Langsung ke konten utama

Jadi wartawan di Era Konvergensi


Wartawan adalah pekerjaan yang saat ini menjadi tidak diminati oleh banyak orang. Jangankan anak anak dari jurusan kuliah lain, dari keilmuannya sendiri yang menelurkan jurnalistik saja mereka mulai ogah jadi wartawan. Bahkan dicegah oleh orang tua dan dosennya sendiri. Apalagi di lokal.

Banyak alasan kalau ditanya kenapa enggak mau jadi pewarta. Mereka bilang pekerjaan ini tak menjanjikan, tak jelas, dan tak bisa dibanggakan mertua.

Okeh, kalau sudah bilang begitu apa boleh buat. Ilmu tetap ilmu dan setiap tahun universitas yang membuka jurusan komunikasi kerap menelurkan alumni-alumni jurnalistik. Tapi kembali ke awal, apa boleh buat jika tak minat.

Gini loh dek, jadi wartawan itu bukan pekerjaan kaya raya. Kamu tak bisa cari harta hanya dengan menulis. Apalagi di lokal, pekerjaan mu tak lebih dari batu loncatan semata. Bahkan teman seprofesi sampai bilang "Rizki wartawan dititipkan di pejabat". Apa ndak gila kalau sampai ada istilah lah begitu? Bisa tergambar betapa suramnya profesi ini. Kami belajar etika, tapi dicampakkan karena urusan perut yang tak terpenuhi.

Citra yang kini suram semakin rusak dengan bermunculannya para pewarta Abal-Abal. Alih-alih mencari berita dan mengembalikan profesi ini pada khittahnya tapi salah kaprah malah mengancam narasumber dan bawa-bawa proposal. "Pilih kasih sumbangan untuk proposal atau saya tulis berita jelek". Wartawan semacam ini jelas menambah suram masa depan pewarta. Belum lagi yang datang hanya mencari amplop dan tak pernah muncul tulisannya. Hmmm

Di era konvergensi pekerja media masa memang seperti dikapitalisasi. Pewarta adalah sapi perah yang harus mampu menggaji dirinya sendiri. Jika tak ada setoran iklan, ancamannya hanya satu "kamu enggak bisa gajian". Lah, istri dan anak saya makan apa?

Eh tahu kan konvergensi? Konvergensi media adalah penggabungan atau pengintegrasian media yang ada untuk digunakan dan diarahkan pada satu tujuan. Konvergensi media ini biasanya merujuk pada perkembangan teknologi komunikasi digital yang dimungkinkan dengan adanya konvergensi jaringan. 

Nah konvergensi jaringan adalah koeksistensi efisiensi telefon, video dan komunikasi data dalam satu jaringan. Semisal satu perusahaan media masa punya produk koran, lalu di era konvergensi ini mengeluarkan produk video, online dan media sosial seperti Instagram dan kanal youtube. Keberadaan produk lain selain cetak ini untuk memperpanjang jaringan yang tujuannya meraup keuntungan dan rating tinggi melalui pemenuhan kebutuhan dahaga informasi publik.

Alih-alih konvergensi, beberapa media masa mulai panik akan perubahan zaman. Bukannya mengatur strategi untuk maju malah menebar ancaman. Sampai kapan pun, pewarta tak akan pernah sejahtera, kebebasan pers tak kan pernah bisa diraih, bahkan hak masyarakat untuk mendapatkan informasi berimbang hanya akan jadi khayalan. Semuanya ada di langit dan tidak bisa turun ke bumi. Mau sampaikan ini itu harus izin dari si pemberi iklan, seolah dia adalah donatur mulia yang harus dimuliakan. Tak punya dosa. Miring sedikit fakta yang disampaikan, ancaman diputus kontrak iklan sudah jadi konvensasi.

Era konvergensi yang saat ini digaungkan oleh berbagai perusahaan media, nampaknya semakin sulit dijalankan. Nyatanya kita belum siap bertemu dengan era baru itu. Kita hanya bisa pasrah jika di kemudian hari media masa cetak tutup buku dan digerus oleh zaman. Mereka beralih dari printed menuju digital. Yang saat ini kita lakukan bukan mempersiapkan diri pada era itu, tapi hanya memperpanjang usia semata. Yang pada akhirnya akan sampai juga pada masa yang disebut kematian media masa.

Sebenarnya, peluang bisnis media masa ada di dunia Maya. Rating tinggi harus dikonversi menjadi rupiah dan dolar. Mulai lupakan berita berita berframing memuji yang utopis. Berikan fakta-fakta humanis yang mendalam. Maka secara sejalan media masa akan tetap hidup. Berapa akun media sosial yang mengais hidup dari dunia maya? (*)

Komentar

Postingan populer dari blog ini

POLITIK DAN KETIDAK DEWASAANNYA

D"opini" “Semakin dewasa perpolitikan itu semakin terlihat kacau, antara yang memaknai dan yang berperan dalam mendefinisikan kacau, elit hilir mudik mencari cara untuk membentuk kemenangan dengan jalan prestisius dalam anggapannya” Apa yang kita paham tentang politik? Apa yang kita paham tentang kedewasaan? Adakah kaitan dari kedua kata ini? Politik dan kedewasaan adalah sebuah proses saling bertoleransi dan saling bersikap untuk sebuah upaya yang lebih baik melalui sistem kesadaran. Jika kita berbicara politik dan kedewasaannya, maka kita akan membicarakan sebuah sistem yang telah tertata rapi dan telah terbentuk dengan sangat detail sehingga orang diluar atau actor politik akan dapat memahami alur yang berkembang. Sistem yang dimaksud adalah sebuah sistem yang berlandaskan kesadaran. Sistem yang berlandaskan kesadaran adalah tingkatan sistem yang telah mencapai titik sempurna dan telah berada dalam tingkatan teratas dari berbagai sistem yang ada, sebu...

Tentang "Jadi" Jurnalis

Menjadi seorang jurnalis adalah sesuatu yang berbeda. Walau tak sekeren profesi lain semisal dokter, PNS, pegawai BUMN atau lainnya yang berseragam. Tidak hanya kalah keren, tapi profesi ini pun belakangan lebih sering bergelut dengan stigma. Banyak kalangan yang menilai profesi ini tidak lebih dari sekedar mencari kesalahan orang. Lalu menukarnya dengan rupiah. Ah kejam sekali mereka yang berpandangan demikian. Tapi ku kira bukan hal yang salah juga pandangan itu muncul. Bagaimana tidak sitgma itu muncul, jika kemudian “kartu pers” bisa dengan mudah dibuat. Bisa dengan mudah digunakan sebagai kartu sakti. Mending kalau kartu itu digunakan oleh orang yang tepat, orang yang paham akan fungsi dan etikanya. Jika digunakan oleh segelintir oknum, rasanya itu yang membuat stigma ini muncul. Seharusnya ada pembatasan dan aturan, yang bisa menjaga ini. Agar tak sembarang orang bisa mengidentikan dengan profesi jurnalis dan sedikit-sedikit atas nama “Pers”. Bayangkan, ketika kartu sakti...

Perkara Gus dan Pedagang Es teh

  Credit foto : Detik.com Petruk bingung, belakangan, panggung media sosial hingga media massa, bahkan pos ronda ramai dengan berita tentang seorang Gus yang merupakan utusan presiden sekaligus tokoh ulama berseteru dengan netizen. Yah, petruk bilang berseteru dengan netizen karena bapak penjual es teh yang disebut "goblok" oleh utusan presiden itu tak berseteru langsung. Hanya saja hatinya mungkin merasa tersakiti ketika ucapan utusan presiden itu terlontar dengan lantang didepan hadirin yang banyak. Tapi kembali lagi hati orang siapa yang tahu. Tapi, ucapan pedas yang katanya hanya candaan itu ternyata menusuk dalam di relung hati banyak warganet. Terang saja, balasan hujatan terlontar lebih dari kata "goblok" pada utusan presiden itu. Luapan kekesalan netizen ditumpah ruahkan di berbagai platform media sosial.  Memang jangan sepelekan warganet atau netizen, kekuatannya lebih hebat daripada sebatas kekuatan orang dalam. Karena penjual es teh disakiti, semua netize...