Senja
itu, laut di pelabuhan Karangantu masih terlihat tak tenang. Angin mulai
berdesir menggeser kubangan pasir yang terhempas air laut. Semakin bergeser ke laut,
surut terlihat jelas di sekitar perairan Karangantu. Para nelayan mulai memasang
jaringnya dan sebagian beranjak dari kapalnya, menambatkan di dermaga-dermaga.
Burung
camar mulai berterbangan hilir mudik menyambar air laut yang semakin tenang,
dan hanya bertarung dengan desir angin, matahari pun begitu lugu, berparas jingga.
Ku terka, mau tenggelam rupanya, sebab lembayung sudah semakin deras
menjemputnya. Mungkin sudah dipanggil sang pemutar hari, atau kontraknya sudah
habis, tapi matahari tak mungkin di outsourching, biar terbit dan terbenam
semau sang pencipta, tak perlu menunggu biar dia berkehendak. Kalau sudah
tenggelam siapa yang bisa menikmati lagi, kata orang matahari itu cuma dua kali
indahnya, pagi hari dan sore hari. Tapi itu kubenarkan dan aku anggukan untuk
berkata iya. Aku sepaham dengan mereka yang berkata demikian.
“Kriiiingkriiiiinggg…”
sebuah sepeda melaju menghampiri dari arah belakang. Topi koboi dengan baju
hitam bertuliskan “Banten Death Metal Sedulur” masih jelas terlihat di bagian
depan kaos oblong yang di pakai lelaki berambut panjang itu. Dengan kerah leher
V-neck, baju gaul anak muda zaman sekarang. Sepeda ontel tahun 60-an yang
katanya itu satu-satunya peninggalan ayahnya yang mati ditembak tentara belanda
kala memperjuangkan kemerdekaan.
“Mal,
..dicariin sama ibu mu tuh tadi, katanya disuruh ke Serang..” lelaki berambut
Panjang yang baru semenit tiba di belakang ku itu memegang pundaku. Sontak
camar disekitarku yang melingkar menggambar ilusi cupid memanahkan anak
panahnya ke arah ulu hati, cupidnya tersenyum tapi akhirnya bias dan hilang
gara-gara si Damar yang datang sempoyongan terus bubarkan lamunan. Yah Damar ku
panggil lelaki itu, dia masih sepupu ku, tepatnya anak dari paman ku, kakaknya
ayah ku, jadi ayah kita bersaudara dan jadilah Damar dan aku.
“Hah?
Ngapain? Lu ga liat gw lagi sibuk..bilang sana sama nyokap gw, anaknya yang
ganteng ini lagi sibuk” mataku berkerlip, sambil memicingkannnya ke arah Damar
dengan wajah menoleh ke belakang. Semakin dekat semakin terlihat jelas lelaki
yang ayah dan ibu ku bilang sepupu itu.
“Halah,
ngga taulah, gw cuman disuruh gitu aja, mungkin disuruh kerumah uwa Kamil, ..”
Damar masih belum perhatian pada gaya bercandaku yang setengah serius. Nada sih
memang serius tapi raut wajah ini memangnya tak bisa di baca apa dengan lulusan
sastra di UNDIP itu.
“Males
ah, jauh ke Serang, mending di sini liat laut, lagi keren ni sunsetnya, coba
deh lu lihat, imajinasi gw liar kalo liat yang beginian, lu bisa rasain kan
udara di sini jarang-jarang bersahabat, langit juga semakin manis, kaya
Renata..hhee..”
“Huuuuhh,
ngegombal aja, makannya lu buruan lulus terus samperin tuh si Renata, ntar
keburu di ambil bujang-bujang disana, mawar itu pasti kecium sama
kumbang-kumbang, apalagi kumbang cabul kaya lu..hhahhhhaaa..”
“Hus,
gw bukan cabul, gw mengagumi mawar. Kembang desa tadi lu bilang? Tapi ga lah,
dia bukan kembang desa, tapi kembang hati gw, hhhaa..”
“lu
kebanyakan ngegombal di belakang, atau jangan-jangan lu gombalin gw hhaa, gw
masih normal loh, dan gw ga minat sama lu..”
“Mana
mau gw sama lu, gw masih jauh lebih normal dari lu, bahkan dibanding para caleg
yang gagal menang dan menuhin rumah sakit, gw jauh lebih normal, tapi gw lebih
gila kalo Tuhan sandingkan Gw dengan Renata..hhaa,..” Mata Damar mendelik usil,
dan melempar senyum sinis ke arah ku, aku hanya diam saja dan membalas dengan
tatapan kosong ke arah langit yang mulai menjadi gelap.
Senja
yang jingga berangsur padam, karena BBM mulai naik mungkin, jadi siang
dipersingkat, supaya ga mahal bayarnya. Atau mungkin menghargai hasil aksi para
mahasisiwa ke gedung DPR beberapa waktu lalu untuk menggugat harga BBM yang
melambung seperti balon udara. Ditiup terus sama pemangku jabatan dan akhirnya
melambung, lalu dibakar diperapian dan akhirnya semakin panas balonnya. Sama
halnya dengan perasaan ku pada Renata yang semakin hari semakin melambung,
terus ku tiup dengan imajinasi kaku nan romantis, tapi hanya bayangnya saja
yang terlintas dan mampu ku sentuh bahkan kudekap setiap aku rindu. Memang
dunia terlalu romantis untuk sekedar menghapus rindu di peraduan malam.
“Yuk
lah, balik, ngapain udah gelap juga..” Damar membalikan sepedahnya, dan
menaikinya lalu mengayuhnya perlahan dan meninggalkanku yang masih saja menatap
kosong ke langit senja yang mulai tak bersahabat. Lampu-lampu kapal nelayan
mulai terlihat bersinar temaram, wajah para nelayan pun sudah tak tampak jelas,
hanya semerbak wajah letih yang terlihat di raut mereka. Burung camar yang
sejak tadi hilir mudik pun sudah tak terlihat, cupidnya sudah terbang rendah
dan menjauh dari pandangan, seperti kapal yang meninggalkan pantai semakin jauh
semakin tak terlihat, apa imajinasi juga melengkung seperti bumi.
“Woyyyy…..Mar,
lu tega tinggalin gw….” Aku berteriak sangat keras ke arah Damar yang terus
mengayuh sepedanya, tapi tak ada sahutan yang terdengar, ini bukan bukit yang
memantulkan gema suara, hanya desir ombak yang terdengar bergemuruh, dan
sepertinya suara ku digulung oleh ombak itu, jadi tak terdengar dalam teriakan
parau yang sudah senja ini. Aku kembalikan pandangan ku laut lepas, ku pandang
sejauh syaraf mata ini sanggup menghantarkan cahaya lalu menembus setiap
derajat elevasi yang kemudian menghilang juga, jika dihitung pasti sudah
bernilai tak hingga. Aku pun bergegas dan meninggalkan laut itu, laut masih
saja melambaikan ombaknya, mungkin masih berharap aku kembalikan pandangan ku.
(*)
Komentar
Posting Komentar