
“Bercita-citalah menjadi Manusia”
Kelebihan
kita sebagai seorang manusia adalah akal, dan kekurangan kita sebagai manusia
adalah emosi, parahnya kita selalu terjerumus pada emosi yang legam dengan
amarah. Terlebih hal-hal itu adalah salah satu yang bersimbolkan hasrat, jiwa
manusia mana yang akan tegas dan rela bersikap patuh pada akal untk selalu
putih. Emosi menjadi sebuah warna yang akan bergerak, lalu berubah nyaman,
namun untuk sementara.
Aku sering
dengar bahkan sering pula menjawab jika seorang guru bertanya padaku, “apa
cita-cita kamu kalau sudah besar?” aku bilang, “ingin menjadi manusia yag
bermanfaat” lantas guru ku terdiam dan dengan wajah kecewa menatapku, mungkin
dalam pikirnya, anak ini tak punya cita-cita. Lantas guru ku bertanya lagi kepada
teman ku yang lain “apa cita-cita mu kalau sudah besar?” lantas temanku
menjawab “menjadi pilot” blabalabla, dan guruku tersenyum puas.
Lantas
apa yang aku pikirkan dengan jawabanku pada masa itu? Hal itu terjadi biasa
pada masa-masa di Taman Kanak-Kanak (TK) atau di masa Sekolah Dasar (SD). Mana
mungkin anak sepolos itu punya pikiran lebih, dan jika menjawab ingin menjadi
manusia yang bermanfaat, maka dianggap tak punya cita-cita. Aku berpikir, jika
menjadi pilot atau tentara, aku rasa aku juga tak akan mampu, dan aku tak
pernah tertarik untuk menjadi seperti itu, namun dengan jawaban menjadi manusia
bermanfaat, aku rasa itu adalah jawaban termuda yang aku tawarkan. Banyak makna
yang akan di dapat dari jawaban itu dan tentu aku tak paham pada masa itu.
Namun saat ini aku baru merasakan, bahwa jawaban itu ternyata memang benar
adanya, dengan cara apapun kita selalu berpikir agar menjadis sosok yang
bermanfaat.
Menjadi
dokter yah kita juga ingin bermanfaat, tidak mal praktik dan tidak menjual
etika kemanusiaan pada sisi matrealistis, menjadi polisi pun sama, tidak
menyalah gunakan seragam lalu seenaknya mengumpulkan uang dari seragam itu
walau terkadang tak halal, atau menjadi guru yang kadang tidak di panggil dari
nurani tapi hanya duniawi semata. Segala apa pun tentu tujuannya satu, menjadi
manusia yang bermanfaat.
Kita
belum menjadi manusia jika belum bermanfaat untuk orang lain, dan belum
menjiwai manusia jika belum sampai pada tahap kemanusiaan empati. Menjadi
manusia adalah sebuah esensi yang harus ditanamkan dalam diri. Identitas diri
yang tak boleh lekang oleh waktu atau pudar oleh zaman namun harus selalu di
simpan dalam-dalam dan dilekatkan kedalam hati. Hingga saat ini banyak manusia
yang menyalah artikan dan menyalah gunakan takdir sebagai seorang manusia,
sebagai sosok yang terlahir berakal dan bernurani tapi masih kaku dengan
syariat. Kalau ulama bilang ada tiga hal yang harus dituntun dan di sertakan
dalam hidup yaitu syariat, hakekat, dan tharekat, dan tidak bisa berjalan
masing-masing atau parsial, semuanya harus ada bersama dan berjalan beriringan.
Hingga
pada suatu masa, semakin banyak dari diri kita yang terlalu paten dan terlalu
akrab hanya dengan hakekat, tapi jauh dari syariat, apalagi tarekat, yang
maknanya saja kadang sudah tak dipahami. Bahkan tak jarang yang mendiplomasi
syariat dengan beragam dalil dan dasar, untuk sebagian besar orang itu tabu dan
untuk sebagian lainnya itu ilmiah. Ilmiah apakah harus selalu dikatakan tabu?
Ilmiah pun bukan sensasi yang harus meledak dalam informasi publik atau Melati
yang tercium walau terendus dari jauh. Mengutip sebagian dari kita masih tetap
berpegang pada syariat walau kadang dikatakan konservatif tapi itu bukan sebuah
pemicu untuk perpecahan, biarkan saja sebagain lainnya berpikir modern, kita
tetap ada dijalur masing-masing yang manusiawi. Karena perbedaan adalah rahmat
bagi umat manusia.
Komentar
Posting Komentar