Langsung ke konten utama

Batara Pengalaman (Nyata), arti sebuah toga atau busana trendsetter


Dindin Hasanudin
            Sudah 4 tahun lebih mengenyam pendidikan dan pada akhirnya akan merasakan pakai toga, topi segi lima dengan busana jubah serba hitam yang diperjuangkan banyak orang. Padahal bukan trend, tapi dari tahun ke tahun jadi bermakna besar rasanya. Setiap orang jadi senyam senyum sendiri kalau pakai busana itu. Toga namanya, yang kalau sudah dipakai hanya sehari, setelah itu dilepaskan begitu saja. Padahal fungsinya ga lebih besar dari kaos dalam yang dipakai berulang kali.
            “Dunia pendidikan itu aneh..”            tiba-tiba kursi nyeletuk tanpa disangka sebelumnya, melihat tumpukan pakaian serba hitam yang ada di atas meja.
“aneh kenapa to?..” meja menyauti dari balik wajahnya, sambil tetap melihat sekitar, bola matanya masih kelayaban ke sana kemari.
“ya aneh aja, aku kemaren baca ada pelajar kita yang gantung diri di luar negeri, gara-gara ga bisa pakai toga..” kursi menimpali perkataannya yang sebelumnya di ucapkan dengan beragam keanehan, dan wajahnya mulai Nampak serius dan getir terlihat jelas di rautnya.
“ya, memang begitu, kan ga banyak yang bisa pakai toga, sampean sih ga pernah ngerasain pakai toga, ya wong lahir zaman perang..” kursi menimpali jawabannya, dengan wajahnya yang masih saja tak berpaling dari luaran rumah, masih tersangkut di kendaraan-kendaraan yang lewat depan rumah.
“padahal kan tinggal beli saja, atau kamu mau aku belikan?..hhhii..” kursi tetawa kecil, wajahnya kali ini berubah ceria, entah apa yang sedang dirahasiakan di balik pikirannya.
“ya ga seperti itu, kalo kamu belikan aku, lantas mau aku pakai dimana? Mau kemana juga?..aku belum kena sindrom trendsetter sampai saat ini ko..” meja meneguhkan dirinya, bahwa dia tetap tak mau tahu dengan busana aneh itu.
“iya sih, kamu pakai kondangan juga masih bagus kebaya mu yang aku belikan tempo hari..hhii, kamu jadi lebih manis..”
“sampean ini masih saja menggombal, lantas kalau aku pakai baju serba hitam itu aku jadi aneh? Hhuuu..” mulutnya monyong lima inci, sudah makin panjang
“ya nda juga, wong kalo pakai toga itu nilai sosialnya jadi nambah, yang jelek jadi ayu, ganteng, yang bodoh jadi pinter, serba terhormat..padahal kalo aku yang jadi menterinya, nanti aku ganti toga itu warna putih, biar ga keliatan jahat..”
“halahh, kamu itu aneh, apa hubungannya warna hitam sama jahhat…?..”
“ya ada, buktinya semakin banyak yang pakai busana serba hitam itu, bukan semakin maju bangsa ini, malah semakin terpuruk dan kasus korupsi dimana-mana, mungkin mereka kena aura jahat dari busana serba hitam itu ..”wajah kursi Nampak serius dan matanya sedikit terpejam, seperti orang yang sedang berpikir bijak, wajahnya sedikit di dongakkan keatas dan sesekali ke bawah.
“wahh ngawur, mendingan kita ganti warna pink saja, biar lebih romantis ya to…” meja menambahkan, tapi kali ini ikut dengan wajah yang serius, mukanya sedikit memerah,
“wahh itu yang nda terpikirkan oleh menteri kita, ya wis nanti kamu dukung aku buat jadi menteri, nanti tak rubah peraturannya, biar bisa pakai toga warna pink…hhhhhhii..”
“hhhii, kamu harus segera temui batara pengalaman buat bicarakan perihal ini, ..” meja menambahkan, dengan wajah meyakinkan, melihat langit-langit bangunan rumah itu.
“sekiranya nanti aku bisa, batara pengalaman akan beri aku hadiahh, mungkin status sosial ku naik jadi professor hhhhaaa..” kursi tertawa riang, sekitarnya bergetar dengan nada-nada pelan yang sontak muncul dari tubuhnya.
            Kenapa banyak yang mati dengan busana serba hitam, padahal toga pun berwarna hitam, mungkin aku sebut “busana duka cita”. Ya duka cita untuk para anak bangsa yang gagal membusanakan toganya ke dalam dirinya dan kehidupannya. Remember it, pendidikan tidak pernah berakhir dengan dipakainya toga yang berpindah talinya dari kiri ke kanan. Tapi pendidikan telah dimulai saat tali itu berpindah beberapa derajat dari kiri ke kanan.
            Banyak lulusan sarjana yang bertoga tapi hanyut idealismenya di arus sungai kehidupan. Mungkin nanti batara pengalaman yang akan menegurnya, dan mencabut gelar sosialnya. Idealisme para sarjana muda sudah ditukar dengan nilai-nilai kesejahteraan.
“hhhhhhaa…toga warna pink lebih cocok buat mu..” kali ini meja yang gentian berkata, wajahnya serius walau bibirnya tertawa terbahak, dan matanya tajam ke arah foto di depannya yang terpampang, bertulis “PENGLEPASAN WISUDAWAN UNIVERSITAS SUDAH HABIS 22 NOVEMBER 2014”

Komentar

Postingan populer dari blog ini

POLITIK DAN KETIDAK DEWASAANNYA

D"opini" “Semakin dewasa perpolitikan itu semakin terlihat kacau, antara yang memaknai dan yang berperan dalam mendefinisikan kacau, elit hilir mudik mencari cara untuk membentuk kemenangan dengan jalan prestisius dalam anggapannya” Apa yang kita paham tentang politik? Apa yang kita paham tentang kedewasaan? Adakah kaitan dari kedua kata ini? Politik dan kedewasaan adalah sebuah proses saling bertoleransi dan saling bersikap untuk sebuah upaya yang lebih baik melalui sistem kesadaran. Jika kita berbicara politik dan kedewasaannya, maka kita akan membicarakan sebuah sistem yang telah tertata rapi dan telah terbentuk dengan sangat detail sehingga orang diluar atau actor politik akan dapat memahami alur yang berkembang. Sistem yang dimaksud adalah sebuah sistem yang berlandaskan kesadaran. Sistem yang berlandaskan kesadaran adalah tingkatan sistem yang telah mencapai titik sempurna dan telah berada dalam tingkatan teratas dari berbagai sistem yang ada, sebu...

Tentang "Jadi" Jurnalis

Menjadi seorang jurnalis adalah sesuatu yang berbeda. Walau tak sekeren profesi lain semisal dokter, PNS, pegawai BUMN atau lainnya yang berseragam. Tidak hanya kalah keren, tapi profesi ini pun belakangan lebih sering bergelut dengan stigma. Banyak kalangan yang menilai profesi ini tidak lebih dari sekedar mencari kesalahan orang. Lalu menukarnya dengan rupiah. Ah kejam sekali mereka yang berpandangan demikian. Tapi ku kira bukan hal yang salah juga pandangan itu muncul. Bagaimana tidak sitgma itu muncul, jika kemudian “kartu pers” bisa dengan mudah dibuat. Bisa dengan mudah digunakan sebagai kartu sakti. Mending kalau kartu itu digunakan oleh orang yang tepat, orang yang paham akan fungsi dan etikanya. Jika digunakan oleh segelintir oknum, rasanya itu yang membuat stigma ini muncul. Seharusnya ada pembatasan dan aturan, yang bisa menjaga ini. Agar tak sembarang orang bisa mengidentikan dengan profesi jurnalis dan sedikit-sedikit atas nama “Pers”. Bayangkan, ketika kartu sakti...

Perkara Gus dan Pedagang Es teh

  Credit foto : Detik.com Petruk bingung, belakangan, panggung media sosial hingga media massa, bahkan pos ronda ramai dengan berita tentang seorang Gus yang merupakan utusan presiden sekaligus tokoh ulama berseteru dengan netizen. Yah, petruk bilang berseteru dengan netizen karena bapak penjual es teh yang disebut "goblok" oleh utusan presiden itu tak berseteru langsung. Hanya saja hatinya mungkin merasa tersakiti ketika ucapan utusan presiden itu terlontar dengan lantang didepan hadirin yang banyak. Tapi kembali lagi hati orang siapa yang tahu. Tapi, ucapan pedas yang katanya hanya candaan itu ternyata menusuk dalam di relung hati banyak warganet. Terang saja, balasan hujatan terlontar lebih dari kata "goblok" pada utusan presiden itu. Luapan kekesalan netizen ditumpah ruahkan di berbagai platform media sosial.  Memang jangan sepelekan warganet atau netizen, kekuatannya lebih hebat daripada sebatas kekuatan orang dalam. Karena penjual es teh disakiti, semua netize...