D"opini"
“setiap anak manusia dilahirkan untuk
jalan yang berbeda, namun untuk tujuan yang sama yaitu ibadah”. Kita terlahir
bagai kertas putih yang dihempaskan angin lalu ditiup kekiri dan kekanan dan
terlempar lalu ditangkap dan diberi tinta hingga tercipta harmoni atau konflik
di lembarnya yang jelas tertancap dan melekat selamanya”.
Normal
jika setiap manusia ingin lahir dan berjalan sesuai dengan keinginannya lalu
bergerak denagn caranya sendiri, tak pernah ada manusia yang ingin sama dengan
makhluk lainnya, jika dia sama dengan yang lainnya maka hilanglah sifatnya
sebagai seorang manusia yang ebrakal dan berhati nurani.
Tak
pernah ada manusia yang terlahir tanpa akal, kita hanya berbeda dalam cara
memandang, dengan akal yang sama dan diciptakan oleh dzat yang sama namun kita
membentuknya menjadi perbedaan akankah itu perdamaian atau pertentangan, dan
dalam perihal ini dunia tidak menawarkan bagian lainnya yang dijadikan solusi.
Bagai
kapas putih yang masuk kedalam air dan tenggelam lalu kemudian mengeras dan tak
dapat mengapung kembali atau terbang kembali seperti sedia kalanya, seperti itu
manusia, yang tetanam dalam berbagai ideology yang berbeda, aku bukan bagian
yang menganut marxisme, komunisme, islamisme, sosialisme, atau apapun ideology itu, karena setiap
kepala aku yakin memiliki perbedaan hanya saja perbedaan dengan kadar yang berbeda
penunjukkannya, ada yang radikal, moderat bahkan tak tahu cara menyimpulkan
perbedaannya.
Kampus,
coba kita kembali pada masa ini, lingkungan yang bergerak dengan perbedaan,
dengan berjuta konsepsi dan solusi hingga terlahir kreativitas yang saling melengkapi,
jika semuanya sama maka ini bukan kampus tapi lembaga sosial masyarakat, kita
berbeda dalam segala hal.
Satu
sisi yang selalu tampak menarik jika terus menelusuri perbedaan, dan akan
menjerat kita pada berbagai asumsi dasarnya, bahwa “tak ada manusia yang
terlahir sempurna”. Berbalik arahlah jika kamu merasa telah hilang dan
tenggelam dalam lumbung perbedaan, kita mungkin hanya sebatas pasir yang ada di
gurun tapi kita punya ideology yang akan dipertahankan dan pasti itu adalah
sebuah benturan yang akan tak terkendali sifatnya, ideology itu hanya kita yang
tau rasanya seperti apa, jika tak pernah diperlihatkan maka tak akan pernah
terlihat, akan menjadi sebuah kajian fenomenologi, bahwa fenomoenlogi adalah
ilmu tentang hal-hal yang memperlihatkan wujudnya.
Hingga
pada akhirnya, kampusku memiliki berbagai golongan yang biasa kita sebut
“Klan”, ada baik dan buruknya jika kita memiliki hal itu, baiknya adalah kita
menjadi kampus yang berdiri diatas kepentingan kita sendiri dan menjadi sumber
kreativitas yang tak akan ternilai besarnya, namun buruknya adalah akan menjadi
sumber perpecahan, bagaimanapun kita membutuhkan sosok yang mampu
mengkoordinasikan setiap perbedaan itu, sosok yang sanggup dihujat dengan
perbedaan, sosok yang sanggup menyatukan kepala yang berbeda untuk mencapai
tujuan yang sama. Esensi pemipin yang benar adalah mereka yang mampu menyatukan
berbagai kepala yang berbeda untuk mencapai tujuan yang sama bukan menyatukan
kepala yang sama untuk mencapai keinginan atasan.
Tak
dipungkiri bahwa sampai saat ini aku masih merasakan sisi negative yang ada,
saling ejek, saling hujat, saling menjatuhkan dan buruknya hingga dianggap
musuh yang tak sepaham dan mengancam keberadaan golongan lainnya, padahal itu
bukan jiwa yang harusnya ditanam, bukankah Pancasila dilahirkan atas perbedaan
yang mendasar, sosial, hukum, politik, budaya, bahkan agama, namun kita
mengingkarinya dengan kelompok-kelompok kerdil yang saling mencurigai dan
menjatuhkan keberadaannya.
Golongannya
tak sama, sikapnya pun tak sama, atau bahkan tujuan mereka seperti apa? Tujuan
yang mereka inginkan adalah sama yaitu perubahan yang dinamis dan menjadi lebih
baik, namun pergerakannya yang berbeda. Ada satu sila ang harus dipahami dalam
hal ini yaitu “persatuan Indonesia”. Seperti apa persatuan itu? Pernah
merasakannya? Setiap golongan dibentuk atas persatuan isi kepala yang berbeda
namun persatuan yang parsial, integritas yang ditonjolkan bukan sebuah
kebiasaan yang menjadi persatuan murni namun persatuan kepentingan diatas kepentingan.
Bersiaplah
tak punya kerabat atau orang yang setia jika kita tak masuk dalam golongan
manapun, akan hidup dengan berbagai tekanan dan tak ada yang mau tegas
melindungi orang dipertengahan, saat berada di kiri bersiaplah untuk disenggol
yang di kanan, saat berada di kanan bersiaplah disenggol yang di kiri, dan
kemudian akan terjatuh lalu mereka tertawa dan tak ada yang menarikmu untuk
terbangun, karena kamu adalah benalu yang berbahaya dalam persepsinya.
Hakekatnya
setiap benturan diperbolehkan untuk saling terjadi, namun hanya dalam satu
waktu yang telah disepakati namun jika telah selesai waktu itu maka bersatulah
untuk satu perubahan yang nyata bukan sekedar benturan dan kompetisi tapi tak
ada kedewasaan dalam menyikapi semuanya. Hal yang terpenting adalah bahwa
permasalahan yang terjadi disetiap kompetisi politik kampus tak pernah
dibarengi dengan rasa ikhlas. Sehingga hanya menimbulkan dendam dan upayanya
adalah untuk saling mengkoreksi kinerja lawannya yang kemudian berujung pada
cacian dan semacamnya untuk menjatuhkan.
Apatisme
muncul karena golongan tak lagi dianggap dewasa, mereka yang apatis bukan
mereka yang tak paham apa-apa namun lebih dari itu adalah mereka yang tak tahu
bagaimana harus memilih satu bagian yang pasti akan menjerat mereka pada lubang
konflik sosial, dan itu yang membuat mereka jengah dengan keadaan, maka
terbebasla kita dari sikap ego golongan yang tak pernah dianggap dewasa. Pada
masa perjuangan merebut kemerdekaan bangsa Indonesia berjuang dengan perpecahan
dan tanpa persatuan, jawa dengan jong javanya, sumatera dengan jong sumateranya
atau jong-jong lainnya yang terlihat tak membuahkan hasil, namun kemudian
mereka bersatu dalam ikatan sumpah pemuda dan menyatakan diri bahwa mereka
adalah bangsa Indonesia dan menyadari betapa pentingnya sebuah perjuangan dan
pergerakan yang dinaungi oleh persatuan sekalipun konsep dan ideology mereka
berbeda-beda. Jika kita masih terpecah maka kita lebih kuno dari pejuang zaman
dulu, yang artinya pendidikan telah memundurkan konsep berpikir dan semakin
haus intelktual ternyata dahaganya hanya di bayar dengan egosentris.
Komentar
Posting Komentar