Langsung ke konten utama

Jurnalisme Marketing atau Marketing Jurnalisme

Jurnalisme selalu identik dengan pemberitaan. Identik pula dengan fakta yang disebarkan. Identik dengan relasional. Identik pula dengan kritis dan sedikit membangkang.
Marketing selalu identik dengan uang. Identik pula dengan pencapaian atau pun target. Identik dengan iklan. Identik juga dengan lemah lembut dan rayuan.
Jurnalisme dan marketing ku pikir bukan dua hal yang sama atau pun bisa saling berdampingan. Dua hal yang jauh berbeda dan berada pada tataran prinsipil. Namun dua hal yang bisa ada dalam satu perusahaan tapi tidak bisa dikerjakan oleh orang yang sama. Kamu harus konsisten dan tegas memilih menjadi jurnalis atau marketing.
Bila kita sudah memilih salah satunya, tapi kemudian harus melakukan keduanya, ku rasa itu pemunafikan untuk diri sendiri. Bukan tak professional, tapi sulit untuk dijalankan. Kritis itu tak bisa disandingkan dengan rayuan. Pernah dengar orang yang mengkritisi tapi merayu untuk dapat sesuatu. Seolah memukul namun ingin dirangkul. Itu tak bisa dijalani.
Dedikasi tak selalu harus dibuktikan dengan membunuh prinsip. Untuk memilih salah satu antara menjadi jurnalis atau marketing adalah prinsip yang sudah lama di pilih. Lantas harus ditinggalkan lantaran tempat kita bernaung membutuhkannya. Aku rasa itu egois. Entah dimana pun, keduanya tetap tak boleh disandingkan. Harus dipisahkan, biarlah yang bertugas mengkritisi tetap demikian dan yang menargetkan capain tetap dengan rayuannya.
Kebanyakan, media lokal saat ini memaksakan agar sosok tersebut ada dalam satu jati diri. Satu identitas yang disebut multi talent. Alasannya karena income media lokal harus bergantung dari iklan atau pun publikasi instansi atau pun perusahaan. Untuk saya sebagai jurnalis baru yang masih jauh dari kata “piawai” melakukan keduanya, tentu itu terasa aneh. Jika tak begitu, bagaimana mungkin karyawan bisa gajian. Terlalu sering kritis ancaman didepan mata adalah tak kebagian iklan, bisa mati kutu kalau sudah begitu.
Jadi sikap kritis ini harus berbanding terbalik dengan “cium tangan” pada yang dikritisi. Owhh sudahkah aku menjadi jurnalis? (*)



Komentar

Postingan populer dari blog ini

POLITIK DAN KETIDAK DEWASAANNYA

D"opini" “Semakin dewasa perpolitikan itu semakin terlihat kacau, antara yang memaknai dan yang berperan dalam mendefinisikan kacau, elit hilir mudik mencari cara untuk membentuk kemenangan dengan jalan prestisius dalam anggapannya” Apa yang kita paham tentang politik? Apa yang kita paham tentang kedewasaan? Adakah kaitan dari kedua kata ini? Politik dan kedewasaan adalah sebuah proses saling bertoleransi dan saling bersikap untuk sebuah upaya yang lebih baik melalui sistem kesadaran. Jika kita berbicara politik dan kedewasaannya, maka kita akan membicarakan sebuah sistem yang telah tertata rapi dan telah terbentuk dengan sangat detail sehingga orang diluar atau actor politik akan dapat memahami alur yang berkembang. Sistem yang dimaksud adalah sebuah sistem yang berlandaskan kesadaran. Sistem yang berlandaskan kesadaran adalah tingkatan sistem yang telah mencapai titik sempurna dan telah berada dalam tingkatan teratas dari berbagai sistem yang ada, sebu...

Tentang "Jadi" Jurnalis

Menjadi seorang jurnalis adalah sesuatu yang berbeda. Walau tak sekeren profesi lain semisal dokter, PNS, pegawai BUMN atau lainnya yang berseragam. Tidak hanya kalah keren, tapi profesi ini pun belakangan lebih sering bergelut dengan stigma. Banyak kalangan yang menilai profesi ini tidak lebih dari sekedar mencari kesalahan orang. Lalu menukarnya dengan rupiah. Ah kejam sekali mereka yang berpandangan demikian. Tapi ku kira bukan hal yang salah juga pandangan itu muncul. Bagaimana tidak sitgma itu muncul, jika kemudian “kartu pers” bisa dengan mudah dibuat. Bisa dengan mudah digunakan sebagai kartu sakti. Mending kalau kartu itu digunakan oleh orang yang tepat, orang yang paham akan fungsi dan etikanya. Jika digunakan oleh segelintir oknum, rasanya itu yang membuat stigma ini muncul. Seharusnya ada pembatasan dan aturan, yang bisa menjaga ini. Agar tak sembarang orang bisa mengidentikan dengan profesi jurnalis dan sedikit-sedikit atas nama “Pers”. Bayangkan, ketika kartu sakti...

Perkara Gus dan Pedagang Es teh

  Credit foto : Detik.com Petruk bingung, belakangan, panggung media sosial hingga media massa, bahkan pos ronda ramai dengan berita tentang seorang Gus yang merupakan utusan presiden sekaligus tokoh ulama berseteru dengan netizen. Yah, petruk bilang berseteru dengan netizen karena bapak penjual es teh yang disebut "goblok" oleh utusan presiden itu tak berseteru langsung. Hanya saja hatinya mungkin merasa tersakiti ketika ucapan utusan presiden itu terlontar dengan lantang didepan hadirin yang banyak. Tapi kembali lagi hati orang siapa yang tahu. Tapi, ucapan pedas yang katanya hanya candaan itu ternyata menusuk dalam di relung hati banyak warganet. Terang saja, balasan hujatan terlontar lebih dari kata "goblok" pada utusan presiden itu. Luapan kekesalan netizen ditumpah ruahkan di berbagai platform media sosial.  Memang jangan sepelekan warganet atau netizen, kekuatannya lebih hebat daripada sebatas kekuatan orang dalam. Karena penjual es teh disakiti, semua netize...