![]() |
Sumber foto : lokadata |
Mahasiswa dan dosen adalah hubungan sosial yang erat dan saling berkaitan. Satu sama lainnya saling membutuhkan dan harus saling menghasilkan. Mahasiswa butuh ilmu dan tanggung jawab pada orang tua yang membiayai, dosen butuh pekerjaan dan mempertanggungjawabkan profesionalitasnya pada negara. Bahkan pada Tuhan atas ilmu yang telah diberikannya pada sang mahasiswa.
Tapi apa jadinya kalau salah satu mengkhianati hubungan akrab ini. Seperti yang sering terjadi, oknum dosen jarang masuk kelas. Kalau oknum mahasiswa jarang masuk kelas, ya ada juga. Tapi ya nda aneh.
Jadi dosen kok rajin bener ga masuk. Lah, lebih rajin mahasiswa masuk kuliah dibandingkan dosennya. Yaiyalah wajar mahasiswa lebih rajin masuk kelas, mahasiswa kan bayar buat bisa masuk kelas terus dapat ilmu yang bermanfaat dari ajaran sang dosen. Sementara dosen mendapatkan bayaran dari jerih payahnya mengajar mahasiswa. Kalau dosen ga masuk dan gak ada kuliah siapa yang rugi? Siapa yang untung? Ya si Dobleh toh.
Coba renungkan, tidak semua mahasiswa berasal dari keluarga yang mampu. Ada sebagain mahasiswa yang kuliah benar benar dengan kondisi yang dipaksakan secara ekonomi. Demi apa? Demi mendapatkan ilmu sehingga bisa memperbaiki status sosial dan ekonomi keluarganya. Apa nda berat beban yang ditanggung mahasiswa ini? Dia pulang membangun kampung (harapannya)
Kedua orang tuanya rela banting tulang siang malam buat cari nafkah dan supaya bisa membayar uang semesteran yang sekarang disebut Uang Kuliah Tunggal (UKT). Yang besarannya juga nda nanggung nanggung alias mahal. Rela makan (di warung Padang) sederhana asal UKT dan biaya lainnya sang anak yang jadi mahasiswa bisa terbayarkan.
Tapi kok ya, ketika duduk di bangku kuliah sang anak malah sering nda dapat kelas kuliah. Bukan karena sang anak yang malas kuliah, tapi ya adanya oknum dosen yang sering nda masuk kelas alias bolos. Sampeyan kira hal semacam ini menyenangkan semua kalangan? Ya tidak lah tuanku. Kalau kuliah libur terus kapan bisa dapat ilmu mahasiswanya. Belum lagi ibunya nanya, "Loh kok kamu kuliahnya libur terus ya le? Apa lagi PMS?,". "Nganu Mak, dosennya barusan kirim pesan Wa, katanya lagi ke ada arisan bareng pokemon," kan beban moral buat menjawabnya.
Bahkan, ketika saya sempat muda dan merasakan jadi mahasiswa, modus modus anak STM yang dipakai dosen untuk bolos ini ada saja. Ada dosen yang datang cara pertemuannya niru adegan Cinta sama Rangga di felem AADC, datang pas awal semester terus hilang sekian purnama dan muncul lagi pas mau ujian. Sambil bilang "Nih isi absennya penuhin". Ya nda gitu Paijo, "Yang kamu lakukan itu jahat". Apa dunia nda kebalik, kok dosen yang titip absen duh yah.
Apa nda khawatir nanti ada sesat ilmu. Gara gara dosen nda masuk masuk, terus si mahasiwa belajar sendiri dan salah menyerap ilmunya. Apalagi kalau mahasiswa ini jurusan pendidikan atau kedokteran. Pas sampai dunia kerja, si mahasiswa ini menyampaikan ilmu yang salah secara terus menerus ke anak didiknya. Lah apa nda jadi dosa jariyah?. Apalagi kalau mahasiswa kedokteran, karena belajar sendiri akibat ditinggal bolos dosennya, terus pas mau nyuntik bingung yang disuntik apanya, tintanya apa cintanya, terus malah salah analisa penyakit. Waduh kan gaswat.
Jangan jangan kenapa ada anggota dewan yang sering bolos pas paripurna, tidak lain tidak bukan akibat korban dosen yang sering bolos. Duh yah kan ambyar kalau gini.
Coba kau pikirkan, coba kau renungkan,...
Budaya budaya semacam ini harusnya mulai dihilangkan lah. Harus ada pendewasaan diri. Buatlah budaya Dosen rajin masuk, mahasiwa bosen dikelas. Budaya ini yang harusnya ada, jangan kebalik mahasiswa rajin masuk, dosen bolos dari kelas. Lah piye nek ngono toh.
Jangan sampai nanti ada felem yang bertemakan oknum dosen bolos dari kelas. "Akibat selama hidup sering bolos dari kelas, jasad seorang dosen tak diterima bumi karena malaikat lupa mengabsen," (*)
Komentar
Posting Komentar