Langsung ke konten utama

Memotong Nafsu Binatang tak semudah memotong Binatang Qurban



Sepotong kadang hanya terlihat bagian yang kecil jika dibandingkan dengan sebelah, tapi rasanya tak salah jika ungkapan itu ada dalam bagian kata-kata yang terucapkan oleh bibir manusia, sepanci Soup yang tadi ku buat ternyata juga masih lebih banyak dari yang diberikan tetanggaku, tapi ku bandingkan dan kumakan rasanya berbeda, semangkuk itu lebih berarti dibanding sepanci yang ku buat, sebelum semangkuk itu datang sepanci ini terasa nikmat dan bahagia dengan puas hati rasanya, namun semangkuk itu memupus segalanya seperti menjadi pembanding yang menang dan takarannya jauh dari milikku, puas? Sudah tidak ternyata, satu hal yang ku bingkai erat adalah setiap kepuasan itu ada bandingannya yang menjadi tolak ukurnya. Secantik gadis-gadis yang ada di sekitarku dan dengan rambut terurai hitam, bola mata bagai mutiara yang berkerlip terang, dan bibir ranum nyatanya tak sebanding dengan mereka yang anggun dan sikap yang rupawan menutup setiap kepuasan mensyukuri nikmat.

Bahwa yang terindah itu ada dalam perbandingan bukan dimakhluk yang mutlak, seorang gadis berkata, dia bingung dengan wajahnya ketika dia melihat didalam sebuah frame foto nya, dia mengatakan narsis pada dirinya sendiri, tapi bertubi pula dia mengcapture dirinya menjadi bagian gambar pose yang terus dibanggakan, tak puas dengan perbandingannya, yah dia terlihat berbeda dengan yang ada di gambar itu, dia merasa aneh dan tak secantik itu, tolak ukur yang menjelaskan setiap perkaranya. Pagi ini aku tak keluar rumah sedikitpun, bahkan idul Qurban pun aku tak ikut melaksanakan ibadah setahun sekali ini, masih terpulas, saat ibuku berulang kali membangunkan ku melalui handphone yang sengaja kuletakkan disebelah kepalaku, hari ini terasa berat untuk kutinggalkan, idul Qurban yang kembali kurasakan unutk ketiga kalinya dan ini adalah perjuangan pengorbanan perasaan, yang sampai saat ini aku masih merasa idul Qurban telah tak sacral dalam diriku, jauh dari keluarga yang menjadi alasan kuat pernyataan itu.

Orang diluar beramai kemasjid untuk menyaksikan prosesi penyembelihan Binatang Qurban, dengan mudah dan tak perlu waktu lama binatang-binatang itu bergelimpangan dan bersimbah darah dengan mata berkaca, atau mungkin setiap tahunnya para binatang itu selalu menyambut idul Qurban dengan berkaca-kaca dan make a wish untuk terakhir kalinya, sehigga tak ada sedikitpun bahagia menyambutnya namun perpisahan bagi mereka. Tapi tak bisa dibyangkan jika kita memenggal nafsu binatang dalam diri kita? Rasanya tak setiap orang pandai memikirkan hal ini, tak terpikir atau hanya berpura-pura tak sampai pikirannya? Nafsu binatang itu juga harus dipenggal, sama halnya denga berqurban, dan ini yang dimaksud dengan berqurban perasaan, bukan sekedar perasaan cinta pada pasangan, orang tua, terkasih dan lainnya, tapi berqurban binatang yang diwujudkan dalam perihal nafsu, dan nyatanya itu adalah berqurban yang paling sulit tak semua orang mampu, bahkan mereka yang berharta banyak sekalipun belum tentu sanggup melakukannya, dan bukan perkara harta juga jika berqurban perasaan. Keyakinan kita adalah berqurban itu diwajibkan bagi setiap orang yang telah mampu, “Mampu” dalam perihal ini adalah selalu identik dengan material “Uang” atau “harta”, seperti kata sensor yang selalu identik dengan perilaku seks, tidak kah dimaknai lain dari kata ini? Berqurban adalah satu kewajiban bagi umat muslim, dan harus dilaksanakan namun perkara mampu bagi yang tak berharta adalah mengorbankan perasaannya yaitu nafsu binatang yang selalu ada dalam setiap langkah jati dirinya. Rasa tidak puas, rasa lapar akan dunia, dengki, iri dan gejolak hati yang tak pernah menenangkan jiwa, itu adalah bagian yang harus di qurbankan. Ingat sebuah riwayat bahwa ibadah yang paling mudah adalah tersenyum, maka tersenyumlah karena ku yakin semua orang mampu tersenyum, kecuali memiliki perihal lain dengan anggota tubuh yang diperlukan untuk tersenyum itu.. hanya mereka yang iklas yang mampu melaksanakan semuanya, islam tak selalu identik dengan material namun apa yang kita punya adalah bagian yang harus kita sedekahkan atau qurbankan. Esensi, adalah perihal yang harus ada dalam setiap perilaku atau kegiatan, naungannya jauh dari rasa kecewa, karena tak ada manusia yang terlahir dengan rasa kecewa utuh dan permanen, dan tak ada pula manusia yang terlahir dengan rasa bahagia yang utuh dan permanen pula, paradok jika mereka tersenyum tapi sedih dan menangis tapi bahagia, silang kata kita adalah bagian dari permainan dan kepandaian lidah dalam bermain kata, berbagai definisi adalah tidak berbeda maksud dan tujuannya namun hanya berbeda dalam kemampuan beralih kata dan bersilat lidah.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

POLITIK DAN KETIDAK DEWASAANNYA

D"opini" “Semakin dewasa perpolitikan itu semakin terlihat kacau, antara yang memaknai dan yang berperan dalam mendefinisikan kacau, elit hilir mudik mencari cara untuk membentuk kemenangan dengan jalan prestisius dalam anggapannya” Apa yang kita paham tentang politik? Apa yang kita paham tentang kedewasaan? Adakah kaitan dari kedua kata ini? Politik dan kedewasaan adalah sebuah proses saling bertoleransi dan saling bersikap untuk sebuah upaya yang lebih baik melalui sistem kesadaran. Jika kita berbicara politik dan kedewasaannya, maka kita akan membicarakan sebuah sistem yang telah tertata rapi dan telah terbentuk dengan sangat detail sehingga orang diluar atau actor politik akan dapat memahami alur yang berkembang. Sistem yang dimaksud adalah sebuah sistem yang berlandaskan kesadaran. Sistem yang berlandaskan kesadaran adalah tingkatan sistem yang telah mencapai titik sempurna dan telah berada dalam tingkatan teratas dari berbagai sistem yang ada, sebu...

Tentang "Jadi" Jurnalis

Menjadi seorang jurnalis adalah sesuatu yang berbeda. Walau tak sekeren profesi lain semisal dokter, PNS, pegawai BUMN atau lainnya yang berseragam. Tidak hanya kalah keren, tapi profesi ini pun belakangan lebih sering bergelut dengan stigma. Banyak kalangan yang menilai profesi ini tidak lebih dari sekedar mencari kesalahan orang. Lalu menukarnya dengan rupiah. Ah kejam sekali mereka yang berpandangan demikian. Tapi ku kira bukan hal yang salah juga pandangan itu muncul. Bagaimana tidak sitgma itu muncul, jika kemudian “kartu pers” bisa dengan mudah dibuat. Bisa dengan mudah digunakan sebagai kartu sakti. Mending kalau kartu itu digunakan oleh orang yang tepat, orang yang paham akan fungsi dan etikanya. Jika digunakan oleh segelintir oknum, rasanya itu yang membuat stigma ini muncul. Seharusnya ada pembatasan dan aturan, yang bisa menjaga ini. Agar tak sembarang orang bisa mengidentikan dengan profesi jurnalis dan sedikit-sedikit atas nama “Pers”. Bayangkan, ketika kartu sakti...

Perkara Gus dan Pedagang Es teh

  Credit foto : Detik.com Petruk bingung, belakangan, panggung media sosial hingga media massa, bahkan pos ronda ramai dengan berita tentang seorang Gus yang merupakan utusan presiden sekaligus tokoh ulama berseteru dengan netizen. Yah, petruk bilang berseteru dengan netizen karena bapak penjual es teh yang disebut "goblok" oleh utusan presiden itu tak berseteru langsung. Hanya saja hatinya mungkin merasa tersakiti ketika ucapan utusan presiden itu terlontar dengan lantang didepan hadirin yang banyak. Tapi kembali lagi hati orang siapa yang tahu. Tapi, ucapan pedas yang katanya hanya candaan itu ternyata menusuk dalam di relung hati banyak warganet. Terang saja, balasan hujatan terlontar lebih dari kata "goblok" pada utusan presiden itu. Luapan kekesalan netizen ditumpah ruahkan di berbagai platform media sosial.  Memang jangan sepelekan warganet atau netizen, kekuatannya lebih hebat daripada sebatas kekuatan orang dalam. Karena penjual es teh disakiti, semua netize...