Langsung ke konten utama

Mencurigai Kebaikan

Kebaikan sebenarnya adalah sesuatu yang dilakukan dengan landasan tulus dan ikhlas. Tanpa pamrih dan berharap akan berbalik pula kebaikan itu pada kita. Bahkan berharap akan pahala pun itu pamrih. Kebaikan semuanya didasarkan atas rasa sadar diri.
Tapi apa jadinya kalau dalam perbuatan yang mulia itu ada istilah “Mencurigai kebaikan”. Tak elok rasanya kita berbicara itu. Namun itulah fakta yang terjadi dalam dunia pergaulan dan sosialita kita saat ini.
Pengalaman kita lah yang mengajarkan istilah itu muncul. Pengalaman disalah artikannya kebaikan yang telah kita lakukan dengan tulus ikhlas. Ceilah, seperti cinta yang dibalas pengkhiatan. Atau kata pepatah kebaikan dibalas air tuba.
Contoh kasusnya? Semisal, ada teman yang ingin meminjam uang pada kita. Alasannya disampaikan dengan amat resah. Buat berobatlah, buat bayar kuliah lah, atau lainnya. Tapi dalam hati, kita sudah berkata “benar enggak yah dia butuh uang itu untuk keperluan blablablablaa…”. Percakapan hati itu muncul karena pengalaman sebelumnya orang yang kita pinjami telah mengecewakan kita. Bilangnya untuk berobat tahu-tahu untuk jalan-jalan. Kan edan kalau begitu, buat emosi jiwa yang minjamin.
Terus ada anak kecil yang minta-minta di pinggir jalan. Dia sodorkan tangannya sambil bilang dengan melas “pak belum makan”. Tapi kembali hati kecil kita bilang, masa sih belum makan. Bisa aja dia itu ada yang koordinir. Atau mungkin ada emak bapaknya nungguin di suatu tempat dan mendulang rupiah dari eksploitasi anaknya. Ckkckck, hal semacam ini berangkat dari pengalaman kita sebelumnya pula. Dimana banyak informasi yang kita terima bahwa pengemis itu ada mandornya. Terus ada pula kampung pengemis, dimana di kampung itu sepeda motor bahkan mobil bukan hal langka yang dimiliki. Penghasilannya pun lebih dari si pemberi.
Adalagi, yang datang dengan pakaian lekat dengan agama. Bawa proposal dan minta dana untuk panti asuhan, atau pembangunan masjid. Baru saja melihat, hati kita sudah bilang, “Penipuan ini pasti”. Sebab diberita banyak aktivitas seperti itu yang dijadikan modus usaha. Uangnya mah entah dipakai buat apa. Nah kalau sudah begini bagaimana tidak timbul rasa mencurigai?
Dan saya yakin masih banyak alasan-alasan kita untuk mencurigai kebaikan. Jika ditilik kebelakang, kecurigaan itu muncul karena pengalaman sebelumnya. Dimana ada oknum yang telah membuat kita menjadi paranoid dengan kebaikan. Dia lah yang patut dipersalahkan, sebab pasca pengalaman darinya datang kita menjadi sosok yang kerap mencurigai kebaikan.
Sampai akhirnya, banyak orang yang apatis dengan perkara humanis itu. Mereka berpikir realistis bahwa kebaikan yang dilakukannya itu belum tentu benar-benar tepat sasaran. Jangan sampai itu jadi dosa jariyah untuk para oknum itu, karena telah membuat dunia apatis dengan kebaikan dan sisi humanis. (*)

Komentar

Postingan populer dari blog ini

POLITIK DAN KETIDAK DEWASAANNYA

D"opini" “Semakin dewasa perpolitikan itu semakin terlihat kacau, antara yang memaknai dan yang berperan dalam mendefinisikan kacau, elit hilir mudik mencari cara untuk membentuk kemenangan dengan jalan prestisius dalam anggapannya” Apa yang kita paham tentang politik? Apa yang kita paham tentang kedewasaan? Adakah kaitan dari kedua kata ini? Politik dan kedewasaan adalah sebuah proses saling bertoleransi dan saling bersikap untuk sebuah upaya yang lebih baik melalui sistem kesadaran. Jika kita berbicara politik dan kedewasaannya, maka kita akan membicarakan sebuah sistem yang telah tertata rapi dan telah terbentuk dengan sangat detail sehingga orang diluar atau actor politik akan dapat memahami alur yang berkembang. Sistem yang dimaksud adalah sebuah sistem yang berlandaskan kesadaran. Sistem yang berlandaskan kesadaran adalah tingkatan sistem yang telah mencapai titik sempurna dan telah berada dalam tingkatan teratas dari berbagai sistem yang ada, sebu...

Tentang "Jadi" Jurnalis

Menjadi seorang jurnalis adalah sesuatu yang berbeda. Walau tak sekeren profesi lain semisal dokter, PNS, pegawai BUMN atau lainnya yang berseragam. Tidak hanya kalah keren, tapi profesi ini pun belakangan lebih sering bergelut dengan stigma. Banyak kalangan yang menilai profesi ini tidak lebih dari sekedar mencari kesalahan orang. Lalu menukarnya dengan rupiah. Ah kejam sekali mereka yang berpandangan demikian. Tapi ku kira bukan hal yang salah juga pandangan itu muncul. Bagaimana tidak sitgma itu muncul, jika kemudian “kartu pers” bisa dengan mudah dibuat. Bisa dengan mudah digunakan sebagai kartu sakti. Mending kalau kartu itu digunakan oleh orang yang tepat, orang yang paham akan fungsi dan etikanya. Jika digunakan oleh segelintir oknum, rasanya itu yang membuat stigma ini muncul. Seharusnya ada pembatasan dan aturan, yang bisa menjaga ini. Agar tak sembarang orang bisa mengidentikan dengan profesi jurnalis dan sedikit-sedikit atas nama “Pers”. Bayangkan, ketika kartu sakti...

Perkara Gus dan Pedagang Es teh

  Credit foto : Detik.com Petruk bingung, belakangan, panggung media sosial hingga media massa, bahkan pos ronda ramai dengan berita tentang seorang Gus yang merupakan utusan presiden sekaligus tokoh ulama berseteru dengan netizen. Yah, petruk bilang berseteru dengan netizen karena bapak penjual es teh yang disebut "goblok" oleh utusan presiden itu tak berseteru langsung. Hanya saja hatinya mungkin merasa tersakiti ketika ucapan utusan presiden itu terlontar dengan lantang didepan hadirin yang banyak. Tapi kembali lagi hati orang siapa yang tahu. Tapi, ucapan pedas yang katanya hanya candaan itu ternyata menusuk dalam di relung hati banyak warganet. Terang saja, balasan hujatan terlontar lebih dari kata "goblok" pada utusan presiden itu. Luapan kekesalan netizen ditumpah ruahkan di berbagai platform media sosial.  Memang jangan sepelekan warganet atau netizen, kekuatannya lebih hebat daripada sebatas kekuatan orang dalam. Karena penjual es teh disakiti, semua netize...