Langsung ke konten utama

Era Baru Perpolitikan


Banyak orang bilang jika kini sudah memasuki era milenial. Berbagai kemudahan dan fasilitas tekhnologi bisa dirasakan. Rasanya tekhnologi menyentuh segala lini. Jelas, yang ditawarkan adalah kemudahan yang hakiki. Saya bilang itu visioner dan sesuai zaman. Sebab kalau kita bilang sulit pasti dibilang “kolot” atau “konvensional”.
Saking milenialnya, silaturahim pun kini tak perlu bersusah payah. Cukup buat satu pesan lalu kemudian sebarkan melalui media sosial. Dalam waktu sekejap alias tak selama kita melupakan mantan, pesan singkat itu bisa sampai pada ribuan penerima. Bukan hanya info penting yang bisa disebar di era milenial ini, bahkan info kamu ingin makan atau ingin tidur saja bisa disebarkan. Apalagi info yang amat penting jelas itu lebih berfaedah.
Maka sabdanya adalah “Sebegitu bebasnya era milenial ini”. Nah, satu peluang ini yang kemudian ditangkap oleh beberapa kalangan elit politik. Karena nyatanya, perpolitikan pun bisa dipermudah dengan media sosial. Tak perlu banyak datang berkunjung ke rumah orang hanya sekadar membangun citra, karena citra bisa dengan mudah dibentuk dalam potret media sosial.
Terlalu mahal biaya politik jika kita harus datang secara konvensional, ujung ujungnya jadi pejabat magang yang korup. Coba kalau datang kan enggak mungkin cuma bawa muka dan senyum manis, paling tidak indomie satu kardus dan antek anteknya harus dibawa. Belum lagi biaya buat spanduk, baligho, banner, Leaflet, sumbangan ke majelis ta'lim, dan  ke tempat ibadah. Wah butuh dana berapa besar itu? balik modal enggak tuh?

Kata yang santun, tulisan yang hangat dan senyum rekah bisa dengan mudah dicirikan lewat media sosial. Akhirnya, beberapa kalangan yang cermat langkah ini berhasil menarik minat kalangan milenial yang selama ini memang sudah hilang kepercayaan pada generasi “tua”. Generasi tua saya kira tak dipilih karena mereka tak sezaman, mereka dianggap tak mewakili.
Saya bicara mewakili generasi milenial, bukan sok muda, tapi memang saya merasa demikian sih. Kalau tak setuju biar saja, karena saya tetap setuju. Citra-citra sabun mandi ini bisa dengan mudah dibentuk. Generasi milenial tak suka sosok yang kaku, selalu serius, atau bahkan tak punya kelenjar tertawa. Kami suka mereka yang humoris, bisa tertawa, hangat dan kadang perlu solutif dalam membantu menyelesaikan masalah asmara.
Buat apa dia punya visi misi yang cemerlang, tapi kemudian tak pernah peduli suasana hati warganya. Walau dalamnya hati siapa yang tahu, generasi milenial ingin mereka yang duduk dikursi jabatan bisa jadi ahli nujum bagi hati hati yang gelisah. Bisa merasakan setiap detak kesusahan, kegundahan, bahkan suara perut yang lapar. Bukan mereka yang hanya bisa berpakaian mewah, pergaulan elit, datang ke rakyat dengan dada membusung walau dibumbui senyum manis citra sabun mandi. Itu busuk.
Saya kira point of interest dalam berbagai kata yang menarik generasi milenial adalah pintar, humoris dan peduli asmara umatnya. Ini mah bukan petuah, hanya unek unek sih. (*)


Komentar

Postingan populer dari blog ini

POLITIK DAN KETIDAK DEWASAANNYA

D"opini" “Semakin dewasa perpolitikan itu semakin terlihat kacau, antara yang memaknai dan yang berperan dalam mendefinisikan kacau, elit hilir mudik mencari cara untuk membentuk kemenangan dengan jalan prestisius dalam anggapannya” Apa yang kita paham tentang politik? Apa yang kita paham tentang kedewasaan? Adakah kaitan dari kedua kata ini? Politik dan kedewasaan adalah sebuah proses saling bertoleransi dan saling bersikap untuk sebuah upaya yang lebih baik melalui sistem kesadaran. Jika kita berbicara politik dan kedewasaannya, maka kita akan membicarakan sebuah sistem yang telah tertata rapi dan telah terbentuk dengan sangat detail sehingga orang diluar atau actor politik akan dapat memahami alur yang berkembang. Sistem yang dimaksud adalah sebuah sistem yang berlandaskan kesadaran. Sistem yang berlandaskan kesadaran adalah tingkatan sistem yang telah mencapai titik sempurna dan telah berada dalam tingkatan teratas dari berbagai sistem yang ada, sebu...

Tentang "Jadi" Jurnalis

Menjadi seorang jurnalis adalah sesuatu yang berbeda. Walau tak sekeren profesi lain semisal dokter, PNS, pegawai BUMN atau lainnya yang berseragam. Tidak hanya kalah keren, tapi profesi ini pun belakangan lebih sering bergelut dengan stigma. Banyak kalangan yang menilai profesi ini tidak lebih dari sekedar mencari kesalahan orang. Lalu menukarnya dengan rupiah. Ah kejam sekali mereka yang berpandangan demikian. Tapi ku kira bukan hal yang salah juga pandangan itu muncul. Bagaimana tidak sitgma itu muncul, jika kemudian “kartu pers” bisa dengan mudah dibuat. Bisa dengan mudah digunakan sebagai kartu sakti. Mending kalau kartu itu digunakan oleh orang yang tepat, orang yang paham akan fungsi dan etikanya. Jika digunakan oleh segelintir oknum, rasanya itu yang membuat stigma ini muncul. Seharusnya ada pembatasan dan aturan, yang bisa menjaga ini. Agar tak sembarang orang bisa mengidentikan dengan profesi jurnalis dan sedikit-sedikit atas nama “Pers”. Bayangkan, ketika kartu sakti...

Perkara Gus dan Pedagang Es teh

  Credit foto : Detik.com Petruk bingung, belakangan, panggung media sosial hingga media massa, bahkan pos ronda ramai dengan berita tentang seorang Gus yang merupakan utusan presiden sekaligus tokoh ulama berseteru dengan netizen. Yah, petruk bilang berseteru dengan netizen karena bapak penjual es teh yang disebut "goblok" oleh utusan presiden itu tak berseteru langsung. Hanya saja hatinya mungkin merasa tersakiti ketika ucapan utusan presiden itu terlontar dengan lantang didepan hadirin yang banyak. Tapi kembali lagi hati orang siapa yang tahu. Tapi, ucapan pedas yang katanya hanya candaan itu ternyata menusuk dalam di relung hati banyak warganet. Terang saja, balasan hujatan terlontar lebih dari kata "goblok" pada utusan presiden itu. Luapan kekesalan netizen ditumpah ruahkan di berbagai platform media sosial.  Memang jangan sepelekan warganet atau netizen, kekuatannya lebih hebat daripada sebatas kekuatan orang dalam. Karena penjual es teh disakiti, semua netize...