Pemerintah baru baru ini telah menaikan besaran Upah Minimal Kabupaten/Kota (UMK). Salah satunya di Provinsi Banten, UMK yang diputuskan oleh Gubernur Wahidin Halim cukuplah menggiurkan. Dimulai dari kota ber UMK terbesar yakni Kota Cilegon Rp 4.246.081, disusul Kota Tangerang Rp 4.199.029, Kota Tangerang Selatan dan Kabupaten Tangerang Rp 4.168.268, Kabupaten Serang Rp 4.152.887, Kota Serang Rp 3.773.940, Kabupaten Pandeglang Rp 2.758.909 dan terakhir Kabupaten Lebak Rp 2.710.654. Owalahhhhh angka yang fantastis yaaahh.
Walau sudah diputuskan, tapi gejolak tetap saja terjadi. Gelombang aksi unjuk rasa dari para buruh tak bisa dihindari. Mereka tetap menuntut agar ada kenaikan Upah Minimal Sektoral Kabupaten/Kota (UMSK). Mereka beranggapan walau setiap tahun upah naik, tapi tetap saja selalu diiringi dengan harga barang pokok yang turut naik. Sehingga kenaikan UMK tetap belum menjadi solusi untuk memenuhi kebutuhan. Bahkan para buruh mengaku sudah melakukan survei pasar sebelum mengajukan kenaikan tersebut. Masuk akal sih,
Hmmm...kondisi demikian berbanding terbalik dengan yang dialami sejumlah wartawan lokal. Dimana masih banyak kalangan profesi ini yang digaji dibawah standar minimal. Jangankan mengikuti hasil survei pasar, gaji yang dibayarkan pun seolah seadanya atau mungkin mengikuti hasil survei warung teh Popon penjual pisang goreng. Bayangkan, dengan nilai UMK sebesar ini, gaji wartawan di lokal Banten masih berada di kisaran Rp 1 - 3 juta.
Walau banyak yang mengeluh, namun tetap saja tak bisa Galang aksi seperti buruh. Sebab ketika menyampaikan aspirasi untuk adanya kenaikan gaji, perusahaan media selalu berkilah kondisi usaha media saat ini sudah semakin pelik. Kalau sudah begini piyeee, masa saya harus jadi donatur buat gaji karyawan. Katanya, media masa khususnya cetak sudah kalah bersaing dengan media masa daring. Oleh karena itu, media masa cetak harus berinovasi untuk melakukan konvergensi.
Alih-alih konvergensi, sejumlah tuntutan kerja pun terus dibebankan. Dari mulai liputan berita cetak, hingga Nyambi untuk berita online bahkan take video. Sejumlah pekerjaan yang sebenarnya enggak berat berat amat karena hanya mengandalkan smart phone (kata perusahaan). Karena kadang masih ada sebagian orang yang menilai berpikir untuk membuat satu karya jurnalistik bukanlah kerja berat. Yang berat itu ditanya kapan kawin atau kapan lulus pas lebaran yee kan.
Ungkapan itu terbukti dengan tak adanya kenaikan upah bagi kalangan profesi pewarta ini. Walau hanya skup lokal, namun kerja wartawan adalah profesi serius yang berada di bawah naungan satu bidang keilmuan yakni jurnalistik. Rendahnya upah yang diterima oleh wartawan membuat prestise pekerjaan ini semakin menurun. Bahkan dari pengalaman, ada teman sejawat yang juga wartawan sempat ditolak oleh calon mertuanya karena profesi ini. Masa depanmu suram katanya. Huh yah. Persoalan upah belum selesai, oknum wartawan yang hilir mudik keluar masuk desa minta jatah jatah proyek semakin banyak pula terjadi. Tanpa punya media masa, hanya bermodalkan kartu pers yang dibuat nya mereka menakut nakuti aparat desa atau warga untuk mendapatkan uang tutup mulut. Terang saja, ini jadi benalu ditengah perjuangan.
Profesi pewarta dinilai tidak menjanjikan. Padahal Pak Bu, keilmuan profesi ini sangatlah jelas. Sama halnya dengan profesi guru, dokter atau pengacara. Walau dimasa kini siapa pun bisa jadi wartawan atau istilahnya citizen jurnalistik, tetap saja kaidah keilmuan lebih mahal harganya. Sama halnya dengan menjadi guru, sekalipun dia bukan berlatar belakang sarjana pendidikan, tetap dia bisa mengajar. Hanya saja mengajar bukan sebatas mengajar, mengajar harus lah pandai untuk mendidik sesuai dengan kaidah keguruan. Begitu pula jurnalis, mewartakan tidak sebatas mewartakan tapi harus sesuai kaidah jurnalistik. Tujuannya agar tak sesat ilmu.
Kalau dipikir pikir, setiap tahun UMK naik, upah wartawan tetap saja tak ikut naik. Ya Allah, harga beras saja tiap tahun melambung, belum lagi BBM hingga susu bayi dan pampers. Dengan upah seadanya, jalan hidup wartawan jauh dari kesejahteraan ya toh.
Hanya segelintir pejabat negara yang ikut pusing memikirkan besaran upah profesi ini. Semisal, Walikota Surabaya Tri Rismaharini yang mengungkapkan kegetiran tingkat kesejahteraan pewarta saat peringati ulang tahunnya. Bahkan ia mengaku sudah lama memikirkan kesejahteraan wartawan ini.
Walikota kondang ini sempat berkata serius "Gimana caranya ya, supaya teman-teman (wartawan) sejahtera. Serius aku ini, kalian pasti berpikir aku bohong kan," ungkapnya dikutip dari portal berita Kompas.com.
Walau hanya ungkapan kata, tapi pernyataan ini cukuplah menyentuh. Seorang pejabat negara yang turut pusing dengan upah jurnalis. Sebelumnya, dikutip dari portal berita Detik.com yang tayang pada 27 Januri 2019, Aliansi Jurnalistik Independen (AJI) Jakarta sempat mengeluarkan besaran upah layak wartawan.
Menurut AJI, upah layak jurnalis pemula tahun 2019 sebesar Rp 8.420.000. Angka tersebut merupakan besaran take home pay atau gaji total tiap bulan. "Aji Jakarta mendesak perusahaan media mengupah jurnalisnya dengan layak agar jurnalis dapat bekerja dengan independen dan profesional," ujar Ketua divisi Serikat Pekerja AJI Jakarta, Aulia Afrianshah dalam acara diskusi publik upah layak jurnalis di Jakarta.
Semoga saja ketika lebaran kuda nanti upah wartawan bisa semakin layak. Sehingga kita para wartawan bisa beli tanah dan naik haji bolak balik. (*)
Walau sudah diputuskan, tapi gejolak tetap saja terjadi. Gelombang aksi unjuk rasa dari para buruh tak bisa dihindari. Mereka tetap menuntut agar ada kenaikan Upah Minimal Sektoral Kabupaten/Kota (UMSK). Mereka beranggapan walau setiap tahun upah naik, tapi tetap saja selalu diiringi dengan harga barang pokok yang turut naik. Sehingga kenaikan UMK tetap belum menjadi solusi untuk memenuhi kebutuhan. Bahkan para buruh mengaku sudah melakukan survei pasar sebelum mengajukan kenaikan tersebut. Masuk akal sih,
Hmmm...kondisi demikian berbanding terbalik dengan yang dialami sejumlah wartawan lokal. Dimana masih banyak kalangan profesi ini yang digaji dibawah standar minimal. Jangankan mengikuti hasil survei pasar, gaji yang dibayarkan pun seolah seadanya atau mungkin mengikuti hasil survei warung teh Popon penjual pisang goreng. Bayangkan, dengan nilai UMK sebesar ini, gaji wartawan di lokal Banten masih berada di kisaran Rp 1 - 3 juta.
Walau banyak yang mengeluh, namun tetap saja tak bisa Galang aksi seperti buruh. Sebab ketika menyampaikan aspirasi untuk adanya kenaikan gaji, perusahaan media selalu berkilah kondisi usaha media saat ini sudah semakin pelik. Kalau sudah begini piyeee, masa saya harus jadi donatur buat gaji karyawan. Katanya, media masa khususnya cetak sudah kalah bersaing dengan media masa daring. Oleh karena itu, media masa cetak harus berinovasi untuk melakukan konvergensi.
Alih-alih konvergensi, sejumlah tuntutan kerja pun terus dibebankan. Dari mulai liputan berita cetak, hingga Nyambi untuk berita online bahkan take video. Sejumlah pekerjaan yang sebenarnya enggak berat berat amat karena hanya mengandalkan smart phone (kata perusahaan). Karena kadang masih ada sebagian orang yang menilai berpikir untuk membuat satu karya jurnalistik bukanlah kerja berat. Yang berat itu ditanya kapan kawin atau kapan lulus pas lebaran yee kan.
Ungkapan itu terbukti dengan tak adanya kenaikan upah bagi kalangan profesi pewarta ini. Walau hanya skup lokal, namun kerja wartawan adalah profesi serius yang berada di bawah naungan satu bidang keilmuan yakni jurnalistik. Rendahnya upah yang diterima oleh wartawan membuat prestise pekerjaan ini semakin menurun. Bahkan dari pengalaman, ada teman sejawat yang juga wartawan sempat ditolak oleh calon mertuanya karena profesi ini. Masa depanmu suram katanya. Huh yah. Persoalan upah belum selesai, oknum wartawan yang hilir mudik keluar masuk desa minta jatah jatah proyek semakin banyak pula terjadi. Tanpa punya media masa, hanya bermodalkan kartu pers yang dibuat nya mereka menakut nakuti aparat desa atau warga untuk mendapatkan uang tutup mulut. Terang saja, ini jadi benalu ditengah perjuangan.
Profesi pewarta dinilai tidak menjanjikan. Padahal Pak Bu, keilmuan profesi ini sangatlah jelas. Sama halnya dengan profesi guru, dokter atau pengacara. Walau dimasa kini siapa pun bisa jadi wartawan atau istilahnya citizen jurnalistik, tetap saja kaidah keilmuan lebih mahal harganya. Sama halnya dengan menjadi guru, sekalipun dia bukan berlatar belakang sarjana pendidikan, tetap dia bisa mengajar. Hanya saja mengajar bukan sebatas mengajar, mengajar harus lah pandai untuk mendidik sesuai dengan kaidah keguruan. Begitu pula jurnalis, mewartakan tidak sebatas mewartakan tapi harus sesuai kaidah jurnalistik. Tujuannya agar tak sesat ilmu.
Kalau dipikir pikir, setiap tahun UMK naik, upah wartawan tetap saja tak ikut naik. Ya Allah, harga beras saja tiap tahun melambung, belum lagi BBM hingga susu bayi dan pampers. Dengan upah seadanya, jalan hidup wartawan jauh dari kesejahteraan ya toh.
Hanya segelintir pejabat negara yang ikut pusing memikirkan besaran upah profesi ini. Semisal, Walikota Surabaya Tri Rismaharini yang mengungkapkan kegetiran tingkat kesejahteraan pewarta saat peringati ulang tahunnya. Bahkan ia mengaku sudah lama memikirkan kesejahteraan wartawan ini.
Walikota kondang ini sempat berkata serius "Gimana caranya ya, supaya teman-teman (wartawan) sejahtera. Serius aku ini, kalian pasti berpikir aku bohong kan," ungkapnya dikutip dari portal berita Kompas.com.
Walau hanya ungkapan kata, tapi pernyataan ini cukuplah menyentuh. Seorang pejabat negara yang turut pusing dengan upah jurnalis. Sebelumnya, dikutip dari portal berita Detik.com yang tayang pada 27 Januri 2019, Aliansi Jurnalistik Independen (AJI) Jakarta sempat mengeluarkan besaran upah layak wartawan.
Menurut AJI, upah layak jurnalis pemula tahun 2019 sebesar Rp 8.420.000. Angka tersebut merupakan besaran take home pay atau gaji total tiap bulan. "Aji Jakarta mendesak perusahaan media mengupah jurnalisnya dengan layak agar jurnalis dapat bekerja dengan independen dan profesional," ujar Ketua divisi Serikat Pekerja AJI Jakarta, Aulia Afrianshah dalam acara diskusi publik upah layak jurnalis di Jakarta.
Semoga saja ketika lebaran kuda nanti upah wartawan bisa semakin layak. Sehingga kita para wartawan bisa beli tanah dan naik haji bolak balik. (*)
Komentar
Posting Komentar