Langsung ke konten utama

Tujuh jurus Jitu dan belenggu Kabut Asap


          
“Brakkk….”
Suara piring dilempar dan berbenturan dengan lantai, yang tak perlu ku jelaskan lagi juga kau pasti tahu apa yang terjadi dengan piring berbahan kaca itu. Sendok, garpu, gelas pun tak luput berhamburan di lantai dapur.
“Ibunda ratu sedang mengamuk, badai prahara pasti akan terjadi, “ bisik Kindal pada adiknya, sepasang kakak beradik yang berbeda 3 hari itu.
Adiknya hanya mengangguk. Seperti biasa tak banyak bicara. Entah apa yang dipikirkan anak perempuan berusia 7 tahun itu.
Yah, ibu kindal dan adiknya Roro berbeda, kindal lahir dari istri pertama ayahnya, dan Roro dari istri keduanya, makanya mereka berbeda 3 hari. Walau begitu dua kakak beradik itu selalu akur dan tidak pernah ada masalah atau bentrok berebut sandal, atau mobil-mobilan, boneka dan sebangsanya, mereka hidup akur tentram dan damai tanpa permusuhan, walau saban hari keluarganya selalu seperti suasana perang dunia.
Kondisi ini memang berbeda jauh dengan perangai kedua ibunya. Mereka kerap beradu suara tiap pagi. Lantangnya suara kedua wanita penghuni rumah di pojok jalan Asem itu kerap terdengar sampai ke telinga tetangga. Tak ayal, tetangga yang kerap bergumul itu saling bergosip tentang penghuni rumah mewah berwarna jingga itu. Tiap kalai lantangan suara itu terdengar, para tetangga langsung berkumpul dan berbisik. Tak heran, jika satu komplek perumahan itu tahu tentang penghuni rumah tersebut.
Ayah Kindal dan Roro yang seorang pedagang terpandang di desanya itu tak pernah bisa menenangkan isi rumahnya. Biasanya kalau sudah sengit, ayahnya hanya berdiri di antara pertentangan kedua istrinya itu. Dan tidak jarang juga badannya yang kurus itu sering kena lempar perkakas rumah. Walau serba ada, hidup pun berkecukupan, tapi tubuh sang ayah tak pernah berisi. Bahkan rambut dikepalanya pun semakin hari semakin habir. Sudah seperti hutan yang perlu di reboisasi. Mungkin pikiran yang sesak membuatnya demikian.
Pertengkaran dua istrinya itu tidak hanya soal perkara besar. Bukan soal kekuasaan, apalagi masalah jutaan uang belanja. Namun perkara sepele dan tidak penting pun bisa menjadi pemicu pertengkaran sengit. Seperti pagi ini, tema pertengkarannya hanya soal gagalnya pergi ke salon. Namun ributnya tak kalah seperti sedang jajak intrupsi dalam rapat paripurna.
“ini gara-gara sampean mas, aku ga bisa ke salon hari ini, padahal rambut ku sudah lusuh, sudah seminggu ini aku ga nyalon, ..”  Ratih istri pertamanya sewot, matanya melotot, tangannya masih memegang gelas kaca yang siap meluncur kapan saja dan kemana saja.
“heh, mba yu ini ga pernah ada pengertian, kang mas ini kerja keras terus buat kita, ko ga paham-paham juga,” di sudut lain yang berhadapan, Saroh gak kalah garang, tangan kanannya memegang penggorengan, di acungkan ke atas, seperti serdadu memberi peringatan siap menembak tahanan yang kabur.
“heh saroh, kalo kang mas ga kawin sama kamu, ga akan hidup keluargaku berantakan. Dulu aku bisa tiap hari nyalon, sekarang ada kamu, boro boro nyalon, beli gincu saja harus tunggu bulanan,” Ratih malah mengungkit masa lalu, padahal mereka sudah bertahun-tahun hidup bersama.
“kang mas yang mau sama aku, hih” Saroh ga ambil pusing.
Kindal dan Roro saling bertatapan dan seksama mendengarkan obrolan kasar kedua orang tuanya itu. Mereka tidak paham apa yang dibicarakan orang tua mereka, yang mereka paham harga permen sekarang sudah naik, uang 25 rupiah sudah tidak laku. Jajan sekolah harus 10 ribu, kalau tidak sekolah tidak berangkat. Padahal tiap malam, bapaknya selalu bilang, “dulu zaman bapak kecil, uang jajan itu cuma 50 rupiah. Bapak bisa dapat banyak permen,” katanya.
 Hidup di rumah itu sudah seperti terbelenggu kabut asap. Walau ruangan luas, tapi tak bisa bernafas lega. Seperti tertutup semuanya, lantaran pertengkaran yang selalu membisingkan. Tiap kali menarik nafas, jantung langsung deg degan, cemas kerap menghampiri. 
"Kita perlu jurus jitu," kata Kindal pada Roro.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

POLITIK DAN KETIDAK DEWASAANNYA

D"opini" “Semakin dewasa perpolitikan itu semakin terlihat kacau, antara yang memaknai dan yang berperan dalam mendefinisikan kacau, elit hilir mudik mencari cara untuk membentuk kemenangan dengan jalan prestisius dalam anggapannya” Apa yang kita paham tentang politik? Apa yang kita paham tentang kedewasaan? Adakah kaitan dari kedua kata ini? Politik dan kedewasaan adalah sebuah proses saling bertoleransi dan saling bersikap untuk sebuah upaya yang lebih baik melalui sistem kesadaran. Jika kita berbicara politik dan kedewasaannya, maka kita akan membicarakan sebuah sistem yang telah tertata rapi dan telah terbentuk dengan sangat detail sehingga orang diluar atau actor politik akan dapat memahami alur yang berkembang. Sistem yang dimaksud adalah sebuah sistem yang berlandaskan kesadaran. Sistem yang berlandaskan kesadaran adalah tingkatan sistem yang telah mencapai titik sempurna dan telah berada dalam tingkatan teratas dari berbagai sistem yang ada, sebu...

Tentang "Jadi" Jurnalis

Menjadi seorang jurnalis adalah sesuatu yang berbeda. Walau tak sekeren profesi lain semisal dokter, PNS, pegawai BUMN atau lainnya yang berseragam. Tidak hanya kalah keren, tapi profesi ini pun belakangan lebih sering bergelut dengan stigma. Banyak kalangan yang menilai profesi ini tidak lebih dari sekedar mencari kesalahan orang. Lalu menukarnya dengan rupiah. Ah kejam sekali mereka yang berpandangan demikian. Tapi ku kira bukan hal yang salah juga pandangan itu muncul. Bagaimana tidak sitgma itu muncul, jika kemudian “kartu pers” bisa dengan mudah dibuat. Bisa dengan mudah digunakan sebagai kartu sakti. Mending kalau kartu itu digunakan oleh orang yang tepat, orang yang paham akan fungsi dan etikanya. Jika digunakan oleh segelintir oknum, rasanya itu yang membuat stigma ini muncul. Seharusnya ada pembatasan dan aturan, yang bisa menjaga ini. Agar tak sembarang orang bisa mengidentikan dengan profesi jurnalis dan sedikit-sedikit atas nama “Pers”. Bayangkan, ketika kartu sakti...

Perkara Gus dan Pedagang Es teh

  Credit foto : Detik.com Petruk bingung, belakangan, panggung media sosial hingga media massa, bahkan pos ronda ramai dengan berita tentang seorang Gus yang merupakan utusan presiden sekaligus tokoh ulama berseteru dengan netizen. Yah, petruk bilang berseteru dengan netizen karena bapak penjual es teh yang disebut "goblok" oleh utusan presiden itu tak berseteru langsung. Hanya saja hatinya mungkin merasa tersakiti ketika ucapan utusan presiden itu terlontar dengan lantang didepan hadirin yang banyak. Tapi kembali lagi hati orang siapa yang tahu. Tapi, ucapan pedas yang katanya hanya candaan itu ternyata menusuk dalam di relung hati banyak warganet. Terang saja, balasan hujatan terlontar lebih dari kata "goblok" pada utusan presiden itu. Luapan kekesalan netizen ditumpah ruahkan di berbagai platform media sosial.  Memang jangan sepelekan warganet atau netizen, kekuatannya lebih hebat daripada sebatas kekuatan orang dalam. Karena penjual es teh disakiti, semua netize...