Beberapa
hari yang lalu, Teman ku yang masih satu juruaan kuliah dan bekerja di profesi
yang sama yakni Jurnalis, berkabar padaku. Dia bilang sudah mundur dari
pekerjaan sebelumnya. Padahal ku tahu, dirinya sangat berbakat dan sangat pula
jatuh hati dengan pekerjaannya. Dia bekerja di salah satu surat kabar harian local
di daerahnya yang nun jauh disana.
Bisa
dibilang, profesi menjadi jurnalis memang sudah jadi impiannya. Tiap kali
bertemu, ia kerap bercerita tentang idealism dan asiknya menjadi jurnalis. Dia
ceritakan tentang kekagumanya pada jurnalis-jurnalis senior yang selama ini
hanya bisa dikagumi lewat tulisannya.
Namun
satu alasan yang tak bisa ku bantah telah membuatnya memilih pekerjaan lain.
Bukan karena ia sudah bosan atau sudah tak cinta (bahasa romansanya). Namun
alasan mendasar yang sebenarnya dirasakan oleh semua jurnalis terutama di local.
Jadi jurnalis di local memang seperti mimpi di siang bolong, tak seindah masa
kuliah di Kampus. Dimana kita dicekoki dengan berbagai etika dan manisnya dunia
perjurnalistikan. Kuliah lapangan seolah jadi mainan seru yang tak bisa
didapatkan di ruang kelas.
Akan
tetapi kisanak, saat terjun langsung dalam dunia tersebut, nyatanya berbagai
persoalan masih menyelimuti perjurnalistikan kita. Salah satunya adalah sistem
upah yang masih rendah, dan otomatis berdampak pada kesejahteraan. Rentetan
kata yang termpampang di surat kabar hanya dihargai jauh dari upah minimal.
Bekerja
serius namun diupah main-main akan kamu temukan dalam jurnalisme terutama di local.
Jelas, ketika ia berpikir ingin mencari kekayaan, tentu jadi jurnalis local bukan
pilihan yang tepat. Bekerja lah di perbankan, perusahaan multinasional, atau
bidang lain di luar jurnalistik. Bagaimana kau siap memikirkan berumah tangga
dan berkeluarga ketika kesejahteraan masih jauh dari yang dipikirkan.
Alasan
itu lah yang kemudian membuat temanku memilih mundur dari dunia tinta tersebut.
Tak bisa dibantah, karena bagaimana pun hidup bukan bermimpi kisanak, tapi
untuk mencari penghidupan. Kuliah 4-7 tahun lamanya, bergelut dengan ratusan
judul buku dan skripsi yang bolak balik di revis hanya untuk sekadar mendapat title
Imu Komunikasi, lantas nilai rupiahnya jauh berada di bawah.
Aku
bikir alasan mu untuk mundur memang tepat kawan. Jika duniamu sudah tak memberi
kecukupan, tak ada alasan untuk bertahan. (*)
Komentar
Posting Komentar