Langsung ke konten utama

ANTARA SEKOLAH DAN SISINGAMARAJA




Pagi-pagi sekali jalanan masih sunyi, Cuma embun pagi yang suda hadir duluan. Suara Motor belum banyak,  sebenernya sih udah, Cuma yang punya eh yang mampu belinya baru sedikit. Kalo mobil? Jangan ditanya, mobil juga banyak, bahkan BMW juga sudah banyak di German, kalo dikampung saya sih belom ada.
Pagi ini tidak seperti biasanya, ibu membangunkan ku, katanya mau diajak jalan-jalan. Padahal aku yakin itu ga jalan-jalan faktanya. Pasti ke suatu tempat, yang ditempat itu banyak tumbuhan, ada padi, jagung, sawit, cabe, tomat, rumput pun ada tapi ga ada rumput tetangga, yang ada rumput kaki gajah, yang biasa dimakan sapi. Aneh, sapi sekarang jadi karnivora, suka makan kaki gajah.
Masih pagi begini, mata juga masih melek, tapi baru sebelah, si mamah sudah teriak-teriak dari dapur. Waduh ini, hari selasa di tahun berapa yah, tahun 1997 kalo ga salah. Kalo salah semoga ga dosa juga, nanti tinggal minta maap.
Seorang wanita datang menghampiri, sejurus dua jurus mata saya memandang jeli kearahnya. Sambil sesekali berkedip layaknya manusia lain yang normal. Lalu, dengan cepat sudah menarik selimut di badan ku. Yang sejak semalam menutupinya eh ngga juga, soalnya baru tadi pagi sebelum aku lewat subuhnya aku pakai selimut.
“San bangun,..” si mamah dengan nada pelan mengeluarkan kata-kata yang kudengar perlahan juga. Tapi tak kurespon, aku masih tak kuat menahan hasrat ku untuk memejamkan mata.
“saaaann bangun, udah jam berapa inii..” wanita yang ku panggil mamah itu melotot sambil telunjuk tangan kanannya menunjuk ke ruang tengah, bisa saja menunjuk tivi, atau kulkas, atau juga apa saja yang ada saat itu, atau mungkin si Iglo kucing kesayangan keluarga. Beanr saja, itu kucing memang kesayangan, bahkan si mamah lebih sayang pada si Iglo daripada aku anaknya yang dilahirkan dari rahimnya sendiri dengan cara normal.
“iyah maah, masih pagii..” aku belum membuka mata, masih dalam keadaan terbaring, bukan sakit apalagi mati tapi tidur. Layaknya orang lain yang memiliki rasa kantuk.
“jam berapa ini, jam berapaaa..” sambil meneteskan beberapa tetes air ke wajahku, sontak aku membuka mata.
“astagfirullah, bocor mahhh, ko mamah ga minta bapa benerin genteng sihhh..” aku bangun juga, sambil terduduk dan memperhatikan sekitar, terutama atap rumah ku yang ku kira bocor.
“hayuu bangunn, terus mandi, ..”
“kita mau kemana mah?”
“sekolahh…”
“aihh udah jam setengah delapan mah, “
“udah dibangunin dari tadi, makannya bangunnn, buruan mandi..”
“ahh males mahh, udah siang, nanti pasti distrap, suruh nyabutin rumput di lapangan, kurang kerjaan mahh..”
“ya udah bangun, terus kita nyabutin rumput di ladang..”
“oke kapten aku mandi mah..”
Aku bangun, dari selimut berwarna bitu, dengan kasur renda bunga itu. Lantas dengan berat hati kutinggalkan semua kenangan semalam dengan mimpi-mimpi di kasur itu. Selamat tinggal kasur ku, aku kan merindukan mu selama 12 jam nanti.
Aku kekamar mandi seperti yang diperintahkan tadi, dengan tanpa membantah sepatah kata pun aku langsung mandi. Gebyar gebyur seperlunya, kamu tahu kan, mandi pagi itu pekerjaan yang mudah tapi jadi susah, banyak sekali ritual yang dilakukan di sana. Menjampi-jampi air supaya lebih hangat pun dilakukan. Lalu akhirnya memberanikan diri untuk mandi setelah yakin air itu sudah hangat.
“ahh seger, airnya hangat..” ternyata doa ku mujarab pagi ini, gusti allah mengabulkan doa ku, tidak sia-sia aku rajin mengaji di pa abdul Ghofur. Dia tukang cendol yang ada di dekat rumah, biasanya keliling jualan cendol bandung, tapi kalo malam jadi guru ngajiku.
“buruan mandinya, iksaaann” dari luar terdengar teriakan keras, aku takut kalau nanti di hitung, terus geranat dilemparkan ke kamar mandi, dan aku tak bisa pergi sekolah atau mencabut rumput, karena granat itu meledak.
“iyaaah mmaah..” aku segera keluar, pasti setelah ku pakai handuk, aku bergegas ke kamar dan mengganti handuk itu dengan pakaian merah putih yang biasa disebut seragam oleh orang-orang. Seragam yang memebedakan aku dengan tukang pos, tukang sampah, tukang bangunan ehh ga punya seragam deng, dan tukang-tukang lainnya, kecuali juga tukang pijet yang sama ga punya seragam juga.
Aku sudah rapih, sudah pakai minyak wangi, sudah pakai minyak rambut, disisir belah pinggir. Itu gaya ramburt ngehits di zaman itu.
Segera keluar rumah, menghampiri wanita yang ku panggil mamah itu, bersiap menyalami sambil harap-harap cemas. Aku takut pagi ini taka da uang jajan seperti biasanya, karena aku bangun kesiangan. Biasanya begitu, jika bangun kesiangan aku tidak dapat uang jajan. Uang jajan akan diberikan jika aku berkelakuan baik dalam deskripsi mamah dan bapak, nilai tinggi, dan juga rajin mengaji serta tidak nakal. Ribet yah aturan mainnya di sini.
“nih uang jajan, “sambil menyodorkan ke tangan ku. Aku sambut sambil mencium tangannya dan berucap seperti muslim lainnya saat meninggalkan rumah
“asalamualaikumm ibu perii..” aku bilang sambil berlari, tapi tunggu dulu, bapak mana yang biasanya mengantar ku ke sekolah. Waduhh pagi ini kenapa belum siap. Aku balik lagi ke hadapan si mamah.
“mah bapak mana? Ko belum siap-siap” aku kernyitkan dahi
“udah berangkat ke Pekan Baru tadi pagi..”
“waduuhh, terus?..” aku mau bilang, terus uang jajan ini maksudnya buat ongkos ke sekolah? Jadi hari ini sebenernya juga ga ada uang jajan? Hmm  benar kan.
“ya udah buruan berangkat, naik ojek, “sambil bergegas mengantarku ke halaman rumah,
“ehh itu soma bukan..” mamah seperti berkata sendiri tapi ntah juga seperti bertanya padaku, aku harus jawab ngga yah. Bingung.
“mang somaaa..mangg!!!..” mamah memanggil lelaki yang usianya sudah hampir 30 tahun itu. Dengan sekuat tenaga, dan berteriak keras. Sambil melambai-lambaikan tangannya. Dan akhirnya lelaki yang di panggil soma itu melihat dan menghentikan sepeda motornya yang lari tidak kencang, mungkin merasa jika dirinya di panggil, kalo tidak melirik dan merespon panggilan namanya, itu sama saja mendzalimi ibu bapaknya yang sudah memberikan nama Soma padanya. Dia ga amanah. Tapi dia anak yang baik hingga akhirnya dia sudah menghampiri ku dan mamah.
“kunaon ceu?” dia masih kebingungan. Iyah dia lelaki yang dipanggil soma itu.
“mau keman?” si mamah nanya lelaki itu, aduh ini bikin malu saja, ko maamah jadi kepo, sejak bapak pergi ke pekan baru. Jangan-jangan ada… ah sudahlah kata guru ngaji pa abdul ghofur jangan suudzon apalagi pada ibu sendiri.
“mau ke pasar ini di suruh ceu tati beli daging katanya buat hajatan tujuh bulanan menantunya..” soma dengan detail menjelaskan, dan panjang lebar, hingga beberapa paragraph dan akhirnya sampai pada percakapan pamungkas dari si mamah.
“ini mau nitip si Iksan, mau ke sekolah, bapaknya yang biasa nganter lagi ada urusan ke Pekan baru, bisa?” si mamah dengan nada sedikit lerai, dan sedikit memaksa juga dengan intonasi yang seperti itu pasti tidak aka nada yang menolak. Karena iba.
“ya udah atuh hayu,.. sekalian.” Mang Soma pun meng iyakan,
“nuhun atuh mang,” kata ibu pada lelaki itu, dengan segera menarik tanganku,
“hayu naik, san..” mang soma so akrab menyuruhku naik, aku dengan segera naik keatas motornya. Aku duduk di bangku belakang, bukan di bangku kosong. Soalnya kalo di bangku kosong nanti kesurupan, alias kemasukan roh lelembut atau sebangsanya, entah juga bangsa apa, yang jelas bukan bangsa Indonesia. Sebab kalo kemasukan ga pernah nyanyi Indonesia raya. Paling teriak-teriak pake bahasa yang jelas ku mengerti walau bingung.
“nuhun mang..”aku bilang pada lelaki itu
“ya udah berangkat dulu ceu..” mang soma pamit pada si mamah, dan si mamah menatap ku nanar, membiarkan aku pergi dengan lelaki yang baru di kenalnya itu. Yah lelaki itu baru dikenal oleh ibu, dia baru datang dari Sumedang. Dia anaknya  mang Wirja, sepupu ayahku. Mang wirja itu jadi anaknya adiknya kakek ku dari ayah. Nah dari perkawinan mang wirja dengan bi dayeuh itu melahirkan lah mang Soma. Ga perlu juga kali yah di jelaskan, ga masuk ke ujian semester sih.
Aku kelupaan, jelas ini dosa besar dan akan ku ingat seharian. Yah aku kelupaan mengucapkan salam pada si mamah pantas rasanya ada yang hilang, karena biasanya saat aku mengucapkan salam si mamah memberiku uang jajang. Tapi mana mungkin juga, kan aku kesiangan tadi, terus juga dapet bonus uang ongkos yang dikasih tapi kemudian ada mang soma yang menyelamatkan uang ongkoku yang bisa ku pakai beli cilok nanti siang.
Sepnjang perjalanan mang soma tidak berkata apa-apa, pikirku mulai kacau, aku takut seperti berita-berita di tivi kalau kejahatan sudah merajalela. Apalagi sejak isu adanya mobil hartop yang dibelakangnya ada gambar gunting, katanya menurut isu yang berkembang dari obrolan anak-anak sekolah ku di SD, itu mobil culik yang suka nangkepin anak-anak kecil. Terus anak-anak itu di bawa ke tempat proyek pengerjaan jalan atau pabrik atau jembatan untuk dijadikan tumbal.
Aku jadi tambah was-was.
Pagi ini tidak seperti biasanya, udara sangat dingin, kabut masih menyelimuti, jarak pandang hanya beberapa meter saja. Lantas sampai lah di sebuah pertigaan, yang jelas aku tidak tahu, karena hari ini gelap nya minta ampun. Aku hanya bisa menerka-nerka yang lewat di depan itu babi atau manusia seperti ku dan mang soma.
“ehh san, amang ga tahu sekolah kamu, kamu tahukan? “ mang soma bilang padaku, yang jelas kata-katanya buat aku degdegan dan  salah tingkah.
“tahu mang..” aku jawab
“ kearah mana?” mang soma tanya lagi
“ke arah sekolahan mang”  aku jawab lagi
“iyah ke arah sekolahan nya jalan apa?”
“Jalan Sisinga mangaraja mang” aku jawab, kali ini pasti dia tahu.
“sisinga mangarja? Dimana?” mang soma mengerutkan dahi, dia masih bingung rupanya,
“itu dia pahlawan dari sumatera utara, dia yang berjuang melawan Belanda, masa ga tahu gitu aja mang..” aku menjabarkan pada lelaki yang kusebut mang itu.
“bukan, maksudnya, jalan sisinga maraja itu di sebelah mana?” kali ini masih dengan nada kesal, dia semakin bingung, yakin lah dalam hatinya, lelaki ini bilang ini anak bego apa polos yah, terus di bales lagi dihatinya, namanya juga anak-anak.
“sebelum jalan Diponegoro mang, biasanya bapak motong lewat situ kalo ke sekolah”
“aduh ga tahu san, ini udah deket belum yah..” dia seperti berkata pada dirinya sendiri, tapi aku yakin berkata pada ku, karena di sini di sepeda motor ini hanya ada aku sebagai pendengar.
“tadi kan udah dikasih tahu mang..” aku yakinkan bahwa aku sudah menjelaskan dengan benar sesuai dengan pengetahuanku yang jago ilmu social. Aku nilainya pasti tinggi di mata pelajaran IPS, paling tinggi di antara teman-teman ku.
Mang soma masih bingung, dahinya masih berkerut yang menandakan kalo dia sedang tidak tahu, mencari solusi. Dia juga sedang berpikir aku yakin, walau mungkin aku juga tidak tahu apa yang dia pikirkan, entah dia berpikir tentang jalan kesekolah ku, entah tentang sisingamaraja, entah juga tentang pesanan daging buat ceu tati. Pasti pikirannya kompleks lah ini.
Dalam kebingungan yang melanda, tiba-tiba sesosok manusia terlihat samar-samar tapi masih ku prediksi itu siapa dan mau kemana. Aku ga jago prediksi juga sih, soalnya kata pa ustad memprediksi itu dosa, sama aja mendahului tuhan. Huusss.
“sann..” tiba-tiba bayangan yang kulihat samar itu memanggil namaku. Mungkin dia kenal aku, atau mungkin dia sok kenal. Ah sudah lah ga penting juga.
Semakin dekat dan semakin dekat. Dia ternyata manusia juga sama seperti ku dan mang soma, dia juga laki-laki, tapi berdua, dengan lelaki separuh baya.  Lalu menghentikan sepeda motornya. Dan menghampiriku.
“san mau ke sekolah?”
“eh kamu ndri, iyah nih, “ ternyata andri anaknya mas tukiman tetangga ku yang seblah utara dari ruamh, kira-kira empat rumah lah rai rumah ku. Kamu psti ga tahu, perlu dibuatin denah? Ga usah yah, ribet juga, nanti akunya kesiangan.
“bareng aj yuu”
“ini aku bareng mang soma, tapi dia katanya ga tahu sisingamangaraja” aku jelaskan pada lelaki yang kusebut andri itu.
“owwhh itu mah pahlawan mang, dari sumatera utara” andri menjelaskan pada mang soma
“huus bukan itu, maksud amang, jalan sisinga mangaraja itu dimana?” mang Soma kesal juga dengan jawaban si Andri ini, aku yakin dia bilang ini anak dua sama ajah.
“owhh ya udah ikut saya aja atuh kita bareng ke jalan sisingamarajanya..” andri ini memang terkenal baik disekolah, mang soma ajah di ajak, mau ditunjukan ke jalan yang benar,
“kalo gitu iksan bareng andri aja yahh..”mang soma menawarkan ku pada anak yang ku panggil andri itu.
“gimana yah?” andri bertanya pada lelaki yang memboncengnya itu. Yah? Owhh itu ayahnya, ternyata ibunya andri lebih baik, dia tidak menitipkan andri pada tetangga yang baru dikenalnya.
“ya sudah naik..” ayahnya andri mempersilahkanku,
“hayu..” andri mengajak ku, dan aku pun pergi dengan andri. Tapi mang soma tidak mau ikut, padahal dia mau ditunjukan ke jalan yang benar, dia menolak, kasihan dia, semoga dia tidak tersesat dan masih dalam lindungannya. Semoga dia tetap ingat sejarah sisingamaraja. Aku berpisah di pertigaan itu. Aku perlahan tak melihat mang soma dan kulambaikan tanganku. Maksudnya dadah, ucapan gesture selamat tinggal.



 Serang,

Komentar

Postingan populer dari blog ini

POLITIK DAN KETIDAK DEWASAANNYA

D"opini" “Semakin dewasa perpolitikan itu semakin terlihat kacau, antara yang memaknai dan yang berperan dalam mendefinisikan kacau, elit hilir mudik mencari cara untuk membentuk kemenangan dengan jalan prestisius dalam anggapannya” Apa yang kita paham tentang politik? Apa yang kita paham tentang kedewasaan? Adakah kaitan dari kedua kata ini? Politik dan kedewasaan adalah sebuah proses saling bertoleransi dan saling bersikap untuk sebuah upaya yang lebih baik melalui sistem kesadaran. Jika kita berbicara politik dan kedewasaannya, maka kita akan membicarakan sebuah sistem yang telah tertata rapi dan telah terbentuk dengan sangat detail sehingga orang diluar atau actor politik akan dapat memahami alur yang berkembang. Sistem yang dimaksud adalah sebuah sistem yang berlandaskan kesadaran. Sistem yang berlandaskan kesadaran adalah tingkatan sistem yang telah mencapai titik sempurna dan telah berada dalam tingkatan teratas dari berbagai sistem yang ada, sebu...

Tentang "Jadi" Jurnalis

Menjadi seorang jurnalis adalah sesuatu yang berbeda. Walau tak sekeren profesi lain semisal dokter, PNS, pegawai BUMN atau lainnya yang berseragam. Tidak hanya kalah keren, tapi profesi ini pun belakangan lebih sering bergelut dengan stigma. Banyak kalangan yang menilai profesi ini tidak lebih dari sekedar mencari kesalahan orang. Lalu menukarnya dengan rupiah. Ah kejam sekali mereka yang berpandangan demikian. Tapi ku kira bukan hal yang salah juga pandangan itu muncul. Bagaimana tidak sitgma itu muncul, jika kemudian “kartu pers” bisa dengan mudah dibuat. Bisa dengan mudah digunakan sebagai kartu sakti. Mending kalau kartu itu digunakan oleh orang yang tepat, orang yang paham akan fungsi dan etikanya. Jika digunakan oleh segelintir oknum, rasanya itu yang membuat stigma ini muncul. Seharusnya ada pembatasan dan aturan, yang bisa menjaga ini. Agar tak sembarang orang bisa mengidentikan dengan profesi jurnalis dan sedikit-sedikit atas nama “Pers”. Bayangkan, ketika kartu sakti...

Perkara Gus dan Pedagang Es teh

  Credit foto : Detik.com Petruk bingung, belakangan, panggung media sosial hingga media massa, bahkan pos ronda ramai dengan berita tentang seorang Gus yang merupakan utusan presiden sekaligus tokoh ulama berseteru dengan netizen. Yah, petruk bilang berseteru dengan netizen karena bapak penjual es teh yang disebut "goblok" oleh utusan presiden itu tak berseteru langsung. Hanya saja hatinya mungkin merasa tersakiti ketika ucapan utusan presiden itu terlontar dengan lantang didepan hadirin yang banyak. Tapi kembali lagi hati orang siapa yang tahu. Tapi, ucapan pedas yang katanya hanya candaan itu ternyata menusuk dalam di relung hati banyak warganet. Terang saja, balasan hujatan terlontar lebih dari kata "goblok" pada utusan presiden itu. Luapan kekesalan netizen ditumpah ruahkan di berbagai platform media sosial.  Memang jangan sepelekan warganet atau netizen, kekuatannya lebih hebat daripada sebatas kekuatan orang dalam. Karena penjual es teh disakiti, semua netize...