Jangan kenalkan Perihal Harta Tahta dan
Wanita sejak Dini
Selayang
Pandang
Bangsa amoral?
Bangsa terkorup? Bangsa yang tak becus mengurus rakyatnya? Bangsa penindas kaum
sendiri? Bangsa tak beradab?
Akhir-akhir
ini apakah Sering mendengar perkataan semacam ini di media bahkan di
obrolan-obrolan para ahli agama, sosial dan politik? kalau saya iya, saya
sering mendengar obrolan semacam ini, bahkan sudah sangat sering. Siapa yang
pantas disalahkan untuk hal semacam ini? Sistemnya atau kah orangnya? Sebuah
pertanyaan simalakama yang kita sebut debat kusir, tak ada habisnya jika kita
mendebatkan hal sistem dan orang, dua hal yang saling bergantung dan tak mungkin
dipisahkan. Seperti mendebatkan perkara telur dan ayam, mana yang duluan lahir,
keduanya memiliki alasan yang kaut untuk dibantah hingga tak pernah ada jawaban
yang pantas untuk dibenarkan.
Dari
survey yang dilakukan oleh transparency.org, sebuah badan independen dari 146
negara, tercatat data 10 besar Negara yang dinyatakan sebagai Negara terkorup,
dan Indonesia menempati urutan ke lima (5) sebagai Negara terkorup di Dunia,
namun di tingkat Asia Pasifik, Negara Indonesia adalah Negara terkorup yang menempati
urutan pertama (1), hal ini membuktikan bahwa tingkat korupsi di Indonesia
telah mencapai titik akut dan akan sangat sulit untuk diberantas, karena
perilaku korupsi ini telah dilakukan secara kaderisasi dari generasi ke
generasi, bahkan dapat dikatakan jumlah penegak hukum dan kaderisasi koruptor
berbanding tidak sama besar, kaderisasi koruptor setiap tahunnya meningkat,
sedangkan penegak hukum sebagian ada yang terjerat kasus korupsi, maka betapa
menggilanya perilaku koruptor di Indonesia ini. Upaya kita adalah bukan untuk
memberantas namun mengurangi sedikit demi sedikit, karena tak akan pernah
kejahatan itu dapat di berantas habis, namun dikurangi nilainya adalah suatu
hal yang mungkin. Jika terus dibiarkan Negara akan menanggung kerugian mulai dari
ratusan juta, milyaran hingga trilyunan rupiah, dan rakyat lah yang menjadi
korban perilaku korupsi ini.
Berbagai
macam kasus korupsi kebanyakan tidak menghasilkan hukuman yang membuat jera
para pelaku/tersangka korupsi, hal ini dikarenakan pelaku kebanyakan didominasi
oleh para pejabat Negara dan orang-orang berduit. Kasus korupsi membelit
berbagai macam instansi mulai dari DPR, kepolisian, TNI, pemerintahan dan
Menteri, partai Politik bahkan Kejaksaan yang nota bane nya adalah penegak hukum. Perkara tak jera lainnya adalah
karena kasus korupsi di Indonesia dilakukan secara berjamaah, sebut saja tindak
pidana korupsi yang membelit partai pemegang pemerintahan dan oposisi di
pemerintahan, perilaku itu bukan hanya individu dan kader namun telah menjadi sebuah
jamaah koruptor, bahkan dalam istilah sudah bisa mendirikan partai koruptor,
karena jamaahnya telah besar. Mereka saling melindungi dan membentuk skenario yang besar hingga
terkesan membelit pada fakta-fakta baru yang menjadi variable penggerak untuk mengalihkan isu, sebut saja century yang
tak habis kisahnya hingga saat ini, atau Hambalang yang terus menyeret
orang-orang penting yang separtai, maka ini yang membesarkan asumsi skenario
berjamaah, sungguh miris dan nelangsa bagi rakyat terutama masyarakat kecil
yang dikorbankan dalam perilaku ini.
Ada
sebab yang membuat kriminalitas ini berkembang dan membudaya. Sebab yang
mengakar ini adalah keterkaitan dengan apa yang kita namai harta, tahta, dan
wanita.
Perihal
Harta, Tahta dan Wanita
Apa
yang kita ketahui perihal harta? Harta adalah sesuatu yang digandrungi manusia
dan dapat dihadirkan pada saat diperlukan, atau dapat juga dikatakan bahwa
harta adalah segala sesuatu yang dapat
dihimpun, disimpan (dipelihara) dan dapat dimanfaatkan menurut adat (kebiasaan).
Kemudian Tahta adalah salah satu fitnah
dunia yang ditakuti oleh manusia, jika tidak diimbangi dengan ilmu yang cukup. Tahta adalah jabatan yang diperoleh, direbut
dan dipertahankan dan kemudian
menyebabkn pemegannya memiliki kekuasaan. Tahta pada hakekatnya adalah baik
jika digunakan secara benar namun karena kesalahan pemegangnya menyebabkan
tahta hanya menjadi sebuah ancaman yang mengkerdilkan para pembesar.
Selanjutnya Wanita adalah godaan terbesar bagi para pemimpin dan manusia secara
umumnya, wanita adalah sebuah istilah yang diberikan pada gender atau lawan
jenis bagi para pemegang harta dan tahta.
Apa
yang ditakutkan dan sikap yang salah atas kepemilikan ketiga perihal ini
menjadi sebuah esensi yang akan menyebabkan berbagai fitnah dunia menjadi jatuh
dan tak dapat dihindari oleh pemegangnya, begitu pun dalam perihal dunia sosial
dan politik saat ini.
Harus
ada penawar yang bisa di lakukan oleh masyarakat, sebagai langkah nyata yang
keheren dengan kerusakan yang ada. Langkah membudayakan, karena korupsi adalah
budaya maka penawar yang tepat adalah budaya pula. Budaya diperoleh dari
pendidikan dan pengalaman yang akan terus mengakar. Mengakar dalam artian
memberikan perubahan ke arah yang lebih baik dan lebih bersih. Bukan hanya
sekedar progresif tapi tak berdampak.
Saat
ini apa yang kita pikirkan tentang perilaku korupsi telah sampai pada batas kronis, banyak orang
yang beranggapan, bahwa ini adalah perilaku orang besar dan ini mencoreng makna
Demokrasi, sistem pemilu yang dianggap tidak becus memilih pejabat yang baik,
hingga melebeli para calon legislate, eksekutif sebagai noda hitam yang hina,
dan kita memilih mereka. Karena secara faktanya, mereka yang telah dipilih
untuk menjadi wakil rakyat, pada awalnya mengemis seperti kere-kere kepada
rakyat terutama rakyat kecil, namun setelah menjabat mereka lupa akan janjinya.
Pada masa ini, rakyat merasa telah dibodohi dan diakali secara halus, maka
rakyat pun memanfaatkan ajang PEMILU sebagai sebuah ajang aji mumpung untuk
meminta kepada calon wakil rakyat, dan calon wakil rakyat pun memberikannya
dengan harapan akan di pilih dirinya pada saat PEMILU, namun ternyata itu hanya
sebuah dendam yang dilakukan oleh masyarakat, mereka meminta pada semua calon,
sehingga banyak calon yang kecewa karena kalah suara, dan akhirnya stress
hingga menarik sumbangan mereka. Secara hakikatnya kedua pihak ini telah
menjadi sebuah perilaku yang salah, sama-sama memanfaatkan.
Ini
adalah sebuah kesalah yang sama-sama kita amini, karena kita sama-sama telah
kehabisan akal untuk mengatasinya dan memberikan solusi atas setiap perilaku
ini. Kasus perilaku korupsi ini dilatar belakangi dengan berbagai hal, seperti
jabatan di kursi pemerintahan yang diperebutkan, hingga biaya kampanye yang
besar menjadi sebuah akhir dari pengeluaran biaya politik (cost Politik) yang tidak
kecil nilainya dan ini adalah harta, kemudian lari pada pencucian uang yang di
berikan kepada para wanita-wanita dan selebriti cantik sebagai bentuk money laundry, dan ini sudah familiar di
telinga kita. Harta tahta dan wanita menjadi sebuah penyebab yang tak dapat
disangkal lagi, hingga banyak orang yang gila akan dunia karena ketiga perihal
ini termasuk koruptor.
Perihal
semacam ini, karena kita yang terlalu dini diperkenalkan kepada harta tahta dan
wanita, bagaimana kita sudah mengenal ini sejak masa-masa kritis, kita mengenal
jabatan dan perebutannya di mulai sejak menjadi mahasiswa, yang secara hakikatnya
mahasiswa adalah idealis yang taat, kemudian memperkenalkan Harta, bagaimana
kasus koruspi kecil-kecil di ormawa (Organisasi Mahasiswa) telah menjadi bibit yang menggejala, walau
hanya dalam jumlah kecil namun itu kemudian menjadi gejala sosial yang
dipraktekan di masa depannya di dunia kerja, selanjutnya wanita dan percintaan
menjadi permulaannya, yang dimulai dengan romantisme cinta monyet, di sini
sebenarnya kita telah diajarkan mengenal wanita, dan akhirnya setelah besar
menjadi paham bahwa jabatan adalah salah
satu daya tarik bagi wanita, bagaimana tidak popularitas sebagai pejabat kampus
adalah daya pikat yang tak diragukan lagi, sehingga setelah mencapai dunia yang
sebenarnya di praktekan secara besar-besaran.
Solusi
yang seharusnya ada, adalah tidak memperkenalkan ketiga hal ini secara dini,
salah satu bentuk memperkenalkannya adalah dengan masuknya dunia politik yang
di stir oleh sebagian partai politik yang mencemari dunia kampus dan dunia
idealism, sehingga apa yang seharusnya baik menjadi sama saja, bahkan menjadi
laten yang kapan saja dapat muncul dan menjadi koruptor ulung. Tanpa adanya
campur tangan partai politik maka dunia kampus akan menjadi bibit-bibit yang
tumbuh besar menjadi generasi muda yang solutif dan aspiratif terkait generasi
tua yang penuh dengan kesalahan.
Komentar
Posting Komentar