Langsung ke konten utama

Kultwitmu Kurang (ajar)




Sudah dari sore ini tubuh yang bernyawa ini masih saja terbaring diatas kasur biru, tipis dan kolot atau mungkin usang. Tubuhnya tidak beranjak, dan masih saja dalam posisi berbaring, matanya masih asyik memandang gadget yang dibelikan ibunya itu, sesekali matanya melirik ke sekitar. Memang sedang sendiri jadi terasa sepi, khawatir ada hal-hal yang beranjak dan menakutinya. Jemarinya masih saja berolah raga ria dengan tombol-tombol huruf yang ada di gadgetnya itu, yang paling aktif itu ibu jarinya di kedua tangannya, tak bisa berhenti, kalau dia bisa bicara dia bilang “woyy gw cape kali, dari tadi mencet-mencet mulu, udah kaya buruh di Arab..kaya romusa dizaman Jepang, gw bukan gitu yah” atau mungkin dia akan iri pada kelingkingnya yang hanya diam dan berada pada zona nyaman, ekspresi kemerdekaan seperti PNS yang sudah jadi pensiunan, padahal masa kerja saja sudah menganggur. Dan kelingkingnya pasti bilang “gini nih idup, nyaman bener, ga perlu ngapa-ngapain,...” sambil melengkingkan otot-ototnya yang mulai kaku karena jarang bergerak dan bangga.
Matanya sesekali memicing pada kata-kata yang muncul di beranda akunnya. Dia tersenyum, tertawa, murung dan semuanya masih dalam posisi tubuh yang sama. Tembok-tembok disekitarnya yang kuning dan sudah berbulan-bulan melihat aktivitas tubuh itu, dia sudah bosan kalau dia bisa berbicara pasti dia bilang “manusia macam apa dia, sudah seperti mayat hidup, hanya tertawa, nangis, tapi ga beranjak juga dari tempatnya cuiihh..”
Sudah seperti Rahwana yang terjepit gunung atau mungkin seperti kera sakti yang mendapatkan hukuman dan dijepit puncak mahameru lalu diam bertahun-tahun, tapi dia berbeda, dia mengistirahatkan dirinya atas kemalasannya sendiri, bukan karena hukuman yang tak mendapatkan amnesty atau semacamnya.
“tik tok tik tok tik tok..” jarum jam di ruangan itu berdetak sejak tadi dan angka yang ditunjukannya sudah lumayan malam, sudah ada di angka 22.22. Itu artinya manusia normal sudah banyak yang berpindah alam dari dunia nyata ke pulau kapuk, dan sebagian ada yang sudah benrcengkrama mesra dengan pasangan khayalannya, memadu kasih dan berlari-lari di taman bunga yang penuh dengan mawar berduri. Lalu kupu-kupu merah jambu berterbangan riang, mengepakkan sayapnya tapi hanya menggoda, sebagian lainnya sudah berkeringat dingin dihantui rasa-rasa akan mati, dikejar dan akan berada pada alam kematian karena malaikat pencabut nyawa sudah ada dihadapannya, dengan geram dan wajah memerah siapkan tangan untuk menarik roh dari jasadnya. Ahh semuanya hanya mimpi-mimpi para manusia yang penuh khayal. Tapi selalu dibilang bunga tidur, jadi mungkin benar disebut bunga tidur, dan bunga tidak selamanya harum ada yang bau seperti raflesia atau juga kantong semar, begitu juga mimpi.
Insomnia, para dokter yang dididik di universitas bilang penyakit yang tak bisa tidur seperti ini. Padahal tubuh ini tak meneguk secangkir kopi pun sejak tadi, tak memindahkan kafein kedalam tubuhnya. Tapi memindahkan beragam fakta konyol dunia ke dalam alam pikirannya, dia masih menjadi sosok yang tak bergerak, tertidur sejak tadi, dan seperti tubuh bernyawa tapi kaku.
Tinggal membiru lalu dingin datang, dan sebuah peti datang menghampiri menghantarkannya ke peraduan hidup, menghadapi tuhan dengan kepolosannya, seperti anak kecil yang ditanya orang yang menggodanya “sudah makan belum?”. Dengan tak punya dosa dia bilang belum. Lalu munkar dan nankir menghajar habis-habisin dan memberinya ganjaran atas perilakunya di dunia. Karena dia berdusta dengan jawaban yang polos itu.
“Yang dirumah pas malam minggu itu pasti Jombo#akurapopo”
Retweetnya banyak sekali, ga kira-kira, apa sih yang dmaknai dengan Jomblo, lalu ada hastag aku rapopo, memang kalau di rumah pas malam minggu itu selalu Jomblo, dan apa masalahnya dengan Jomblo, pergaulan itu selalu aneh. Semua menjadi trend dan mematikan harga diri sebagian sosok minoritas, eh tapi mungkin mayoritas juga. Semua fakta yang lahir di sebuah dunia maya kenapa selalu jadi trend dan tubuh yang sejak tadi terbaring ini pun mengiyakan dan tak segan ibu jarinya mengklik ”Retweet”. Rupanya aktivitas si ibu jari ini yang menjadikan sebuah kata menjadi trend di masa kini, mulut berbusa belum tentu di dengar oleh banyak orang, tapi olahraga jempol yang konyol ini jadi pembicaraan banyak orang, jadi sebuah kebudayaan baru yang dibentuk. Kalau pada masa manusia purba mereka merubah kebudayaannya dari berburu makanan, lalu beralih kebercocok tanam, dan kemudian mereka masuk masa perundagian, tapi tidak masa yang dibilang millennium baru ini.
Retorika lisan pupus dengan beragam argumen yang muncul dari ibu jari, kalau aristoteles pernah mengajarkan retorika yang mengandalkan etos, patos dan logos, yang pada masa itu memang menjadi sebuah kebenaran bahwa apa yang dikatakan manusia menjadi sebuah hal yang diperdebatkan. Pada masa kini yang orang bilang millennium baru, retorika itu hanya sebatas kumpulan pertemuan karya ibu jari dengan ibu jari lainnya, dan beradu dalam obrolan hangat sang ibu jari. Bahkan tidak jarang jadi benturan yang melibatkan masa besar, dan berujung pada penjara bagi jasadnya.
 Sampah-sampah di akunya sudah beribu-ribu jumlahnya, kalau di tulis dalam surat kabar, pasti sudah jadi puluhan eksemplar yang tertulis. Belum lagi akun lain yang penuh dengan sampah itu, memang zaman ini zaman visual dan virtual.
Ibu jarinya menekan tuts tuts di gadgetnya dan beberapa rangkai huruf yang akhirnya menjadi rangkaian kata di twitter itu.
“@misterGembel: Teringat perkataan bahwa koruptor dihukum mati bukan solusi” ibu jarinya kembali bekerja mengklik send, dan terposlah tweet itu di publik. Secara umum, kebiasaan membuat kul tweet, bukan ingin dianggap keren oleh siapapun yang membaca, tapi sekedar membuang kegelisahan dan membuang waktu yang ada. Sebagian orang bilang celotehan di twitter itu paling ampuh membuang kegalauan. Selalu muncul kadang dalam bayangan kepala si tubuh yang terbaring sejak tadi ini potongan-potongan tentang gambaran kehidupan yang tak pernah terbayangkan sebelumnya, kadang ingin berbagi dengan orang lain tentang semuanya tapi akhirnya hanya menjadi perdebatan saja dan terasa percuma bukan curahan hati tapi pertengkaran ideology yang terjadi. Beberapa kali celotehan ibu jari ini dianggap miring dengan opini-opini yang irasional, semiring terasering di punden berundak yang mereka anggap situs itu, mungkin memang tak seharusnya berpikir seperti itu, terlalu positivis dan menganggap semua orang sama, dan itu sebuah kesalahan besar.
Beberapa menit kemudian ibu jari itu melanjutkan “@MisterGembel :islam mengajarkan Qisas adalah yang tepat untuk hukum mencuri” dan kembali ibu jarinya mengklik send ke publik. Ibu jarinya seperti sudah terlatih bekerja dengan sendirinya, tanpa sensor mata melihat apa yang akan di kliknya pun, ibu jari sudah tahu apa yang harus dilakukannya, bahkan lebih cerdasnya lagi, dia bisa tahu di mana letak abjad yang akan ditekannya itu tanpa melihat dengan mata kepalanya itu. Abjad yang tersebar tak berurutan, di era millennium baru seperti sekarang ini, yang cerdas memang di jempolnya.
Kalau teringat apa yang dikatakan oleh Enzo dalam sebuah novel filsuf, itu bukan sebuah kecerdasan jika akhirnya kita paham tapi sebuah kebiasaan yang akhirnya menjadi biasa. Sama saja dengan seekor anjing yang dilempar benda oleh tuannya dan anjing itu dengan cekatan menangkapnya, dan itu bukan karena anjing itu berpikir atau cerdas namun karena sebuah kebiasaan. Maap yah gw pinjem kata Enzo, anjing filsuf.
“tengtong”
Gadget itu berbunyi tak berapa lama, “@simpul_wanita : wih anak kampus aktif”
“@MisterGembel :aktif BBM dan Sosmed mah”
Media sosial ini sudah seperti candu yang tak dapat dipisahkan dari kehidupan manusia saat ini, bahkan saat sakitpun yang pertama dilihat adalah media sosial. Bahkan saat kamu mau lari dikejar anjingpun yang pertama dijamah adalah media sosial untuk bercerita. Bukan sebongkah batu atau galah yang bisa menyelamatkan diri dari gigitan anjing, pantas semakin hari semakin banyak manusia yang meninggal dalam berbagai peristiwa aneh. Tapi belum sih sampai ada yang mati dalam pertarungan ibu jari, mungkin bisa kalau yang ditekan oleh ibu jari itu sudah bukan tuts tuts laptop atau gadget lagi tapi jarum di boneka santet.
Tubuh yang sejak tadi terbaring itu mengarahkan matanya yang binar dan membaca tweetan yang muncul di beranda tweeter itu dan tertawa sejenak saat membaca hal-hal yang menarik (Tertawa kecil di hati kalau mereka bilang). Kalau keluar suara nanti disangka gila atau hilang sebagian kewarasan. Hanya tersenyum kecil, bibir bergetar dan mata membuka terfokus pada satu rangkai kalimat di halaman tweeter. Semua simpul syaraf mata focus, lebih focus dari sekedar membaca mahzab Blummer atau Mead.
“@Miss_ pur: Katanya , sekarang dari background militer atau non militer sudah tidak berpengaruh” sebuah kalimat muncul di akun ibu jari itu dan spontan ibu jari itu kembali bekerja dengan otomatis mebalas rangkaian kata itu.
“@MisterGembel :tidak ngaruh buat jadi pelawak mah” sedikit senyum menjadi bagian dari tersirat dikalimat itu..kalimat? eh tapi ini karya ibu jari, setahu ku kalimat itu karya jemari yang bersama-sama merangkai kata bukan karya sepihak atau karya lisan yang berucap kata.
“@simpul _wanita: Sosmed nya bahas yang korupsi, emang bakal di denger?” tidak berapa lama tweet lain menyambar yang sejak tadi dibalasnya,
Entar dulu, gw bayangin, yang nyamber-nyamber tweet itu biasanya sama aktivitasnya, palingan juga baringan dikasur atau dudukan di sofa, dan lagi olahraga ibu jari pula. Tapi kalau jam segini, ku kira kasur adalah tempat yang tepat.
“@MisterGembel :ga dengerlah kan di baca bukan di denger” ibu jari itu membalas tweetnya dengan disematkan makna kata bercanda yang tersirat dalam ketikan itu. Tak berniat membahas apapun dimalam ini, hanya sekedar mengisi waktu sebelum tidur, dibanding harus menghitung gambar kuda yang ribuan itu, atau bisa juga dengan membaca huruf-huruf yang sebenarnya kita tak mampu pahami dan akhirnya menyerah lalu tertidur. Bisa juga dengan memindahkan alam duka dan pahit ke dalam imajinasi agar menjadi bosan lalu tertidur. Hingga akhirnya muncul bunga kantong semar di alam mimpinya, kan lebih ga menarik, atau sejenak saraf-sarafnya malah berhenti dan di bilang di dudukin jin. Padahal jangan sembarang fitnah, belum tentu jin mau dudukin juga.
“@miss_pur: pokoknya gw nggak mau pilih presiden yang pidato masih baca text. Gitu (‘_’) “ kembali dibaca tweet selanjutnya dari ibu jari lainnya, entah apa yang tengah di ceritakan melalui kata-katanya itu. Pada kata-katanya serasa ada yang sepaham dengan ibu jari tubuh yang terbaring ini.
“@MisterGembel :kalo baca hati boleh? :D “ ibu jarinya membalas tweet diatas, iseng rasanya ingin berkomentar pada tweetnya, yang sejak tadi membahas serius, zaman millennium baru seperti sekarang, ibu jari juga bisa menggombal dan aneh lagi,  pada zaman lain ke depan mungkin bisa bertansformasi hati.
Ibu jarinya masih tak mau diam, hingga sebagian orang menamai tubuhnya itu dengan jemarinya lebih berisik dari mulutnya, tubuh yang terbaring tapi tak kaku itu memang pendiam saat bercakap, tak terlalu sering berbicara, bahkan dalam pergaulan pun dia hanya diam saat teman yang ramai berbincang. Hanya tertawa kecil saat ada yang lucu, tapi dunia seperti berbalik 180 derajat saat dia berganti alam di dunia maya.
Ibu jari itu kembali mengetik beberapa kata “@MisterGembel :Apapun partainya kita tetep satu teh botol sosro..” melempar kata ke public tapi tak berharap ditanggapi siapapun, seperti biasa ini hanya buangan sampah setiap malam. Ibu jari bisa bersampah ria pula, besok kumpulan petugas pemungut sampah akan ramai memebrantas ibu-ibu jari peyampah.
“@miss_pur: heh @MisterGembel gue lagi serius ngurus Negara..” tweet diatas menegaskan bahwa dia menegur celotehan ku yang sejak tadi mengomentari setiap tweet yang di buangnya.
“@MisterGembel :lah sejak kapan lu mengurus Negara? “ mengurusi diri saja kadang masih kepayahan, tapi si ibu jari ini masih saja sok nasionalis, sok idealis padahal mah pragmatis pikirnya, mau bercanda dengan ideology dan terkatung-katung dalam banyak sifat manusia yang kotor.
“@MisterGembel :kita ini kaum pecinta Kulit….” Ibu jari itu masih mengetik dan tak mau diam tetap rasanya jemari ini seakan mendukung mata yang kompak tak mau terpejam. Pasti mata dikiri dan dikanan sedang bertarung melawan angin malam, atau mungkin letih tubuhnya yang terbaring, syarafnya belum mengizinkan kapten, ini perintah sepihak dan komando sifatnya dari syarat otak jadi belum bisa di pejamkan,
“@MisterGembel :kita ini kaum pecinta Citra bahkan politik mercusuar pun symbol bahwa kita memang mengiyakan..” tubuhnya bekerja sama dengan otaknya teringat akan politik mercusuar yang pernah dijalankan pada masa pemerintahan presiden Soekarno, dan malam ini kerja si ibu jari menjadikan bagian ini sebagai referensi jemari,..kadang banyak bacaan yang menjadi inspirasi dari tweet ibu jari itu, tapi tak jarang juga hanya imajinasi sampah yang di tuliskan, sekedar membuang kata malam terlalu jujur saja..
“@miss_pur: sejak tahu ada yang mata sipit di Dunia Politik” tweet diatas yang sejak tadi di tunggu balasannya, ternyata akhirnya muncul juga, seperti biasa diakhir kata selalu ada titik yang banyak, menandakan ketidak seriusannya untuk berkata, yah memang bercanda ..jika kita bilang semua hal itu adalah bagian leluconnya yang paling menarik.. huss, tapi si ibu jari ga bisa ketawa, yang ketawa tetap dua bibirnya yang saling menyungging, dan matanya kerlap kerlip memadukan harmoni ceria.
Dunia nyata terlalu pelik dengan keseriusan, terlebih tubuhnya yang terbaring ini yang tak bisa bercanda seperti mereka yang lain, semuanya terlalu dianggap serius sekalipun berniat bercanda, namun sekitar menanggapinya berbeda..
“@MisterGembel :Heh?.. Sipit(ung) ?” ibu jarinya membalas kata-kata nya, gurau semakin jadi dan menanggapi dengan tertawa kecil dihati, sudut bagian lain dari tubuh yang terbaring itu, sedikit terhibur ..kata orang, bahwa yang muncul itu duluan rohani baru tubuh, dan mungkin berlaku juga, bahwa yang muncul itu nuraninya dulu baru ada gumpalan hati berwarna marun.
“@MisterGembel :dulu sih kita sama-sama botak, tapi sekarang sudah beda kamu gondrong dan yang lain…” semakin ngelantur ibu jari mengetik dan semakin tak akan dipahami orang, kalau orang bilang media sosial itu rumah kita jadi terserah kita akan mengisinya dengan apa dan seperti apa. Hak kita untuk mewarnainya asal jangan merugikan tetangga di akun sebelah saja sudah cukup batasannya. Hus, 40 akun ke depan, 40 akun ke belakang, 40 akun ke kiri, 40 akun ke kanan adalah tetangga yang patut dijaga kebebasannya dan kenyamanannya, jangan sampai saling sindri tweetwar, kan ga lucu, ini bukan problem DPR yang saling serang.
Tapi tak jarang mata melihat ada orang-orang yang saling memaki dengan akun di media sosial, apa mereka berpikir bahwa makian mereka itu tontonan yang berharap dukungan pembenaran dari setiap makiannya, dan kita jadi menganggap itu adalah topeng monyet yang wajib di sawer…atau mungkin ada sebagian lainnya yang berharap makiannya dijadikan petisi dan ditandatangani oleh ibu jari lainnya, dan mereka berkoalisi membentuk pledoi dan pembenaran.
“@miss_pur: apa loe? Apa loe? :p, Pitung udah di Syurga “ kedua bibir tubuh itu hanya tersenyum membacanya, matanya terpejam sejenak dan memutar otak yang sedang bekerja sama dengan baik, maklum jildi satu berjalan dengan baik, di ketikkan beberapa kata “ di sebelah mana syurganya? Kaya udah pernah ke syurga ajah? :D” wraitting list tapi tak jadi di kirim di tweet balasan, dan ibu jari mengulang kerjanya dengan menghapus kembali.
“@MisterGembel :ga papalah matanya sipit asal ga hatinya yang sipit” di balas dan sedikit menggodanya dengan canda yang berharap dimengerti candaannya, karena banyak para ibu jari bilang perkataannya itu harus diterjemahkan, yah sebuah sindiran bahwa kerja ibu jari ini kadang tidak nyambung kalo bercanda. Lawas sih pergaulannya, kurang piknik kalau di bilang begitu, jadi kuper.
Setia matanya masih menunggu, balasannya namun tak dibalas juga, malah muncul tweet baru darinya “@miss_pur: Kopinya sudah Habis, kamerad “ala mata-mata korsel di korut”  sedikit bias di mata dia berkata apa, tak paham tapi ibu jarinya komentar juga, sok paham padahal buram, otaknya masih belum tersambung di arean ini, belum jadi jilid 2.
“@MisterGembel :heh sudah Dini hari si Dini saatnya tidur :D “ ibu jarinya kembali mengetik beberapa kata balasan yang tak jelas sebenarnya apa ..
“@miss_pur: dan penting lainnya giginya nggak kaya pak Semar” tweet balasan sepertinya untuk yang sebelumnya, mungkin baru terbaca, mulai lemot otaknya berpikir dan bekerja sama dengan jemarinya, matanya dan nuraninya,
“@MisterGembel :Semar itu orang pilihan :D orang terhebat, dan terendah emosinya, tapi terbijak budinya, kamu gimana? “ ibu jarinya membalas ocehannya, 
“@miss_pur: woy harinya mana? Gue butuh peluk , kalo gada Hari mana bisa molor :p “ celotehan ini muncul semakin membuat sampah beranda tweeter tak nyambung jika di baca orang, sudah semakin malam malah semakin aneh bahasannya..kasihan kan besok pagi para petugas kebersihan harus menyapu sampah-sampah di beranda twitter ini,  gara-gara si ibu jari yang doyan ngerumpi.
“@MisterGembel :harinya masih terbaring” di balas simple, ibu jarinya kehabisan kata, yang terpikir adalah hari orang tertidur sejak tadi disebelah tubuh lain yang pernah muncul dibenak tubuh terbaring ini, dan orang tidur saja dijadikan objek lelucon ahh sedikit berdosa mentertawakan orang yang tengah lelap
Ibu jari mulai kembali ngelantur, masih belum terpejam mata, komando belum diambil alih, padahal sudah menunjukkan pukul 24.30. Sudah sejam setengah si ibu jari berceloteh.
“@MisterGembel :kalau sudah denger istilah media yang terbesit adalah citra, cultivasi dan lelucon” ibu jari seperti menulis apa yang terdikte dari pikirannya, dan dirasa malam ini jemari masih lebih intim dengan otak dan sebanding dengan kedua bola matanya, yang saling rapat dan bilang “hayoo semangat-semangat,” sambil pompomnya di ayunkan.
“@miss_pur: angkatan apa? Angkatan udara? Siapa yang deklarasinya?..... #backtomiliter# “ dia membalas celoteh ibu jarinya yang ngawur,..
“@MisterGembel :letjen Semar” balas ibu jarinya singkat, Mata telah sedikit ingin terpejam tapi genit hanya sebelah, dan sebelah lainnya mengedipkan pada mata lainnya untuk tak terpejam.
“@miss_pur: sip..! gue apa? “
“@MisterGembel :kamu Briptu Sinta” aku menambahkan
“@miss_pur: ihh elu Curang ! Mbung ah mending rakyat jelata” dia menambahkan sebatas rakyat jelata menjadi terlihat lebih wah sepertinya dimata lelucon ini..gila padahal lebih elegan sinta.
Sepertinya mata memang sudah tak sanggup berkata dan ingin terpejam sejenak, ahh tak dapat dipaksakan jika memang seperti ini, komando sudah diambil alih oleh syaraf, kini diistirahatkan…



Obrolan si ibu jari




Komentar

Postingan populer dari blog ini

POLITIK DAN KETIDAK DEWASAANNYA

D"opini" “Semakin dewasa perpolitikan itu semakin terlihat kacau, antara yang memaknai dan yang berperan dalam mendefinisikan kacau, elit hilir mudik mencari cara untuk membentuk kemenangan dengan jalan prestisius dalam anggapannya” Apa yang kita paham tentang politik? Apa yang kita paham tentang kedewasaan? Adakah kaitan dari kedua kata ini? Politik dan kedewasaan adalah sebuah proses saling bertoleransi dan saling bersikap untuk sebuah upaya yang lebih baik melalui sistem kesadaran. Jika kita berbicara politik dan kedewasaannya, maka kita akan membicarakan sebuah sistem yang telah tertata rapi dan telah terbentuk dengan sangat detail sehingga orang diluar atau actor politik akan dapat memahami alur yang berkembang. Sistem yang dimaksud adalah sebuah sistem yang berlandaskan kesadaran. Sistem yang berlandaskan kesadaran adalah tingkatan sistem yang telah mencapai titik sempurna dan telah berada dalam tingkatan teratas dari berbagai sistem yang ada, sebu...

Tentang "Jadi" Jurnalis

Menjadi seorang jurnalis adalah sesuatu yang berbeda. Walau tak sekeren profesi lain semisal dokter, PNS, pegawai BUMN atau lainnya yang berseragam. Tidak hanya kalah keren, tapi profesi ini pun belakangan lebih sering bergelut dengan stigma. Banyak kalangan yang menilai profesi ini tidak lebih dari sekedar mencari kesalahan orang. Lalu menukarnya dengan rupiah. Ah kejam sekali mereka yang berpandangan demikian. Tapi ku kira bukan hal yang salah juga pandangan itu muncul. Bagaimana tidak sitgma itu muncul, jika kemudian “kartu pers” bisa dengan mudah dibuat. Bisa dengan mudah digunakan sebagai kartu sakti. Mending kalau kartu itu digunakan oleh orang yang tepat, orang yang paham akan fungsi dan etikanya. Jika digunakan oleh segelintir oknum, rasanya itu yang membuat stigma ini muncul. Seharusnya ada pembatasan dan aturan, yang bisa menjaga ini. Agar tak sembarang orang bisa mengidentikan dengan profesi jurnalis dan sedikit-sedikit atas nama “Pers”. Bayangkan, ketika kartu sakti...

Perkara Gus dan Pedagang Es teh

  Credit foto : Detik.com Petruk bingung, belakangan, panggung media sosial hingga media massa, bahkan pos ronda ramai dengan berita tentang seorang Gus yang merupakan utusan presiden sekaligus tokoh ulama berseteru dengan netizen. Yah, petruk bilang berseteru dengan netizen karena bapak penjual es teh yang disebut "goblok" oleh utusan presiden itu tak berseteru langsung. Hanya saja hatinya mungkin merasa tersakiti ketika ucapan utusan presiden itu terlontar dengan lantang didepan hadirin yang banyak. Tapi kembali lagi hati orang siapa yang tahu. Tapi, ucapan pedas yang katanya hanya candaan itu ternyata menusuk dalam di relung hati banyak warganet. Terang saja, balasan hujatan terlontar lebih dari kata "goblok" pada utusan presiden itu. Luapan kekesalan netizen ditumpah ruahkan di berbagai platform media sosial.  Memang jangan sepelekan warganet atau netizen, kekuatannya lebih hebat daripada sebatas kekuatan orang dalam. Karena penjual es teh disakiti, semua netize...