Saya mau bilang bahwa
dalam hidup itu hanya ada dua fase “ bingung” dan fase “bahagia” tapi yang dominan adalah fase kebingungan. karena sesusungguhnya hidup adalah tentang kebingungan.
Aku kira memang hidup itu adalah bagian terseringnya
adalah keperihan, atau penderitaan jika dalam bahasa hidup. Sedikit sekali
orang yang selalu bilang hidup ku bahagia, oii hidupku senang. Setiap yang ku
dengar dari cerita orang dan dari cerita nuraniku pun bahwa hidup itu hanya
tentang penderitaan dan kebingungan. Coba pikirkan, dulu saya ingin sekali buru-buru
masuk kuliah, saya lakukan beragam cara untuk dapat masuk di universitas yang
saya inginkan. Saya belajar mati-matian, dan akhirnya walau tak sesuai harapan
saya berhasil juga masuk di salah satu universitas negeri, ya yang penting
label negeri yang saya harapkan dapat tercapai. Entah itu kampus apa namanya
yang penting punya embel-embel negeri dan lulus dari jalur SNMPTN. Saya bangga
dan bahagia pada saat itu, dan sangat tak dapat di ungkapkan rasa bahagianya.
Lantas kemudian saya masuk keperguruan tinggi yang saya
peroleh dari jerih payah saya itu, bila dibandingkan yang undangan atau PMDK
saya lebih bangga dengan hasil tes SNMPTN, karena bagaimana pun ini hasil nyata
usaha saya yang saya lakukan secara mati-matian. Selama kuliah bukan tanpa
beban, setiap ada tugas yang diberikan oleh dosen-dosen yang kami anggap killer
pasti saya juga merasa tertekan, dan saya sebut lagi ini adalah fase kebingungan.
Sebut saja mata kuliah komunikasi politik yang sempat menggegerkan mahasiswa
sejurusan yang seangkatan dengan saya pada saat itu. Selain itu juga label
killer di dukung oleh asumsi dari para senior yang sudah lebih dulu mendapatkan
mata kuliah ini. Tapi akhirnya dengan kerja keras, mata kuliah ini dapat
diselesaikan juga dan bangga dengan nilai A di Kartu Hasil Studi.
Lantas kebingungan apalagi? Saat akan masuk mata kuliah
magang, saya tak luput dari fase bingung. Bingung harus masuk magang dikantor
mana dan dikantor siapa. Apalagi melihat teman-teman sudah masuk di kantor yang
dituju, sedangkan saya masih sibuk mencari dan itu membuat saya juga ada di
fase bingung. Namun akhirnya pula setelah meningkatkan ikhtiar, say dapat juga
tempat magang. Rasanya lega sekali, dan itu sangat tak dapat dibayangkan saat
mata kuliah ini akhirnya selesai dan terpampang nila A di Kartu Hasil Studi
saya.
Setelah itu juga saya masih belum luput dari fase
bingung. Satu selesai maka muncul lagi masalah lainnya, bahkan tak kalah pelik
dibanding masalah-masalah sebelumnya, tapi yang saya yakini bahwa masalah yang
hadir itu selalu meningkat level kesulitannya, mungkin karena saya sudah
dianggap bisa menyelesaikan masalah sebelumnya jika ini adalah ujian. Kali ini
bingung bagaimana harus menyelesaikan tugas akhir yang disebut Skripsi “Minithesis”,
tiap minggu harus ketemu dosen pembimbing, tapi apa daya target bimbingan tiap
minggu jadi kabur lantaran tidak bisa menterjemahkan kebingungan. Skripsi yang
dimulai sejak desember 2013, akhirnya molor dan teman-teman wisuda pada Agustus
2014. Saya hanya bisa hadir kewisudaan dan itu juga hanya sebatas menghadiri
teman, belom saatnya saya pikir. Disitu juga saya ada di fase bingung. Lantas setelah
lewat masa wisuda itu, saya akhirnya bisa selesaikan skripsi saya walau dengan
susah payah dan hati serta pikiran yang tercurah secara kaffah. Buku tebal
orange itu bisa juga dipertanggung jawabkan pada 15 Oktober 2014. Dan akhirnya
berhasil mendapatkan kata “LULUS” seperti yang dipanjatkan dalam doa setiap
malam. Akhirnya bisa wisuda dan bisa pake toga, baju trend yang cuman dipake
sehari itu. Bahagia tak terkira, tapi itu hanya bertahan satu minggu rupanya. Pasca
itu kebingungan kembali merekat dalam hidup saya. Saya harus menjalani hidup
sebagai seorang yang tak punya pekerjaan “menganggur”. Rupanya ini yang
dimaksud lulus tepat waktu tapi tidak dalam waktu yang tepat.
Para karib, begini rasanya menjadi seorang yang tak punya
kegiatan resmi. Hidupnya cuman dianggap hura-hura dan sia-sia sama orang-orang,
terutama tetangga. Bahkan yang paling terasa adalah, saat saya masih sempat
merenungkan apa ilmu yang saya dapat dari kuliah selama 4 Tahun lebih 2 Bulan
itu? Saya masih mengorek-ngorek apakah ada kelebihan yang bisa saya banggakan
untuk masa depan. Ternyata lulus dalam bahasa tepat waktu saja tidak cukup tapi
lebih baik kalau lulus di waktu yang tepat. Tepat dalam segalanya, siap bekerja
dan siap untuk menyongsong hari esok.
Coba
pikirkan para karib, jangan sampai setelah lulus kita masih berpikir apa yang
kita punya, dan apa kelebihan kita. Nanti akan merasa gagal sebagai seorang
sarjana, embel-embel gelar di belakang nama kita itu kan mesti dipertanggung
jawabkan, baik pada sesama dan pada yang mahakuasa. Jangan kira gelar itu hanya
embel-embel ringan yang tak bermakna. Walau hanya lambang sosial, tapi
nayatanya itulah yang jadi ukuran kepantasan.
cuman ingin berbagi, silahkan petik yang baiknya tapi jangan ambil yang buruknya, saya takut nanti jadi dosa jariyah jika kalian sudah baca tapi terjerumus pada lubang yang sama :D
Komentar
Posting Komentar