Langsung ke konten utama

TGB oh TGB


Gubernur Nusa Tenggara Barat (NTB) Tuan Guru Bajang (TGB) Muhammad Zainul Majdi mendadak jadi perbincangan banyak pihak dalam rentang waktu lima hari ini. Ucapan gubernur dua periode itulah musababnya yang membuat ia menjadi tranding topik.

Sosok yang selama ini digadang gadang sebagai calon kuat wakil presiden atau bahkan presiden yang akan menyaingi Joko Widodo dalam pencapresan 2019 nyatanya berbalik arah. Laksana anak panah yang sudah meluncur deras ke arah lawan lalu kemudian di putar balik dan berbalik arah.

TGB sapaan akrabnya tanpa diduga dan disangka entah ada angin apa tiba tiba saja jatuhkan pilihan hati untuk mendukung Joko Widodo atau Jokowi pada Pilpres 2019. Kontan, ucapan yang disampaikan walau atas nama pribadi itu telah menarik pemantik perpecahan dalam kubu pendukung sebelumnya. Mereka mulai gusar dan sebaliknya kubu lain tampak sumringah. Bagaimana tidak, mendapatkan dukungan TGB ibarat Juventus yang kedatangan Cristiano Ronaldo.

Bahkan dukungannya tersebut harus dibayar mahal, sebab nama Muhammad Zainul Majdi dicoret dari daftar calon presiden yang direkomendasikan Persaudaraa Alumni (PA) 212 sesaat setelah menyatakan dukungan kepada Joko Widodo. "Kami coret, karena buat kami itu harga mati untuk tidak mendukung Jokowi," kata Juru Bicara PA 212 Novel Bamukmin dilansir dari CNNIndonesia.com, Kamis (5/7).

Sebelumnya, TGB sendiri masuk dalam lima calon presiden yang akan didukung PA 212. Dalam Rakornas PA 212 yang digelar di Aula Sarbini, Taman Wiladatika, Cibubur, Jakarta Timur, Mei silam, nama TGB berada di posisi tiga. Selain TGB, capres lain yang didukung PA 212 yakni Rizieq Shihab, Prabowo, Yusril Ihza Mahendra, dan Zulkifli Hasan.

Novel mengatakan awalnya nama TGB masuk ke dalam daftar nama Capres karena statusnya sebagai ulama dan bukan sebagai politikus Demokrat. Sebagian peserta Rakornas mengusulkan nama TGB.

Walau demikian, beberapa kalangan seperti Ketua MPR RI Zulkifli Hasan menghormati keputusan politisi Demokrat tersebut. Bahkan dirinya pun tak rela jika karena pilihannya lantas ia disudutkan. Sebab bagaimana pun ia adalah ulama.

Sikap itu dipertanyakan sebab pada pemilihan presiden 2014 TGB mendukung Prabowo Subianto dan Hatta Rajasa. Siapa yang rela kehilangan sosok yang berpengaruh dalam meraup pundi suara. Pada pilpres 2014 lalu TGB menjadi mesin politik yang sukses mendulang suara untuk pasangan Prabowo-Hatta. 

Empat tahun berselang, nama TGB kian harum dan mewangi sepanjang hari. Bahkan nama alumni al Azhar itu kian tersohor. Sosoknya pun kini telah memiliki barisan masa sendiri di level nasional.

TGB pun tak tutup mata dengan polemik yang muncul. Dirinya mulai buka suara dan membeberkan alasan mendukung mantan walikota Solo tersebut maju untuk kedua kalinya di Pilpres.

Menurut TGB, perubahan arah dukungan itu tak serta terjadi tiba-tiba. Ia mengatakan, dalam berbagai kesempatan, dia sudah sering menyampaikan soal Negara Kesatuan Republik Indonesia dan moderasi Islam. 

Bahkan menurut dia, keputusannya untuk mendukung Jokowi adalah hasil renungannya. Dia berpendapat untuk membangun NTB yang kecil saja perlu dua periode, apalagi untuk Indonesia yang lebih luas. Kemudian ia juga berpandangan bahwa pembangunan infrastruktur yang dilakukan oleh Jokowi patut dihargai dan diberikan kesempatan untuk melanjutkannya.

Nah, kalau beliau saja sudah berpendapat demikian saya kira semua beres. Sebab dalam berpolitik sah sah saja siapa mendukung siapa, terlebih atas nama pribadi bukan partai dan golongan. Saya dukung mantan dapat jodoh baru pun itu hak saya. 

Nah lo kenapa harus ada perpecahan, seharusnya sebagai bangsa dan masyarakat yang dewasa lebih bisa menghargai hak hak seseorang. Tidak lantas di serang dengan argumen argumen negatif. Toh Kalau kamu tak suka gebetan kamu didekati yang lain, ya jangan diumpat, tapi usaha supaya bisa membuktikan bahwa kita lebih baik. 

Sekali lagi ini bukan sabda, ini hanya kilasan. (*)
.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

POLITIK DAN KETIDAK DEWASAANNYA

D"opini" “Semakin dewasa perpolitikan itu semakin terlihat kacau, antara yang memaknai dan yang berperan dalam mendefinisikan kacau, elit hilir mudik mencari cara untuk membentuk kemenangan dengan jalan prestisius dalam anggapannya” Apa yang kita paham tentang politik? Apa yang kita paham tentang kedewasaan? Adakah kaitan dari kedua kata ini? Politik dan kedewasaan adalah sebuah proses saling bertoleransi dan saling bersikap untuk sebuah upaya yang lebih baik melalui sistem kesadaran. Jika kita berbicara politik dan kedewasaannya, maka kita akan membicarakan sebuah sistem yang telah tertata rapi dan telah terbentuk dengan sangat detail sehingga orang diluar atau actor politik akan dapat memahami alur yang berkembang. Sistem yang dimaksud adalah sebuah sistem yang berlandaskan kesadaran. Sistem yang berlandaskan kesadaran adalah tingkatan sistem yang telah mencapai titik sempurna dan telah berada dalam tingkatan teratas dari berbagai sistem yang ada, sebu...

Tentang "Jadi" Jurnalis

Menjadi seorang jurnalis adalah sesuatu yang berbeda. Walau tak sekeren profesi lain semisal dokter, PNS, pegawai BUMN atau lainnya yang berseragam. Tidak hanya kalah keren, tapi profesi ini pun belakangan lebih sering bergelut dengan stigma. Banyak kalangan yang menilai profesi ini tidak lebih dari sekedar mencari kesalahan orang. Lalu menukarnya dengan rupiah. Ah kejam sekali mereka yang berpandangan demikian. Tapi ku kira bukan hal yang salah juga pandangan itu muncul. Bagaimana tidak sitgma itu muncul, jika kemudian “kartu pers” bisa dengan mudah dibuat. Bisa dengan mudah digunakan sebagai kartu sakti. Mending kalau kartu itu digunakan oleh orang yang tepat, orang yang paham akan fungsi dan etikanya. Jika digunakan oleh segelintir oknum, rasanya itu yang membuat stigma ini muncul. Seharusnya ada pembatasan dan aturan, yang bisa menjaga ini. Agar tak sembarang orang bisa mengidentikan dengan profesi jurnalis dan sedikit-sedikit atas nama “Pers”. Bayangkan, ketika kartu sakti...

Perkara Gus dan Pedagang Es teh

  Credit foto : Detik.com Petruk bingung, belakangan, panggung media sosial hingga media massa, bahkan pos ronda ramai dengan berita tentang seorang Gus yang merupakan utusan presiden sekaligus tokoh ulama berseteru dengan netizen. Yah, petruk bilang berseteru dengan netizen karena bapak penjual es teh yang disebut "goblok" oleh utusan presiden itu tak berseteru langsung. Hanya saja hatinya mungkin merasa tersakiti ketika ucapan utusan presiden itu terlontar dengan lantang didepan hadirin yang banyak. Tapi kembali lagi hati orang siapa yang tahu. Tapi, ucapan pedas yang katanya hanya candaan itu ternyata menusuk dalam di relung hati banyak warganet. Terang saja, balasan hujatan terlontar lebih dari kata "goblok" pada utusan presiden itu. Luapan kekesalan netizen ditumpah ruahkan di berbagai platform media sosial.  Memang jangan sepelekan warganet atau netizen, kekuatannya lebih hebat daripada sebatas kekuatan orang dalam. Karena penjual es teh disakiti, semua netize...