabrik. Akibatnya, aliran sungai menjadi tercemar. Bahkan jika kemarau, aliran sungai ini tercium bau limbahnya. Namun jika musim penghujan, aliran sungai meluap lantaran adanya pendangkalan sedimentasi lumpur.
Sebelum prosesi ruawatan dimulai, tampak warga sekitar sibuk mempersiapkan segalanya. Mulai dari sesaji, makanan hingga barisan kapal yang sudah dijajarkan teratur di bibir sungai. Kepala kerbau sebagai satu bagian sesaji yang tidak bisa dipisahkan.
Pagi itu beruntung rasanya saya bisa melihat dan mengikuti acara penting tersebut. Tampak puluhan warga sekitar sudah ramai dan sibuk sejak pagi-pagi sekali untuk mempersiapkan pelaksanaan acara sakral tahunan tersebut. Berbagai kapal nelayan yang telah dihias dengan umbul-umbul, bendera warna warni dan hiasan lainnya berjajar dipinggiran Sungai Ciujung tersebut secara rapi.
Tampak pula disana telah tersaji satu buah kepala kerbau yang dimasukan ke dalam kapal-kapalan yang terbuat dari pohon pisang dengan dilapisi kain berwarna merah jambu. Menurut keterangan warga sekitar, Kapal-kapalan kecil tersebut nantinya akan dihanyutkan di tengah laut, yang sebelumnya akan melakukan ritual dengan berputar-putar terlebih dahulu di sekitar aliran sungai tersebut sebanyak 3 kali.
Prosesi penghanyutan kepala kerbau itu diantarkan oleh puluhan kapal lainnya yang diiringi alunan gamelan sepanjang perjalanannya. Setelah sekitar satu jam mencapai lautan, kepala kerbau yang berada di dalam kapal-kapalan tersebut dihanyutkan. Lantas, kapal lainnya yang sejak awal menjadi pengiring menabrak sesembahan tersebut hingga tenggelam. Saya yang mengikuti hingga ketengah lautan, amat mencium aroma sacral kemenyan selama prosesi tersebut. Rasanya ruwatan itu memang terasa sekali kesakralannya. 

Warga Sekitar Anton Susilo mengatakan, ruwatan ini dilaksanakan sejak tahun 2015 lalu. Sejak saat itu acara tersebut menjadi kegiatan rutin tahunan yang kerap dilaksanakan. Kegiatan ini adalah murni dilakukan oleh masyarakat, sebagai bentuk pelestarian budaya.  Anggarannya pun terbatas, masyarakat nelayan khususnya melakukan iuran dan bergotong royong bersama warga lainnya untuk bisa menyelenggarakan agenda tersebut. “Acara ruwatan ini kan setiap tahun dilaksanakan, jadi ini yang kedua,”kata Anton saat ditemui di sekitar aliran Sungai Ciujung, beberapa waktu lalu.
Anton menuturkan, kegiatan ini merupakan adat istiadat yang harus dilestarikan.  Makna dari kegiatan ini bagi nelayan buka hanya persembahan saja, namu bentuk rasa syukur kepada Allah SWT yang telah memberikan rahmat berlimpah melalui aliran sungai dan laut.  “Karena bagi masyarakat nelayan, laut adalah sumber hidup,” ucapnya.

Ia mengatakan, kegiatan ini biasanya dilaksanakan setiap awal bulan Syafar. Namun untuk tahun ini terasa berbeda karena bertepatan dengan peringatan hari pahlawan 10 November. Ia mengatakan, hal itu sejalan pula dengan sejarah Sungai Ciujung yang dibuat oleh salah seorang pahlawan dari Banten yakni Sultan Ageng Tirtayasa, sehingga ini menjadi satu kebanggan tersendiri bisa menyelenggarakannya.  “Kami bangga dengan kesultanan itu, karena telah mendesain Sungai Ciujung ini,”ujarnya.
Pria yang juga menjabat sebagai ketua umum riung hijau tersebut berharap, acara semacam ini bisa terus dilaksanakan dari tahun ketahun. Jangan sampai hal menarik yang telah menjadi bagian dari budaya Kabupaten Serang ini hilang begitu saja. Harapannya, kedepan acara semacam ini bisa lebih didukung oleh dinas terkait. Selain, itu ia berharap tradisi ini bisa memberi kemakmuran dan kesejahteraan bagi para nelayan. “Harapannya kedepan ini ada kemakmuran dan kesejahteraan bagi nelayan serta kebersamaan bagi para nelayan,”tuturnya.
Aacara sacral tersebut juga dihadiri oleh perwakilan dari Kementrian Lingkungan Hidup. Safrudin, Kasi Alokasi Beban dan Pencemaran Kementrian Lingkungan Hidup mengaku menyambut baik adanya pelaksanaan tradisi tersebut. Sebab acara ini merupakan kegiatan yang positif dan bisa meningkatkan peran serta masyarakat dalam hal peningkatan kualitas sungai Ciujung sendiri.  Kegiatan ini adalah inisiatif dari masyarakat sekitar, dengan demikian pemerintah hanya bertugas untuk mendukung pelaksanaannya “Itu sangat besar sekali,”katanya.
Menurutnya, melalui acara ini masyarakat bisa sekaligus mengontrol dan memonitor keadaan aliran sungai. Sebab, saat ini di Indonesia sendiri memang sudah banyak terbentuk komunitas peduli lingkungan, khususnya sungai, dan itu sangat berguna untuk membantu pemerintah dalam mengawasi sungai agar tidak tercemari. “Kemudian yang kedua mulai menyadarkan  sesama masyarakat supaya tidak membuang sampah sembarangan, karena salah satu potensi pencemaran itu dari sampah,”ujarnya.
Ia mengatakan, perawatan sungai Ciujung ini sebenarnya sudah dilakukan sejak tahun 2016, dan itu sudah menjadi rencana tahunan, dan pemerintah sudah memiliki rencana mulai dari KLH, PU hingga Pemkab Serang dalam perawatannya. Dengan demikian pada tahun 2017 tinggal melanjutkan apa-apa yang belum terlaksana ditahun sebelumnya saja. “Saya kira peningkatan kualitas sungai sehingga bisa lebih baik kondisinya, kemudian juga dari segi kuantitas seharusnya tidak sampai kekeringan dan saat musim hujan juga tidak sampai banjir,”katanya. ***

(3)  Situs Batu Lingga
Situs Batu lingga yang terdapat di Kampung Lingga, Desa Sidamukti, Kecamatan Baros, Kabupaten Serang, merupakan salah satu peninggalan sejarah pada abad ke 16 Masehi dan merupakan kekayaan budaya Kabupaten Serang. Situs yang letaknya tersebar di beberapa persawahan milik penduduk sekitar tersebut merupakan peninggalan tradisi megalitikum. Jumlah menhir tersebut seluruhnya ada tujuh buah batu dengan ukuran yang berbeda-beda. Namun hingga saat ini, keberadaan situs kuno tersebut masih memerlukan perbaikan akses jalan dan fasilitas pengunjung. Hal itu dikarenakan situs yang berupa batu tegak tersebut berpotensi untuk meningkatkan penghasilan masyarakat sekitar dalam bidang pariwisata jika dikelola dengan baik. Jika dari arah Serang ingin menuju kesana, lokasinya tidak jauh dari Pasar Baros, tinggal belok kanan saja dan lurus. 

Saat diamati, batu-batu tegak tersebut berada di tengah persawahan yang berjarak 100 meter dari perkampungan warga. Batu ini terdapat di salah satu areal sawah milik warga dengan posisi terpisah menjadi lima bagian yang dipagari dengan pagar besi. Situs tersebut dijaga oleh dua orang juru pelihara. Di sekitar lokasi situs tidak terdapat tempat untuk beristirahat pengunjung, bahkan untuk menuju lokasi situs pun harus melalui pematang sawah.
Menurut keterangan Juru pelihara Situs Batu Lingga, Pak Masnun, saat ditemui dilokasi, Minggu (25/9/2016), konon menurut sejarahnya, sebelum dinamakan Batu Lingga, situs ini hanya berupa patok kayu salungkar tempat mengadu ayam. Namun dirinya pun belum tahu, kayu salungkar tersebut seperti apa jenisnya, yang jelas kayu ini dahulunya berhubungan dengan upaya mengislamkan Banten yang dilakukan oleh Sultan Maulana Hasanudin melalui sabung ayam.
Cara tersebut dilakukan untuk mengislamkan lantaran pada masa itu memang islam menjadi agama yang baru masuk di Banten. Sehingga tidak serta merta orang percaya dan memeluk agama islam. Maka untuk mengislamkan tersebut dilakukanlah sabung ayam antara Pucuk Umun dengan Sultan Maulana Hasanudin.

Situs ini ditempatkan di lima buah kolam yang menandakan rukun islam yang lima. Kemudian ada tujuh batu  besar diatasnya, yang berarti jumlah hari atau waktu untuk menyabung ayam. Batu ini memang kerap kali dikunjungi oleh para pengunjung dari berbagai daerah, mulai dari anak sekolah hingga orang dewasa dengan berbagai kepentingan. Banyak pengunjung yang penasaran dengan keberadaan batu tersebut yang mampu kokoh berdiri di areal persawahan tersebut. Bahkan sempat ada peneliti dari luar negeri yang ingin mengetahui seberapa dalam batu tersebut. Sampai dirinya berniat untuk menggali kedalaman batu tersebut. “Tapi enggak boleh karena perlu izin dulu, saya juga belum tahu itu dalamnya,” tutur Masnun.
Masalah batu, ada mitos yang berkembang juga, bahwa batu tersebut bisa membesar. Itu dibuktikan dengan cara pengunjung melingkarkan kedua tangannya ke batu tersebut atau dipeluk. Namun selama ini jarang sekali ada yang sanggup memeluk batu tersebut, artinya kedua tangannya bertemu melingkar di batu tersebut. Hanya yang beruntung saja yang bisa melingkarkannya. Jika mampu itu ditafsirkan akan tercapai tujuannya. Makanya kalau berkunjung kesana jangan lupa peluk batunya, hanya sekedar untuk mengusir rasa penasaran saja dan membuktikan mitos.

Namun walau demikian, lokasi situs yang berada di tengah sawah milik salah seorang warga tersebut memang terhitung sulit untuk bisa menarik pengunjung dalam jumlah besar. Sebab, akses untuk masuk kelokasi tersebut cukup sulit, terlebih jika musim tanam padi tiba. Sebab akan dikepung oleh tanaman padi. Oleh karenanya perlu ada jalan masuk untuk bisa mempermudah akses ke lokasi tersebut. “Makanya waktu kemarin itu anak-anak sekolah yang datang kesini kasian, sampai dilepas sepatunya, jadi aksesnya susah. Karena kan pengunjung tetap saja kalau kesini mau meluk, foto, suka pada penasaran saja,”ujarnya.
Selain itu, lanjutnya, para pengunjung yang datang juga banyak yang mengusulkan agar di sekitar situs ada gardu atau pos untuk pengunjung bisa beristirahat. Selain itu juga perlu ada pos jaga agar pengunjung bisa mudah saat ingin mendapatkan informasi. “Supaya bisa meningkatkan penghasilan masyarakat sekitar juga,”katanya.
Ia mengaku sudah pernah mengajukan terkait adanya pembangunan fasilitas tersebut kepada pihak Balai Pelestarian Cagar Budaya (BPCB) Banten. Ia berharap secepatnya akan bisa dibangun hal itu. Pertama kali dibangun situs Batu Lingga ini pada tahun 1986, pada saat itu hanya menggunakan pagar bambu dan sempat juga di pagar dengan kawat berduri. Kemudian pada tahun 2006 dilakukan pembangunan pagar. “Kalau atap ini masih baru, pada tahun 2015, masih belum semua,”tuturnya. ***


(4)  Situs Patapaan Perlu Perawatan Rutin
Kabupaten Serang memang tidak pernah kehabisan cerita tentang tujuan wisata ataupun kekayaan budaya. Sebab, di daerah ini tujuan wisata sangat berlimpah ruah keberadaannya. Namun sayang, walau demikian banyak, kekayaan budaya ini belum bisa dimanfaatkan secara maksimal oleh daerah sebagai pendongkrak PAD atau minimal menjadi branding daerah. Salah satunya Situs Patapaan yang terdapat di Kampung Patapan, Desa Nagara, Kecamatan Kibin. Situs yang memiliki luas 5.735 m2 tersebut merupakan salah satu dari sekian banyak peninggalan sejarah yang perlu dilestarikan keberadaannya. 

Berdasarkan keterangan dari Penjaga Situs Patapaan Hasan Basri saat ditemui dilokasi Jumat (9/9/2016), sesuai dengan namanya situs ini terdiri atas sejumlah batu yang berbentuk tempat duduk. Jumlahnya ada 9 buah batu tempat duduk dan satu buah batu berupa meja atau altar. Posisi susunan batu itu memang sudah mengalami perubahan. Sebab pada masa lalu tidak seperti itu, perubahan tersebut lantaran terdorong akar pohon yang tumbuh besar di sekitar batu petapaan itu.
Konon, situs ini pada zaman dahulu merupakan tempat berkumpulnya para raja-raja dan walisongo. Para pembesar tersebut biasa berkumpul untuk bermusyawarah. Pada masa sebelum Raja Banten Pucuk Umun kalah bertarung dengan Syarif Hidayatullah. Pasca kalah dirinya tetap menolak untuk masuk islam bahkan sempat melarikan diri di petapaan tersebut. Pada waktu itu Pucuk Umun hanya singgah di situs tersebut untuk menenangkan diri. Dengan demikian, itu juga menjadi dasar jika keberadaan situs ini sudah ada sebelum Pucuk Umun datang. “Itu cerita dari masyarakat yang datang mau ziarah dan juga masyarakat sekitar,”ujarnya.
Pria yang telah 15 tahun menjadi penjaga situs tersebut menerangkan secara gamblang tentang sejarah berdirinya situs tersebut. Menurut arkeolog asal Bandung yang pernah datang untuk meneliti pada tahun 1996-1998, situs ini juga adalah salah satu dari candi berumpak, karena ada hubungannya dengan Candi Sari yang ada di Pekalongan pada abad ke 8. Namun walau demikian, Situs Patapaan ini masih belum bisa dipastikan tahun berapa dibentuknya, yang pasti, situs ini ada jauh sebelum masa Kesultanan Banten atau pada masa megalitikum. Hal itu didasarkan kepada bentuknya yang seperti bangunan berundak tempat pemujaan masyarakat zaman megalitikum. “Waktu saya masih kecil, sering ngambil duit dari sini puluhan perak. Kadang-kadang mereka naro yang habis sembahyang,”katanya.

Situs petapaan itu memang memiliki banyak wasilah bagi mereka yang mempercayainya, sehingga sampai saat ini kerap dimanfaatkan oleh orang-orang sebagai tempat ziarah. Biasanya pada malam Rabu peninggalan sejarah tersebut selalu ramai dikunjungi masyarakat dari berbagai daerah, baik warga sekitar Banten hingga dari luar Banten seperti Tangerang, Cirebon hingga Lampung. Selain itu juga kerap dikunjungi para pelajar dari berbagai sekolah di Kabupaten Serang dengan berbagai macam keperluan. “Ada yang ingin tahu sejarah, ada juga yang cuman mau duduk saja, karena kan kadang tamu juga duduk saja disini supaya hatinya tenang. Ada yang hanya mau makan disini bahkan ada yang nazhar dan motong kambing disini,”tuturnya.
Walau demikian, keadaan situs petapaan masih belum 100 persen terawat. Masalah pemagaran pun masih berantakan. Sehingga banyak kambing-kambing yang masuk kesana. Selama ini perhatian yang datang baru dari Balai Pelestarian Cagar Budaya (BPCB) Banten. Sedangkan dari pihak Pemda Kabupaten Serang sudah sangat lama adanya. Oleh karenanya untuk perawatan secara rutin masih belum ada, padahal perawatan itu adalah hal yang sangat penting untuk bisa menarik pengunjung.  

Kondisi terbaru, situs tersebut sudah ada pemagaran walau belum menyeluruh. Sehingga menjadi lebih indah saat ini.***












(5)  Sensasi Gunung Pilar
Gunung Pilar adalah sebuah tempat yang berada di Kampung Cibunut, Desa Cikolelet, Kecamatan Cinangka. Lokasi yang berada pada ketinggian 430 Mdpl tersebut kini mulai banyak didatangi para pengunjung dari berbagai daerah. Tidak main-main, pengunjung yang datang ke lokasi wisata tersebut pun jumlahnya mencapai ratusan  tiap harinya. 

Hamparan hutan yang menghijau menjadi pemandangan indah tersendiri bagi siapapun yang melihatnya. Udara yang sejuk ditambah dengan jauh dari bising kendaraan membuat banyak orang menjadikannya tempat untuk menenangkan diri. Banyak pengunjung yang rela menghabiskan waktu berjam-jam untuk berada di lokasi tersebut. Untuk mencapai lokasi tersebut, diperlukan waktu sekitar 10 menit dari perkampungan warga dengan menggunakan sepeda motor. Para pengunjung harus melewati ruas jalan yang masih berupa tanah merah dan sempit. Walau ruas jalan yang itu licin dan sempit namun nyatanya tidak menyurutkan minat para pengunjung untuk datang ke tempat tersebut. Para pengunjung cukup membayar Rp. 5000 untuk menikmati kawasan tersebut.
Satu lagi tentunya, tempat ini menyajikan keindahan alam untuk menikmati sunrise. Siapa yang tak suka sun rise, indahnya lembayung pagi yang jingga, kala matahari sedang sejuk-sejuknya, tentu mata kita terpesona olehnya. Para penikmat alam bilang, hari itu hanya dua kali indahnya pagi hari dan senja hari, itu pun jika tak mendung tapi. Selain itu, ada beberapa wahana di lokasi juga, seperti ayunan dan tempat berfoto.  Dengan ayunan, kita bisa melihat keindahan alam sekitar bukit dan tentu disertai adrenalin. Berani coba? 

Berdasarkan keterangan seorang pemilik warung yang juga merupakan warga Desa Cikolelet Sunarsih saat ditemui di lokasi Sabtu (26/3/2017) lalu, Gunung Pilar ini sudah mulai ramai sejak satu tahun belakangan. Pengunjung biasanya datang ke sana mulai dari pukul 04.00 pagi, bahkan ada pula yang menginap di tempat tersebut. Kebanyakan mereka yang nekad datang dini hari itu hanya untuk melihat cahaya sunrise yang menawan.
Wanita yang menjadi orang pertama pengisi warung dilokasi itu juga menuturkan, pengunjung yang datang jumlahnya sangat banyak setiap hari, terutama Sabtu dan Minggu atau saat hari libur. Pengunjung datang dari berbagai daerah, tidak hanya dari Banten, bahkan ada yang dari Cirebon.  
Walau indah, namun tetap masih ada yang disayangkan, yakni lokasi yang memiliki nilai estetis tersebut masih memiliki banyak kekurangan, seperti tidak ada sumber air yang dekat lokasinya. Kemudian akses jalan menuju lokasi tersebut juga masih sulit, terutama jika hujan turun, akses jalannya menjadi tidak dapat dilalui. Padahal jika lancar, aksesnya dengan sepeda motor paling hanya sekitar 5-10 menit dari bawah menuju puncak. Namun kondisi saat ini pun sudah cukup di apresiasi, sebab itu sudah mengalami kemajuan pesat dibanding satu tahun kebelakangan ini. Karena tak ada air, biasanya pengunjung yang sudah terlanjur di atas meminta bantuan warga sekitar untuk mengambilkan. Ongkosnya pun relatif murah, hanya Rp. 3.000 saja.
Warga Cikolelet lainnya yang berhasil ditemui dan berbagi cerita saat itu, Okis mengatakan  Gunung Pilar  sendiri merupakan kawasan milik warga. Namun saat ini dikelola oleh pemuda setempat. Para pemuda membuat jadwal piket untuk berjaga di lokasi tersebut. Para pemuda yang piket tidak hanya berjaga, namun juga memungut sampah, agar tempatnya bisa tetap bersih. Jadwal piket itu dibagi per Sabtu/Minggu.

Bahkan, lokasi yang menyediakan wahana berfoto itu sudah pernah dikunjungi oleh Pemkab Serang. Namun saat ini masih belum dikelola oleh pemerintah, akan tetapi masih swadaya masyarakat. Selain itu, lokasi tersebut juga belum memiliki sertifikasi wisata. Melihat mulai ramainya pengunjung yang datang ke lokasi, warga sekitar pun berencana akan mengurus sertifikasi wisatanya. Tujuannya tentu satu, agar kawasan ini bisa masuk dalam daftar destinasi wisata Kabupaten Serang. ***







(6)  Pirang Mungkin Biasa,
Tapi Ini Satu Kampung
Warna rambut pirang yang dimiliki oleh seseorang mungkin bukan satu hal yang menarik. Terlebih warna pirang itu merupakan hasil pewarnaan buatan dengan pikok dan sebagainya. Namun berbeda ceritanya jika warna pirang itu alami terjadinya, dan dimiliki oleh warga dalam satu kampung secara seragam. Mata kita jadi tak biasa melihat pemadangan tersebut. Ditengah masyarakat Indonesia yang secara umum berambut hitam, kecuali dia warga keturunan, atau waktu dikandungan ibunya membenci seseorang berambut pirang. Bisa saja terjadi turunannya berambut pirang juga.
Tapi tidak untuk warga Kampung Larangan yang terletak di Desa Walikukun, Kecamatan Carenang, yakni salah satu wilayah di Kabupaten Serang yang berbatasan langsung dengan Kecamatan Kibin, Binuang, dan juga Lebakwangi. Di wilayah ini, semua rambut warganya berwarna pirang. Tidak mengenal usia, baik itu balita sampai dewasa rambut mereka seragam semuanya pirang. Sontak saja, hal ini menjadi daya tarik dari masyarakat yang memang tidak biasa melihat fenomena tersebut.
Berdasarkan keterangan salah seorang warganya, Kartini saat ditemui di sekitar rumahnya, Jumat (17/3/2017), menuturkan, warna pirang yang dimiliki oleh dirinya, keluarganya dan warga lainnya tersebut didapat secara alami. Tidak menggunakan pewarna buatan atau pakai rambut palsu, namun itu berubah begitu saja. Ketika lahir, dia mengakui jika rambutnya berwarna hitam layaknya warna rambut masyarakat lainnya. “Waktu lahirmah hitam warnanya, pas makin kesini jadi pirang,” ujar wanita yang akrab disapa Tini.
Tini menjelaskan, warna pirang yang dimilikinya tersebut dikarenakan mereka sering mandi menggunakan air belerang yang ada di kampung tersebut. Air belerang yang ditampung di dekat salah satu mushola tersebut selama ini menjadi sumber air yang sangat diandalkan oleh masyarakat setempat. Karena memang selama ini mereka kerap kesulitan sumber air bersih. Ari beleran yang tertampung menjadi satu-satunya yang bisa digunakan. “Enggak ada sumber air lagi disini, makanya warga pada pakai air itu untuk keperluan sehari-hari. Air itu biasanya dipakai mandi, kalau untuk konsumsi mah biasanya dari air hujan kalau enggak ada ya beli,” katanya.
Akibat rambut putra-putrinya yang pirang, bahkan sempat ada cerita menarik yang dialami oleh anak-anak di kampungnya berkenaan dengan rambut pirangnya tersebut. Anak-anak yang masih usia sekolah kerap di suruh memotong rambutnya lantaran guru mereka mengira rambut anak-anak dari Kampung Larangan itu di warnai. Bahkan untuk mematuhi perintah gurunya itu, mereka sampai bercukur plontos. Akan tetapi ketika panjang, rambutnya kembali pirang. “Anak-anak sampai ada yang cukur botak, karena dikira rambutnya diwarnai, padahal itu asli,” ujarnya sambil tertawa.
Saking penasarannya, saya pun sempat menanyakan hal itu pada Ketua RT 06 RW 2 Kampung Larangan, Desa Walikukun Mad Hasan meng, dan dirinya pun membenarkan apa yang dipaparkan warganya tersebut. Bahkan, air di sumber mata air tersebut sempat beberapa kali diambil oleh pengunjung yang sengaja datang. Mereka tertarik dengan air itu, barangkali dikira memiliki khasiat. Selama ini sumber air tersebut hanya digunakan oleh warga di kampungnya saja. Oleh karenanya wajar jika warna rambut warganya seragam akibat air tersebut. “Katanya airnya bisa buat jamu, tapi enggak tahu kalau soal itu mah sih,” katanya.
Dikatakan Hasan, muasal adanya sumber air tersebut dibuat sekitar tahun 2000-an lalu. Pada saat itu, warga kampungnya secara swadaya membuat sumur bor, namun kemudian air dari sumber tersebut keluar dengan sangat besar. Kemudian warga menampung air yang keluar tersebut. Namun karena airnya sedikit berbau, akhirnya warga sempat membuat sumur baru, namun tak bisa menemukan sumber air di tempat lainnya. “Sempat buat ditempat lain juga tapi enggak keluar airnya,” ujarnya. 
Kepala Desa Walikukun Asep Fathurrohman menuturkan, warna pirang warganya tersebut lantaran air yang dibor oleh warga pada tahun 2008 lalu. Menurutnya, kadar air di daerah Walikukun, khususnya di Kampung Larangan memang kurang bagus, sebab terlalu tinggi zat besinya. “Itu dampak dari air pengeboran masyarakat,” tuturnya.
Ada sekitar 100 Kepala keluarga yang tinggal di Kampung tersebut dan menggunakan air belerang untuk keperluan sehari-hari tersebut. Karena menyadari kondisi airnya kurang bagus, pihaknya pun sudah memberi solusi untuk pembuatan MCK. Namun karena masyarakat tidak terbiasa akhirnya mereka tetap menggunakan sumber air itu untuk MCK. “Di jalur itu ada lokasi yang sempat meledak dulu. Kalau disitu sekitar 4 RT dan 100 KK. Itu di bor tahun 2008,” tuturnya.
Nah loh, unik kan, kalau begini. ***


Komentar

Postingan populer dari blog ini

POLITIK DAN KETIDAK DEWASAANNYA

D"opini" “Semakin dewasa perpolitikan itu semakin terlihat kacau, antara yang memaknai dan yang berperan dalam mendefinisikan kacau, elit hilir mudik mencari cara untuk membentuk kemenangan dengan jalan prestisius dalam anggapannya” Apa yang kita paham tentang politik? Apa yang kita paham tentang kedewasaan? Adakah kaitan dari kedua kata ini? Politik dan kedewasaan adalah sebuah proses saling bertoleransi dan saling bersikap untuk sebuah upaya yang lebih baik melalui sistem kesadaran. Jika kita berbicara politik dan kedewasaannya, maka kita akan membicarakan sebuah sistem yang telah tertata rapi dan telah terbentuk dengan sangat detail sehingga orang diluar atau actor politik akan dapat memahami alur yang berkembang. Sistem yang dimaksud adalah sebuah sistem yang berlandaskan kesadaran. Sistem yang berlandaskan kesadaran adalah tingkatan sistem yang telah mencapai titik sempurna dan telah berada dalam tingkatan teratas dari berbagai sistem yang ada, sebu...

Tentang "Jadi" Jurnalis

Menjadi seorang jurnalis adalah sesuatu yang berbeda. Walau tak sekeren profesi lain semisal dokter, PNS, pegawai BUMN atau lainnya yang berseragam. Tidak hanya kalah keren, tapi profesi ini pun belakangan lebih sering bergelut dengan stigma. Banyak kalangan yang menilai profesi ini tidak lebih dari sekedar mencari kesalahan orang. Lalu menukarnya dengan rupiah. Ah kejam sekali mereka yang berpandangan demikian. Tapi ku kira bukan hal yang salah juga pandangan itu muncul. Bagaimana tidak sitgma itu muncul, jika kemudian “kartu pers” bisa dengan mudah dibuat. Bisa dengan mudah digunakan sebagai kartu sakti. Mending kalau kartu itu digunakan oleh orang yang tepat, orang yang paham akan fungsi dan etikanya. Jika digunakan oleh segelintir oknum, rasanya itu yang membuat stigma ini muncul. Seharusnya ada pembatasan dan aturan, yang bisa menjaga ini. Agar tak sembarang orang bisa mengidentikan dengan profesi jurnalis dan sedikit-sedikit atas nama “Pers”. Bayangkan, ketika kartu sakti...

Perkara Gus dan Pedagang Es teh

  Credit foto : Detik.com Petruk bingung, belakangan, panggung media sosial hingga media massa, bahkan pos ronda ramai dengan berita tentang seorang Gus yang merupakan utusan presiden sekaligus tokoh ulama berseteru dengan netizen. Yah, petruk bilang berseteru dengan netizen karena bapak penjual es teh yang disebut "goblok" oleh utusan presiden itu tak berseteru langsung. Hanya saja hatinya mungkin merasa tersakiti ketika ucapan utusan presiden itu terlontar dengan lantang didepan hadirin yang banyak. Tapi kembali lagi hati orang siapa yang tahu. Tapi, ucapan pedas yang katanya hanya candaan itu ternyata menusuk dalam di relung hati banyak warganet. Terang saja, balasan hujatan terlontar lebih dari kata "goblok" pada utusan presiden itu. Luapan kekesalan netizen ditumpah ruahkan di berbagai platform media sosial.  Memang jangan sepelekan warganet atau netizen, kekuatannya lebih hebat daripada sebatas kekuatan orang dalam. Karena penjual es teh disakiti, semua netize...