Langsung ke konten utama

Menerjemahkan Kebaikan


Masa pandemi yang berbarengan dengan bulan suci Ramadan benar benar menguji banyak rasa kemanusiaan. Menguji rasa syukur, menguji rasa sabar hingga amarah. Semua rasa bisa datang kapan saja.

Bayangkan saja bagaimana ketiganya tidak bisa hadir berbarengan rasa rasa itu. Jika kamu diam dirumah SAJA lalu persendian ekonomi mu lumpuh, istrimu bilang beras habis, pampers si sulung juga tak ada lagi. Terang saja ketiga rasa itu akan datang mengeroyok mu.

Tapi memang benar, dalam masa seperti saat ini yang amat paceklik, tak sedikit juga orang orang yang memilih untuk berbuat baik. Memberikan bantuan sembako secara pribadi, menggalang dana secara sukarela, dan membagikannya pada yang terdampak. Kurang mulia apa coba?

Kebaikan yang diberikan tidak mengenal batasan kasta, usia, profesi bahkan agama dan jabatan dan tentu saja tidak boleh ditinggalkan partai politik. Semua berbaur saling membahu. Bisa dibilang biar beda warna yang penting harus terlihat rasa manusia.

Tapi ya enggak semua kebaikan itu dimaknai sama, atau dalam bahasa komunikasi pesan yang disampaikan komunikator tidak selalu sama dengan yang ditangkap komunikan apalagi netizen. Niatan positif bisa saja kena papar radikal bebas jadi negatif.

Bayangkan, perkara masker yang dibagikan saja bisa jadi memiliki berbagai nilai dan persepsi di sipenerima bahkan masyarakat ramai. Apalagi masker itu ada lambangnya dan warna mencolok sebagai identitas partai. "Ya apa Ndak bisa kalau untuk bantuan jangan ada logo partainya?, Kan saya takut dianggap simpatisan," gumam penerima.

Belum lagi kalau pemberian sembako yang datang pejabat, apalagi ini tahun politik waduhh kecurigaan semakin menbuncah. Tidak sedikit pula yang beranggapan ajimumpung bencana, modal sedikit besar juga citra yang didapat. La piye? Kalau dia kepala daerah terus Ndak datang memberi sembako atau bantuan lain nanti dikira sombong, Ndak peduli rakyat, ya apalah. Ya tapi itu, sekali lagi niatan baik tak selamanya diterima baik. Terlalu banyak terjemahan untuk sebuah makna kebaikan.

Kebaikan barangkali seperti turunnya sebuah agama. Agama yang diturunkan tuhan kepada manusia akan berubah menjadi agama manusia dalam hal maknanya. Makna agama akan parsial ketika dihadapan manusia, oleh karenanya tak elok kiranya jika kita memonopoli kebenaran agama. Akan lebih baik jika pemahaman agama itu saling disandingkan maka peluang kebenarannya untuk mendekati tuhan akan lebih besar.

Begitu pula kebaikan hanya bisa dimaknai sempurna hanya oleh sang pemiliknya yaitu diri sendiri. Makna yang diberikan oleh semua orang diluar dirinya bersifat parsial dan tidak utuh. Tapi ya itu sudah jadi sunatullah tak bisa dibantahkan, tiap kepala punya definisi makna yang berbeda, dan itu hak. Mau gimana? (*)

Komentar

Postingan populer dari blog ini

POLITIK DAN KETIDAK DEWASAANNYA

D"opini" “Semakin dewasa perpolitikan itu semakin terlihat kacau, antara yang memaknai dan yang berperan dalam mendefinisikan kacau, elit hilir mudik mencari cara untuk membentuk kemenangan dengan jalan prestisius dalam anggapannya” Apa yang kita paham tentang politik? Apa yang kita paham tentang kedewasaan? Adakah kaitan dari kedua kata ini? Politik dan kedewasaan adalah sebuah proses saling bertoleransi dan saling bersikap untuk sebuah upaya yang lebih baik melalui sistem kesadaran. Jika kita berbicara politik dan kedewasaannya, maka kita akan membicarakan sebuah sistem yang telah tertata rapi dan telah terbentuk dengan sangat detail sehingga orang diluar atau actor politik akan dapat memahami alur yang berkembang. Sistem yang dimaksud adalah sebuah sistem yang berlandaskan kesadaran. Sistem yang berlandaskan kesadaran adalah tingkatan sistem yang telah mencapai titik sempurna dan telah berada dalam tingkatan teratas dari berbagai sistem yang ada, sebu...

Tentang "Jadi" Jurnalis

Menjadi seorang jurnalis adalah sesuatu yang berbeda. Walau tak sekeren profesi lain semisal dokter, PNS, pegawai BUMN atau lainnya yang berseragam. Tidak hanya kalah keren, tapi profesi ini pun belakangan lebih sering bergelut dengan stigma. Banyak kalangan yang menilai profesi ini tidak lebih dari sekedar mencari kesalahan orang. Lalu menukarnya dengan rupiah. Ah kejam sekali mereka yang berpandangan demikian. Tapi ku kira bukan hal yang salah juga pandangan itu muncul. Bagaimana tidak sitgma itu muncul, jika kemudian “kartu pers” bisa dengan mudah dibuat. Bisa dengan mudah digunakan sebagai kartu sakti. Mending kalau kartu itu digunakan oleh orang yang tepat, orang yang paham akan fungsi dan etikanya. Jika digunakan oleh segelintir oknum, rasanya itu yang membuat stigma ini muncul. Seharusnya ada pembatasan dan aturan, yang bisa menjaga ini. Agar tak sembarang orang bisa mengidentikan dengan profesi jurnalis dan sedikit-sedikit atas nama “Pers”. Bayangkan, ketika kartu sakti...

Perkara Gus dan Pedagang Es teh

  Credit foto : Detik.com Petruk bingung, belakangan, panggung media sosial hingga media massa, bahkan pos ronda ramai dengan berita tentang seorang Gus yang merupakan utusan presiden sekaligus tokoh ulama berseteru dengan netizen. Yah, petruk bilang berseteru dengan netizen karena bapak penjual es teh yang disebut "goblok" oleh utusan presiden itu tak berseteru langsung. Hanya saja hatinya mungkin merasa tersakiti ketika ucapan utusan presiden itu terlontar dengan lantang didepan hadirin yang banyak. Tapi kembali lagi hati orang siapa yang tahu. Tapi, ucapan pedas yang katanya hanya candaan itu ternyata menusuk dalam di relung hati banyak warganet. Terang saja, balasan hujatan terlontar lebih dari kata "goblok" pada utusan presiden itu. Luapan kekesalan netizen ditumpah ruahkan di berbagai platform media sosial.  Memang jangan sepelekan warganet atau netizen, kekuatannya lebih hebat daripada sebatas kekuatan orang dalam. Karena penjual es teh disakiti, semua netize...