Kebaikan sebenarnya adalah sesuatu yang
dilakukan dengan landasan tulus dan ikhlas. Tanpa pamrih dan berharap akan
berbalik pula kebaikan itu pada kita. Bahkan berharap akan pahala pun itu
pamrih. Kebaikan semuanya didasarkan atas rasa sadar diri.
Tapi apa
jadinya kalau dalam perbuatan yang mulia itu ada istilah “Mencurigai kebaikan”.
Tak elok rasanya kita berbicara itu. Namun itulah fakta yang terjadi dalam
dunia pergaulan dan sosialita kita saat ini.
Pengalaman
kita lah yang mengajarkan istilah itu muncul. Pengalaman disalah artikannya
kebaikan yang telah kita lakukan dengan tulus ikhlas. Ceilah, seperti cinta
yang dibalas pengkhiatan. Atau kata pepatah kebaikan dibalas air tuba.
Contoh
kasusnya? Semisal, ada teman yang ingin meminjam uang pada kita. Alasannya
disampaikan dengan amat resah. Buat berobatlah, buat bayar kuliah lah, atau
lainnya. Tapi dalam hati, kita sudah berkata “benar enggak yah dia butuh uang
itu untuk keperluan blablablablaa…”. Percakapan hati itu muncul karena
pengalaman sebelumnya orang yang kita pinjami telah mengecewakan kita.
Bilangnya untuk berobat tahu-tahu untuk jalan-jalan. Kan edan kalau begitu,
buat emosi jiwa yang minjamin.
Terus
ada anak kecil yang minta-minta di pinggir jalan. Dia sodorkan tangannya sambil
bilang dengan melas “pak belum makan”. Tapi kembali hati kecil kita bilang,
masa sih belum makan. Bisa aja dia itu ada yang koordinir. Atau mungkin ada
emak bapaknya nungguin di suatu tempat dan mendulang rupiah dari eksploitasi
anaknya. Ckkckck, hal semacam ini berangkat dari pengalaman kita sebelumnya
pula. Dimana banyak informasi yang kita terima bahwa pengemis itu ada
mandornya. Terus ada pula kampung pengemis, dimana di kampung itu sepeda motor
bahkan mobil bukan hal langka yang dimiliki. Penghasilannya pun lebih dari si
pemberi.
Adalagi,
yang datang dengan pakaian lekat dengan agama. Bawa proposal dan minta dana
untuk panti asuhan, atau pembangunan masjid. Baru saja melihat, hati kita sudah
bilang, “Penipuan ini pasti”. Sebab diberita banyak aktivitas seperti itu yang
dijadikan modus usaha. Uangnya mah entah dipakai buat apa. Nah kalau sudah
begini bagaimana tidak timbul rasa mencurigai?
Dan saya
yakin masih banyak alasan-alasan kita untuk mencurigai kebaikan. Jika ditilik
kebelakang, kecurigaan itu muncul karena pengalaman sebelumnya. Dimana ada
oknum yang telah membuat kita menjadi paranoid dengan kebaikan. Dia lah yang
patut dipersalahkan, sebab pasca pengalaman darinya datang kita menjadi sosok
yang kerap mencurigai kebaikan.
Sampai
akhirnya, banyak orang yang apatis dengan perkara humanis itu. Mereka berpikir
realistis bahwa kebaikan yang dilakukannya itu belum tentu benar-benar tepat
sasaran. Jangan sampai itu jadi dosa jariyah untuk para oknum itu, karena telah
membuat dunia apatis dengan kebaikan dan sisi humanis.
(*)
Komentar
Posting Komentar