Sejak kecil tepatnya ketika di bangku Taman Kanak Kanak dan hingga duduk di bangku SD aku sudah hobi dengan memancing. Bahkan bisa dibilang memancing tiap akhir pekan bersama bapak adalah yang paling ditunggu setiap waktu. Barangkali memancing sudah seperti liburan bagiku kala itu. Bila pergi memancing, kami lengkapi perbekalan seperti nasi, lauk pauk hingga teh manis atau kopi. Makanan yang dibawa itu akan kami santap dipinggiran sungai. Persis seperti sedang piknik.
Hobi memancing ku tak serta merta tumbuh begitu saja. Hobi itu diturunkan oleh bapakku yang juga menggilai aktivitas menangkap ikan dengan kail tersebut. Bahkan masih kuingat betul, saat usiaku sekitar 4 tahunan, saking hobi dan paling takut kalau ditinggal bapak mancing, aku sampai berlari lari mengitari sepeda yang disana sudah terikat satu set alat pancing. Lah, tanpa kuduga, mata kail nyangkut di mataku. Jelas, rencana bapak yang hendak pergi mancing urung dan malah mengantar aku ke puskesmas untuk mencabut mata kail yang salah sasaran. Beruntung mata kail itu tak sampai masuk ke bola mataku, hanya menyangkut di kulit tipisnya. Bukan hanya itu, joran pancing milik bapak jadi sasaran amarah ma uwa (Tanteku), joran yang terbuat dari bambu itu dipatahkan berlipat lipat.
Memancing buat ku dan bapak bukan perkara dapat ikan atau tidak tapi soal meluapkan rasa penasaran. Buktinya, walau dalam sehari tak dapat ikan tetap saja dilain hari tempat itu didatangi juga alias ga kapok. Berbagai macam umpan dicoba dan diolah, supaya ikan ikan di sungai bisa terperdaya dan nyangkut di mata kail kami. Tak mau juga kubilang bahwa memancing ini untuk menguji kesabaran. Sebab jika sudah berulang kali tak dapat juga, paling paling kami gunakan perangkap lain seperti jala, bahkan pernah juga sampai pakai tuba (racun ikan tradisional) atau Portas (racun ikan dari bahan kimia).
Pada masa itu, urusan memancing tak perlu mahal mahal. Cukup dengan sebilah bambu yang di raut hingga tipis, semakin ke atas semakin tipis. Kemudian dipasang kawat kecil yang dibuat membulat (mamarit) sekitar 5 sampai 6 butir sebagai jalan senarnya. Bahkan gulungan senarnya pun terbuat dari kayu bundar yang dilubangi tempat masuknya telunjuk agar nyaman saat menggulung senar atau strike menarik ikan.
Pada masa itu, ada satu joran pancing yang sangat dicari oleh pemancing. Bukan karena harganya mahal, atau bentuknya yang indah tapi soal kepercayaan. Ada yang tahu, yah, joran pancing dari bambu bekas mengukur orang meninggal. Percaya tidak percaya joran semacam ini di daerahku masih dipercaya paling bagus dan selalu membawa keberuntungan alias mudah mendapatkan ikan. Mitos lain dikalangan pemancing adalah joran pancing paling diharamkan dilangkahi, sebab joran itu dipercaya membawa sial alias enggak pernah dapat ikan lagi. Gara gara langkah melangkahi joran pancing urusannya bisa sampai adu jotos.
Masa itu berbeda sekali dengan masa sekarang. Dimasa kini, satu set alat pancing harganya gila gilaan. Bisa ratusan bahkan jutaan rupiah harganya. Padahal mancing cuma di kolam pemancingan atau sungai kecil bukan di laut. Tapi ya itu, ada anggapan semakin mahal alat pancing semakin bagus dan semakin mudah dapat ikan. Tapi bukan itu juga yang utama, semakin mahal alat pancing semakin naik pula status sosial pemiliknya. "Nih loh pancingan ku mahal,".
Yah, zaman memang telah berubah. Banyak hal yang sudah bergeser tentang nilai nilai memancing. Jika pada masa dulu memancing hanya aktivitas yang dilakukan oleh masyarakat kecil, pada masa kini memancing mulai jadi hobi orang orang menengah ke atas. Di kolam pemancingan bukan hanya bicara soal ikan atau umpan apa yang dipakai, tapi bisa juga bicara soal kursi dewan dan proyek proyek elitis. Kira kira ikannya nguping ga yah? (*)
Komentar
Posting Komentar