Langsung ke konten utama

Bekerja, Adalah “Idaman” Semua Lulusan


Setiap yang telah lulus dari mengenyam pendidikan, doa pertama yang kerap dipanjatkan adalah bisa bekerja. Bisa mendapatkan pekerjaan sesuai minatnya, sesuai hasratnya. Biar gaji seberapa yang penting kerjaan itu dari hati. Orang tua, kerabat dan kakek, nenek, buyut dan alam pun mengamini harapan itu. Mereka berharap kita mendapatkan pekerjaan yang enak dan bisa menghasilkan pundi rupiah (karena saya di Indonesia). 

Tak ada satupun yang tak mengamini itu. Setelah lulus beberapa hari, rasanya seperti baru menemukan dunia. Semua lamaran pekerjaan disebar dimana-mana. Masih pilah pilih, perusahaan besar nan bonafit jadi incaran. Perusahaan kecil hanya jadi obrolan katak di musim penghujan. Rentang 6 bulan belum juga bekerja, di putuskan untuk lebih giat lagi. Ibadah lebih rajin, shalat malam, bahkan dzikir dan ziarah pun di perkuat. Namun rupanya mencari pekerjaan tak semudah menemukan indomaret di Kota Serang. 

Selang setahun, pekerjaan yang didambakan tak juga didapat. Bahkan teman lainnya sudah berlomba dengan motor baru, mobil baru atau malah ada yang sudah memberanikan diri menikahi pujaan hati. Namun ini, masih terjebak di pencarian yang belum berujung. Orang tua, tetangga, kerabat dan alam semesta mun semakin mendesak, seolah kita tak pernah berupaya. Dihakimi citra sosial yang buruk, sebagai lulusan yang tak berhasil. Lamaran pun kembali disebar, entah perushaan besar atau kecil nampaknya tak dipilah, semua dilabrak bagai kita baru mendengar adzan magrib.

Setelah menemukan pekerjaan, ternyata bekerja tak se indah yang dibayangkan. Ijazah yang dicari bertahun-tahun ternyata hanya menjadi tiket untuk jadi bawahan. Walaupun bekerja adalah idaman setiap orang, namun rupanya tak jarang yang keluar masuk perushaan demi mencari kata “idaman” itu. Renungkan

Komentar

Postingan populer dari blog ini

POLITIK DAN KETIDAK DEWASAANNYA

D"opini" “Semakin dewasa perpolitikan itu semakin terlihat kacau, antara yang memaknai dan yang berperan dalam mendefinisikan kacau, elit hilir mudik mencari cara untuk membentuk kemenangan dengan jalan prestisius dalam anggapannya” Apa yang kita paham tentang politik? Apa yang kita paham tentang kedewasaan? Adakah kaitan dari kedua kata ini? Politik dan kedewasaan adalah sebuah proses saling bertoleransi dan saling bersikap untuk sebuah upaya yang lebih baik melalui sistem kesadaran. Jika kita berbicara politik dan kedewasaannya, maka kita akan membicarakan sebuah sistem yang telah tertata rapi dan telah terbentuk dengan sangat detail sehingga orang diluar atau actor politik akan dapat memahami alur yang berkembang. Sistem yang dimaksud adalah sebuah sistem yang berlandaskan kesadaran. Sistem yang berlandaskan kesadaran adalah tingkatan sistem yang telah mencapai titik sempurna dan telah berada dalam tingkatan teratas dari berbagai sistem yang ada, sebu...

Tentang "Jadi" Jurnalis

Menjadi seorang jurnalis adalah sesuatu yang berbeda. Walau tak sekeren profesi lain semisal dokter, PNS, pegawai BUMN atau lainnya yang berseragam. Tidak hanya kalah keren, tapi profesi ini pun belakangan lebih sering bergelut dengan stigma. Banyak kalangan yang menilai profesi ini tidak lebih dari sekedar mencari kesalahan orang. Lalu menukarnya dengan rupiah. Ah kejam sekali mereka yang berpandangan demikian. Tapi ku kira bukan hal yang salah juga pandangan itu muncul. Bagaimana tidak sitgma itu muncul, jika kemudian “kartu pers” bisa dengan mudah dibuat. Bisa dengan mudah digunakan sebagai kartu sakti. Mending kalau kartu itu digunakan oleh orang yang tepat, orang yang paham akan fungsi dan etikanya. Jika digunakan oleh segelintir oknum, rasanya itu yang membuat stigma ini muncul. Seharusnya ada pembatasan dan aturan, yang bisa menjaga ini. Agar tak sembarang orang bisa mengidentikan dengan profesi jurnalis dan sedikit-sedikit atas nama “Pers”. Bayangkan, ketika kartu sakti...

Perkara Gus dan Pedagang Es teh

  Credit foto : Detik.com Petruk bingung, belakangan, panggung media sosial hingga media massa, bahkan pos ronda ramai dengan berita tentang seorang Gus yang merupakan utusan presiden sekaligus tokoh ulama berseteru dengan netizen. Yah, petruk bilang berseteru dengan netizen karena bapak penjual es teh yang disebut "goblok" oleh utusan presiden itu tak berseteru langsung. Hanya saja hatinya mungkin merasa tersakiti ketika ucapan utusan presiden itu terlontar dengan lantang didepan hadirin yang banyak. Tapi kembali lagi hati orang siapa yang tahu. Tapi, ucapan pedas yang katanya hanya candaan itu ternyata menusuk dalam di relung hati banyak warganet. Terang saja, balasan hujatan terlontar lebih dari kata "goblok" pada utusan presiden itu. Luapan kekesalan netizen ditumpah ruahkan di berbagai platform media sosial.  Memang jangan sepelekan warganet atau netizen, kekuatannya lebih hebat daripada sebatas kekuatan orang dalam. Karena penjual es teh disakiti, semua netize...