Pantas, jika dulu ketika masih menyandang status mahasiswa banyak yang menyebut bahwa harta terakhir yang dimiliki seorang pemuda adalah idealisme.
Harganya memang mahal, semakin bertambah usia maka semakin mahal pasar idealisme. Bahkan semakin berumur bisa dibilang semakin tak terbeli.
Layaknya harga sebidang tanah yang semakin tahun semakin tinggi. Kalau tak menabung sejak muda sudah pasti diusia tua tak punya apa apa, termasuk idealisme.
Idealisme letaknya ada di sanubari, menempel erat di dalam nurani. Lalu kemudian semakin bertambah usia, dia harus bertarung dengan musuh sesungguhnya.
Musuh tersebut lahir dari badan yang sama, namun sedikit turun ke bawah. Dia adalah rasa lapar, lapar akan kekuasaan, lapar akan harta benda, lapar akan pangan.
Akhirnya perlahan harta kita yang paling berharga yakni idealisme tersebut digadaikan juga. Padahal sudah sejak muda dipelihara, tapi sudah besar di gadaikan. Sampai akhirnya kita pun tak bisa lagi menebus nya.
Idealisme pun menguap, dan yang menguasai diri kita hanya tinggal rasa lapar. Yang kemudian menjadikan kita orang seutuhnya, dan lupa menjadi manusia yang memanusiakan manusia lainnya.
Yah, menjadi orang adalah harapan keluarga. Semua akan dianggap gagal kalau belum jadi orang. Kalau cuma sekadar jadi manusia, tak perlu punya pangkat tinggi, harta berlimpah, dengan hidup apa adanya pun kita sudah bisa jadi manusia.
Begitulah hidup.
Komentar
Posting Komentar