Tak
terbilang mungkin jika ku hitung dengan jari-jari di kaki dan tangan ku,
seberapa banyak rasa sesal yang mendalam yang telah terurai menjadi potongan
dan molekul molekul tak hingga, dan terbias seperti awan hitam yang merajut di
balik sejumlah sel, terpolarkan dan terkristalisasi dalam gumpalan daging yang
merah marun, dan berbintik seperti blackhold di sisi terang matahari, ada
seiring yang tak berbias dan tak mampu mengangkat senyum, bibir yang dulu indah
tersenyum disetiap sudut kini hanya menjadi gumpalan daging tak berirama, hampa
dan ketus atau mungkin culas. Dulu rasa malu selalu hadir dalam setiap getaran
yang merajut didalam daging dan meresahkan setiap sikap, seperti sebuah gelas
kaca tipis yang bernano meter tebalnya yang ku pegang dan hampir jatuh
tersenggol meja, lalu ku tangkap perlahan dan tak kena, hingga akhirnya pecah.
Diperlakukan istimewa dan terjaga seperti tak ingin retak dan tak ingin
terguncang sedikitpun namun pecah. Kutangkap dan kugenggam gelas kaca itu
dengan kekar tubuhku lalu bersentuhan dan pecah. Ku biarkan terduduk dan
berdiri di atas tubuh ini, dan bernada sesendu mungkin hingga tak ada difensial
gelombang yang merambat derajat nol dan pecah.
Apa
sesulit ini menjaga benda ini? Tak dijaga pun seakan ingin melarikan diri dan
diperlakukan indah dan layaknya dewa pun dia merajuk dan pecah, apa ini sebuah
simalakama atau sebuah minoritas dari rasa yang telah ada dan kau buat dia
teriris dan bergetar dengan nafsu yang berelok tajam dibalik semua alibi
kata-kata yang hangat namun tak bisa lembut bak putri solo? Atau selalu
merendah dan meninggi layaknya ballerina yang menuju ekualibirium ? ini
fatamorgana yang telah pecah menjadi kuark dan pecahan atom dalam setiap
lempeng daging itu.
Yah,
kali ini kusadari aku sebatang kursi yang hanya kekar dan luluh dalam dinginnya
dunia, aku akan mati dan berhelai tubuhku akan terkelupas, hingga masa nanti
akan terganti, terlalu culas jika ku pikir aku adalah benda yang kokoh dan
mampu berbuat segalanya, tak sadar diri atau hanya ego yang terus tersimpan dan
tak dapat dibendung hingga menjadi belahan atom di ledakkan tubuh, culas jika kupikir semua meja adalah pasangan
yang indah dan tepat, banyak kursi yang pantas dan tepat untuk meja-meja itu.
Kini hanya berdiri barisan patah hati sebagai generasi yang tertinggal di masa
purba dan berevolusi dalam modernisasi global tapi masih culas.
“aku hanya kursi
taman yang terbiasa sendiri dan tak perlu menjadi kursi yang gagah dan perkasa
hingga kau nilai aku besar dan wah, hanya atribusi skeptic yang menjadi budaya
social untuk bertahan menjadi disonansi kognitif setiap elementnya dan aku muak
dengan atribusi culas yang hidup di biara sosial”
nanti kita kan temukan makna itu dalam perjalanan yang singkat, .. sisa udara dingin masih terasa di sudut kamarku, aku masih berdiri dan bersandar pada tembok berwarna biru dan tak berucap kaku, semua manusia disekitar hanya melihat satu sisi barisan patah hati dan tak kenal dunia libeih luas dari tujuan mereka yang sempit...karena aku krusi yang terus melihat dan menunggu...
Komentar
Posting Komentar