Langsung ke konten utama

Aritmophobia : 1. Perkenalkan

Senja itu, laut di pelabuhan Karangantu masih terlihat tak tenang. Angin mulai berdesir menggeser kubangan pasir yang terhempas air laut. Semakin bergeser ke laut, surut terlihat jelas di sekitar perairan Karangantu. Para nelayan mulai memasang jaringnya dan sebagian beranjak dari kapalnya, menambatkan di dermaga-dermaga.
Burung camar mulai berterbangan hilir mudik menyambar air laut yang semakin tenang, dan hanya bertarung dengan desir angin, matahari pun begitu lugu, berparas jingga. Ku terka, mau tenggelam rupanya, sebab lembayung sudah semakin deras menjemputnya. Mungkin sudah dipanggil sang pemutar hari, atau kontraknya sudah habis, tapi matahari tak mungkin di outsourching, biar terbit dan terbenam semau sang pencipta, tak perlu menunggu biar dia berkehendak. Kalau sudah tenggelam siapa yang bisa menikmati lagi, kata orang matahari itu cuma dua kali indahnya, pagi hari dan sore hari. Tapi itu kubenarkan dan aku anggukan untuk berkata iya. Aku sepaham dengan mereka yang berkata demikian.
“Kriiiingkriiiiinggg…” sebuah sepeda melaju menghampiri dari arah belakang. Topi koboi dengan baju hitam bertuliskan “Banten Death Metal Sedulur” masih jelas terlihat di bagian depan kaos oblong yang di pakai lelaki berambut panjang itu. Dengan kerah leher V-neck, baju gaul anak muda zaman sekarang. Sepeda ontel tahun 60-an yang katanya itu satu-satunya peninggalan ayahnya yang mati ditembak tentara belanda kala memperjuangkan kemerdekaan.
“Mal, ..dicariin sama ibu mu tuh tadi, katanya disuruh ke Serang..” lelaki berambut Panjang yang baru semenit tiba di belakang ku itu memegang pundaku. Sontak camar disekitarku yang melingkar menggambar ilusi cupid memanahkan anak panahnya ke arah ulu hati, cupidnya tersenyum tapi akhirnya bias dan hilang gara-gara si Damar yang datang sempoyongan terus bubarkan lamunan. Yah Damar ku panggil lelaki itu, dia masih sepupu ku, tepatnya anak dari paman ku, kakaknya ayah ku, jadi ayah kita bersaudara dan jadilah Damar dan aku.
“Hah? Ngapain? Lu ga liat gw lagi sibuk..bilang sana sama nyokap gw, anaknya yang ganteng ini lagi sibuk” mataku berkerlip, sambil memicingkannnya ke arah Damar dengan wajah menoleh ke belakang. Semakin dekat semakin terlihat jelas lelaki yang ayah dan ibu ku bilang sepupu itu.
“Halah, ngga taulah, gw cuman disuruh gitu aja, mungkin disuruh kerumah uwa Kamil, ..” Damar masih belum perhatian pada gaya bercandaku yang setengah serius. Nada sih memang serius tapi raut wajah ini memangnya tak bisa di baca apa dengan lulusan sastra di UNDIP itu.
“Males ah, jauh ke Serang, mending di sini liat laut, lagi keren ni sunsetnya, coba deh lu lihat, imajinasi gw liar kalo liat yang beginian, lu bisa rasain kan udara di sini jarang-jarang bersahabat, langit juga semakin manis, kaya Renata..hhee..”
“Huuuuhh, ngegombal aja, makannya lu buruan lulus terus samperin tuh si Renata, ntar keburu di ambil bujang-bujang disana, mawar itu pasti kecium sama kumbang-kumbang, apalagi kumbang cabul kaya lu..hhahhhhaaa..”
“Hus, gw bukan cabul, gw mengagumi mawar. Kembang desa tadi lu bilang? Tapi ga lah, dia bukan kembang desa, tapi kembang hati gw, hhhaa..”
“lu kebanyakan ngegombal di belakang, atau jangan-jangan lu gombalin gw hhaa, gw masih normal loh, dan gw ga minat sama lu..”
“Mana mau gw sama lu, gw masih jauh lebih normal dari lu, bahkan dibanding para caleg yang gagal menang dan menuhin rumah sakit, gw jauh lebih normal, tapi gw lebih gila kalo Tuhan sandingkan Gw dengan Renata..hhaa,..” Mata Damar mendelik usil, dan melempar senyum sinis ke arah ku, aku hanya diam saja dan membalas dengan tatapan kosong ke arah langit yang mulai menjadi gelap.
Senja yang jingga berangsur padam, karena BBM mulai naik mungkin, jadi siang dipersingkat, supaya ga mahal bayarnya. Atau mungkin menghargai hasil aksi para mahasisiwa ke gedung DPR beberapa waktu lalu untuk menggugat harga BBM yang melambung seperti balon udara. Ditiup terus sama pemangku jabatan dan akhirnya melambung, lalu dibakar diperapian dan akhirnya semakin panas balonnya. Sama halnya dengan perasaan ku pada Renata yang semakin hari semakin melambung, terus ku tiup dengan imajinasi kaku nan romantis, tapi hanya bayangnya saja yang terlintas dan mampu ku sentuh bahkan kudekap setiap aku rindu. Memang dunia terlalu romantis untuk sekedar menghapus rindu di peraduan malam.
“Yuk lah, balik, ngapain udah gelap juga..” Damar membalikan sepedahnya, dan menaikinya lalu mengayuhnya perlahan dan meninggalkanku yang masih saja menatap kosong ke langit senja yang mulai tak bersahabat. Lampu-lampu kapal nelayan mulai terlihat bersinar temaram, wajah para nelayan pun sudah tak tampak jelas, hanya semerbak wajah letih yang terlihat di raut mereka. Burung camar yang sejak tadi hilir mudik pun sudah tak terlihat, cupidnya sudah terbang rendah dan menjauh dari pandangan, seperti kapal yang meninggalkan pantai semakin jauh semakin tak terlihat, apa imajinasi juga melengkung seperti bumi.
“Woyyyy…..Mar, lu tega tinggalin gw….” Aku berteriak sangat keras ke arah Damar yang terus mengayuh sepedanya, tapi tak ada sahutan yang terdengar, ini bukan bukit yang memantulkan gema suara, hanya desir ombak yang terdengar bergemuruh, dan sepertinya suara ku digulung oleh ombak itu, jadi tak terdengar dalam teriakan parau yang sudah senja ini. Aku kembalikan pandangan ku laut lepas, ku pandang sejauh syaraf mata ini sanggup menghantarkan cahaya lalu menembus setiap derajat elevasi yang kemudian menghilang juga, jika dihitung pasti sudah bernilai tak hingga. Aku pun bergegas dan meninggalkan laut itu, laut masih saja melambaikan ombaknya, mungkin masih berharap aku kembalikan pandangan ku. (*)

Komentar

Postingan populer dari blog ini

POLITIK DAN KETIDAK DEWASAANNYA

D"opini" “Semakin dewasa perpolitikan itu semakin terlihat kacau, antara yang memaknai dan yang berperan dalam mendefinisikan kacau, elit hilir mudik mencari cara untuk membentuk kemenangan dengan jalan prestisius dalam anggapannya” Apa yang kita paham tentang politik? Apa yang kita paham tentang kedewasaan? Adakah kaitan dari kedua kata ini? Politik dan kedewasaan adalah sebuah proses saling bertoleransi dan saling bersikap untuk sebuah upaya yang lebih baik melalui sistem kesadaran. Jika kita berbicara politik dan kedewasaannya, maka kita akan membicarakan sebuah sistem yang telah tertata rapi dan telah terbentuk dengan sangat detail sehingga orang diluar atau actor politik akan dapat memahami alur yang berkembang. Sistem yang dimaksud adalah sebuah sistem yang berlandaskan kesadaran. Sistem yang berlandaskan kesadaran adalah tingkatan sistem yang telah mencapai titik sempurna dan telah berada dalam tingkatan teratas dari berbagai sistem yang ada, sebu...

Tentang "Jadi" Jurnalis

Menjadi seorang jurnalis adalah sesuatu yang berbeda. Walau tak sekeren profesi lain semisal dokter, PNS, pegawai BUMN atau lainnya yang berseragam. Tidak hanya kalah keren, tapi profesi ini pun belakangan lebih sering bergelut dengan stigma. Banyak kalangan yang menilai profesi ini tidak lebih dari sekedar mencari kesalahan orang. Lalu menukarnya dengan rupiah. Ah kejam sekali mereka yang berpandangan demikian. Tapi ku kira bukan hal yang salah juga pandangan itu muncul. Bagaimana tidak sitgma itu muncul, jika kemudian “kartu pers” bisa dengan mudah dibuat. Bisa dengan mudah digunakan sebagai kartu sakti. Mending kalau kartu itu digunakan oleh orang yang tepat, orang yang paham akan fungsi dan etikanya. Jika digunakan oleh segelintir oknum, rasanya itu yang membuat stigma ini muncul. Seharusnya ada pembatasan dan aturan, yang bisa menjaga ini. Agar tak sembarang orang bisa mengidentikan dengan profesi jurnalis dan sedikit-sedikit atas nama “Pers”. Bayangkan, ketika kartu sakti...

Perkara Gus dan Pedagang Es teh

  Credit foto : Detik.com Petruk bingung, belakangan, panggung media sosial hingga media massa, bahkan pos ronda ramai dengan berita tentang seorang Gus yang merupakan utusan presiden sekaligus tokoh ulama berseteru dengan netizen. Yah, petruk bilang berseteru dengan netizen karena bapak penjual es teh yang disebut "goblok" oleh utusan presiden itu tak berseteru langsung. Hanya saja hatinya mungkin merasa tersakiti ketika ucapan utusan presiden itu terlontar dengan lantang didepan hadirin yang banyak. Tapi kembali lagi hati orang siapa yang tahu. Tapi, ucapan pedas yang katanya hanya candaan itu ternyata menusuk dalam di relung hati banyak warganet. Terang saja, balasan hujatan terlontar lebih dari kata "goblok" pada utusan presiden itu. Luapan kekesalan netizen ditumpah ruahkan di berbagai platform media sosial.  Memang jangan sepelekan warganet atau netizen, kekuatannya lebih hebat daripada sebatas kekuatan orang dalam. Karena penjual es teh disakiti, semua netize...