Langsung ke konten utama

Orang Gila dan Menuju Gila


Isu tentang adanya penculikan dan penyerangan terhadap para ulama dan tokoh-tokoh agama sontak telah membuat resah. Resah yang amat berarti dan beralasan tentunya. Bukan resah karena alasan si dia yang Wa nya online tapi tak balas pesan kamu. Lebih dari itu, sebab sasaran yang diamuk adalah orang-orang yang jadi panutan. Para pemuka agama, tokoh masyarakat, bahkan sampai ke pesantren.
Aparat kepolisian pun dikerahkan untuk menjaga stabilitas negara dari isu penculikan dan penyerangan tersebut. Beberapa kejadian pun sempat tersebar luas melalui jaringan media masa. Jelas, beritanya pun memenuhi tiap halaman surat kabar. Setelah tertangkap dan diperiksa, usut punya usut si pelaku adalah orang-orang yang memiliki pemikiran miring alias gendeng. Jika mengacu perkataan Tuanku Ibrahim Datuk Tan Malaka dalam Madilog nya, disebutkan bahwa orang gila atau gendeng itu sebenarnya berpikir. Hanya saja hasil berpikirnya tak sama dengan manusia tak gendeng kebanyakan.
Karena alasan ini pula lah, akhirnya orang-orang gendeng yang berkeliaran di pinggir jalan pun jadi sasaran. Ditangkapi, lewat sebuah aksi besar yang dilakukan serentak oleh aparat keamanan dan ketertiban. Bahkan akibat isu ini pun, beberapa orang gendeng sempat menjadi sasaran amukan warga, mereka yang gendeng di tuduh PKI, dituduh bla bla lah. Malang benar nasib mereka yang gendeng ini. Sudah gendeng tertimpa tangga pula.
Hujan fitnah, prasangka dan stigma diberikan pada mereka yang gendeng. Mereka yang gendeng difitnah pura-pura gendeng alias normal, bahkan yang lebih keji disebut pula bahwa mereka dikoordinir oleh seseorang. Ternyata sampai sejauh itu fitnah terhadap mereka yang gendeng. Bagaimana kalau mereka yang gendeng ini kemudian murka dengan tuduhan-tuduhan yang tak terbukti itu? Saya kira hatinya tetap sakit sama seperti kita kebanyakan. Hanya saja sakitnya berbeda dengan yang kita rasakan sebagai makhluk yang masih belum gendeng.
Aksi saling kejar antara aparat dengan mereka yang gendeng pun semakin ramai di jalan-jalan protocol. Bahkan si gendeng sampai ada yang berpura-pura sehat agar tak dibilang gendeng dan tak jadi sasaran tangkap. Sembari bilang “saya enggak gila pak”. Setelah petugas percaya dengan gimik si gendeng, lalu dia ambil jurus langkah seribu. Para petugas baru sadar kalau dia sudah dikibuli oleh orang gendeng itu. Semenarik itu perburuan orang gendeng di tanah air ini.
Tanah air tumpah darahku,
Ibu pertiwinya sedang sedih. Karena anak cucunya sedang sibuk dengan isu orang gendeng ini. Jelang tahun politik isu ini memang kerap muncul, beberapa orang bilang demikian. Tapi masih saja terpropokasi. (*)




Komentar

Postingan populer dari blog ini

POLITIK DAN KETIDAK DEWASAANNYA

D"opini" “Semakin dewasa perpolitikan itu semakin terlihat kacau, antara yang memaknai dan yang berperan dalam mendefinisikan kacau, elit hilir mudik mencari cara untuk membentuk kemenangan dengan jalan prestisius dalam anggapannya” Apa yang kita paham tentang politik? Apa yang kita paham tentang kedewasaan? Adakah kaitan dari kedua kata ini? Politik dan kedewasaan adalah sebuah proses saling bertoleransi dan saling bersikap untuk sebuah upaya yang lebih baik melalui sistem kesadaran. Jika kita berbicara politik dan kedewasaannya, maka kita akan membicarakan sebuah sistem yang telah tertata rapi dan telah terbentuk dengan sangat detail sehingga orang diluar atau actor politik akan dapat memahami alur yang berkembang. Sistem yang dimaksud adalah sebuah sistem yang berlandaskan kesadaran. Sistem yang berlandaskan kesadaran adalah tingkatan sistem yang telah mencapai titik sempurna dan telah berada dalam tingkatan teratas dari berbagai sistem yang ada, sebu...

Tentang "Jadi" Jurnalis

Menjadi seorang jurnalis adalah sesuatu yang berbeda. Walau tak sekeren profesi lain semisal dokter, PNS, pegawai BUMN atau lainnya yang berseragam. Tidak hanya kalah keren, tapi profesi ini pun belakangan lebih sering bergelut dengan stigma. Banyak kalangan yang menilai profesi ini tidak lebih dari sekedar mencari kesalahan orang. Lalu menukarnya dengan rupiah. Ah kejam sekali mereka yang berpandangan demikian. Tapi ku kira bukan hal yang salah juga pandangan itu muncul. Bagaimana tidak sitgma itu muncul, jika kemudian “kartu pers” bisa dengan mudah dibuat. Bisa dengan mudah digunakan sebagai kartu sakti. Mending kalau kartu itu digunakan oleh orang yang tepat, orang yang paham akan fungsi dan etikanya. Jika digunakan oleh segelintir oknum, rasanya itu yang membuat stigma ini muncul. Seharusnya ada pembatasan dan aturan, yang bisa menjaga ini. Agar tak sembarang orang bisa mengidentikan dengan profesi jurnalis dan sedikit-sedikit atas nama “Pers”. Bayangkan, ketika kartu sakti...

Perkara Gus dan Pedagang Es teh

  Credit foto : Detik.com Petruk bingung, belakangan, panggung media sosial hingga media massa, bahkan pos ronda ramai dengan berita tentang seorang Gus yang merupakan utusan presiden sekaligus tokoh ulama berseteru dengan netizen. Yah, petruk bilang berseteru dengan netizen karena bapak penjual es teh yang disebut "goblok" oleh utusan presiden itu tak berseteru langsung. Hanya saja hatinya mungkin merasa tersakiti ketika ucapan utusan presiden itu terlontar dengan lantang didepan hadirin yang banyak. Tapi kembali lagi hati orang siapa yang tahu. Tapi, ucapan pedas yang katanya hanya candaan itu ternyata menusuk dalam di relung hati banyak warganet. Terang saja, balasan hujatan terlontar lebih dari kata "goblok" pada utusan presiden itu. Luapan kekesalan netizen ditumpah ruahkan di berbagai platform media sosial.  Memang jangan sepelekan warganet atau netizen, kekuatannya lebih hebat daripada sebatas kekuatan orang dalam. Karena penjual es teh disakiti, semua netize...