Langsung ke konten utama

Kebakaran Hutan Jangan Diplototi dan Ditinjau Saja


Kebakaran Hutan seolah menjadi bencana alam tahunan yang terus saja terjadi. Siapa yang bertanggung jawab? Semua orang sepakat menyalahkan presiden Jokowi. Terlebih oposisi, ini adalah momentum untuk bilang "Sudah ku bilang jangan pilih dia," hmmm. Alih alih memberi solusi malah menimbulkan hasrat menyesalkan diri.

Mengapa demikian, karena kebakaran ini terjadi pada masa kepemimpinannya pak Jokowi. Begitu pula saat kebakaran Hutan terjadi pada masa pak SBY, semua sepakat menyalahkan SBY. Karena memang ketika sopir bus berjalan, dan ada penumpang yang merokok lalu asapnya memenuhi ruangan bus, dan terjadi lalap lantas. Maka yang disalahkan pertama tetap di sopir bus, apalagi si penumpang gaduh ikut tewas dalam laka lantas. Selesai perkara.

Bagiku tidak demikian, kebakaran hutan adalah kejahatan besar yang harus segera dituntaskan. Kalau setiap terjadi hanya menyalahkan satu pundak pimpinan, maka sebenarnya ini adalah kegagalan semua pihak terkait. Karena bencana ini terus saja "dibiarkan" terjadi. Tak mawas diri. Tak dicegah dengan dini, tapi hanya dipelototi sebagai musibah saja. Banyak banyaklah berdoa, supaya hujan turun dengan deras.

Seharusnya kasus ini bukan hanya dipadamkan api di hutannya saja. Tapi dipadamkan si pemodal yang sengaja membakar hutannya. Dia telah membuat kerusakan yang hebat. Layak kiranya ditempatkan bersama para terkutuk koruptor.

Kebakaran hutan terparah bukan terjadi pada masa kepemimpinan SBY atau Jokowi, namun pada masa orde baru. Menjelang lengsernya Pemerintahan Soeharto yang bercokol selama hampir 32 tahun, yakni di tahun 1997-1998 terjadi kebakaran hutan yang merusak sekitar 9,75 juta hektar. Lahan tersebut tersebar di beberapa daerah seperti Sumatera Selatan, Lampung, Jambi, Riau hingga Kalimantan. Total kerugiannya pun tak main-main, mencapai 4,4 miliar dolar AS atau setara Rp 44 Triliun.

Tapi pada masa itu pun sama, pihak pemerintah selalu berkilah bahwa kebakaran hutan masih belumlah parah. Hal yang sama dengan sikap yang diambil beberapa hari terakhir. Dimana Salah seorang menteri Kabinet menyebutkan jika kebakaran hutan masih belum separah yang diberitakan media masa. Wajar jika rakyat geram, karena memang rakyat yang merasakan paru-parunya sesak dengan asap. Sudut pandang Jakarta kembali di lontar seperti tanpa dosa. (*)

Komentar

Postingan populer dari blog ini

POLITIK DAN KETIDAK DEWASAANNYA

D"opini" “Semakin dewasa perpolitikan itu semakin terlihat kacau, antara yang memaknai dan yang berperan dalam mendefinisikan kacau, elit hilir mudik mencari cara untuk membentuk kemenangan dengan jalan prestisius dalam anggapannya” Apa yang kita paham tentang politik? Apa yang kita paham tentang kedewasaan? Adakah kaitan dari kedua kata ini? Politik dan kedewasaan adalah sebuah proses saling bertoleransi dan saling bersikap untuk sebuah upaya yang lebih baik melalui sistem kesadaran. Jika kita berbicara politik dan kedewasaannya, maka kita akan membicarakan sebuah sistem yang telah tertata rapi dan telah terbentuk dengan sangat detail sehingga orang diluar atau actor politik akan dapat memahami alur yang berkembang. Sistem yang dimaksud adalah sebuah sistem yang berlandaskan kesadaran. Sistem yang berlandaskan kesadaran adalah tingkatan sistem yang telah mencapai titik sempurna dan telah berada dalam tingkatan teratas dari berbagai sistem yang ada, sebu...

Tentang "Jadi" Jurnalis

Menjadi seorang jurnalis adalah sesuatu yang berbeda. Walau tak sekeren profesi lain semisal dokter, PNS, pegawai BUMN atau lainnya yang berseragam. Tidak hanya kalah keren, tapi profesi ini pun belakangan lebih sering bergelut dengan stigma. Banyak kalangan yang menilai profesi ini tidak lebih dari sekedar mencari kesalahan orang. Lalu menukarnya dengan rupiah. Ah kejam sekali mereka yang berpandangan demikian. Tapi ku kira bukan hal yang salah juga pandangan itu muncul. Bagaimana tidak sitgma itu muncul, jika kemudian “kartu pers” bisa dengan mudah dibuat. Bisa dengan mudah digunakan sebagai kartu sakti. Mending kalau kartu itu digunakan oleh orang yang tepat, orang yang paham akan fungsi dan etikanya. Jika digunakan oleh segelintir oknum, rasanya itu yang membuat stigma ini muncul. Seharusnya ada pembatasan dan aturan, yang bisa menjaga ini. Agar tak sembarang orang bisa mengidentikan dengan profesi jurnalis dan sedikit-sedikit atas nama “Pers”. Bayangkan, ketika kartu sakti...

Perkara Gus dan Pedagang Es teh

  Credit foto : Detik.com Petruk bingung, belakangan, panggung media sosial hingga media massa, bahkan pos ronda ramai dengan berita tentang seorang Gus yang merupakan utusan presiden sekaligus tokoh ulama berseteru dengan netizen. Yah, petruk bilang berseteru dengan netizen karena bapak penjual es teh yang disebut "goblok" oleh utusan presiden itu tak berseteru langsung. Hanya saja hatinya mungkin merasa tersakiti ketika ucapan utusan presiden itu terlontar dengan lantang didepan hadirin yang banyak. Tapi kembali lagi hati orang siapa yang tahu. Tapi, ucapan pedas yang katanya hanya candaan itu ternyata menusuk dalam di relung hati banyak warganet. Terang saja, balasan hujatan terlontar lebih dari kata "goblok" pada utusan presiden itu. Luapan kekesalan netizen ditumpah ruahkan di berbagai platform media sosial.  Memang jangan sepelekan warganet atau netizen, kekuatannya lebih hebat daripada sebatas kekuatan orang dalam. Karena penjual es teh disakiti, semua netize...