
Tahun politik sudah ada di
depan mata. Tinggal berhitung berapa bulan lagi genderang tersebut akan
ditabuh. Apa yang kita ingat dari tahun politik? Kampanye? Partai politik? Bilik
suara? Atau serangan fajar berharap dapat kardusan indomie dan literan beras
lengkap dengan 4 sehat lima sempurnanya? Atau amplop berisi lembaran uang?
Sah-sah saja kalau ingat semua elemen
itu. Karena pada kenyataan tahun politik memuat tentang semuanya. Bisa dibilang
apa yang disebutkan tadi jadi konten yang wajib ada. Obrolan di gardu ronda pun
nanti bisa berubah dari guyon jadi tegang. Dari canda jadi petaka. Wah repot
kalau sudah ditahun itu. Kalau Cuma sindiran soal jagoan klub bola mah enteng,
kalau ini mah bisa jadi kubu yang saling meminggirkan. Beda pilihan politik
bisa dianggap beda segalanya, bahkan bisa dinilai beda keyakinan.
Sebenarnya simpel, di tahun tersebut
yang jadi rebutan adalah kursi. Kursi yang kini nilainya bisa menjadi ratusan
bahkan milyaran rupiah harganya. Kursi yang harus dibayar dengan kepercayaan
itu nyatanya ditukar dengan lembaran rupiah atau jatah proyek. Kursi empuk yang
saking empuknya sangat nyaman untuk tertidur pulas.
Siapa yang tidak ingin duduk disana.
Semua orang berebut kursi, alih-alih menjadi wakil rakyat, padahal dirinya
mewakili nafsunya. Saya bahkan sudah lupa jika wakil rakyat itu adalah bawahan
rakyat. Karena yang teringat mereka bos untuk rakyat dan tuannya rakyat. Sungkem
dalem kalau ketemu di jalan, cium tangan bolak balik. Dianya mah mana ingat
sama kamu yang memilihnya.
Berebut kursi rasanya tepat untuk
disematkan sebagai inti dari tahun politik. Kursi mewah nan nyaman yang hanya
diperebutkan lima tahunan itu memang patut ditunggu siapa pemenangya.
Berdoalah, kursi itu jatuh pada mereka yang bijaksana. Kalau tidak celakalah.
Sebagai penonton harus tertib (*)
Komentar
Posting Komentar