Langsung ke konten utama

Rasio VS Perasaan dalam kajian Epictus

selamat malam tangan-tangan dingin yang terus temani setiap langkah kaki dan ujung nafasku. Boleh aku bercerita tentang eksistensi intrapersonal ku yang melibatkan rasio vs perasaan, tentang bingkai yang telah menjadi bangkai dalam ingatan ini. aku tersujud dibalik ceria dan tersungkur dibalik doa, coba kukaji dengan berbagai pemahaman yang kumiliki dan kutahu walaupun senyap sebenarnya..

Rasanya kita tidak pernah ingin memiliki rasa cinta namun tuhan terus memberi rasa itu sampai dimana kita akan bertahan atau berhenti untuk merasakan memiliki arti dari setiap perasaan itu.
jenuh?? mungkin itu adalah sebuah kontraksi atau mungkin hanya refleksitas dari realita yang terkesan dimaknai negatif oleh diri kita, tapi percaya bahwa tidak ada sebuah negasi yang akan bercerita negatif tanpa makna yang dibawanya oleh manusia, masalah atau konflik internal yang timbul dalam setiap diri manusia adalah sebuah hasil dari pemaknaan setiap individu itu sendiri,seperti menurut seorang filsuf  (Epictus, Yunani) yang mengatakan "manusia terganggu bukan karena sesuatu, melainkan karena cara memandangnya". ini yang disebut konflik internal dalam diri manusia, kita lebih dekat dengan sikap makna yang negatif terhadap berbagai hal namun tidak pernah melihat sisi positif dari setiap keadaan.
mungkin ini adalah hal kecil ketika kita merasa galau dengan berbagai perihal termasuk permasalahan dengan CINTA namun itu adalah konflik yang harus kita hadapi dan bagaimana kita memandang hal itu agar tidak menjadi sebuah masalah.

ini bukan sebuah kisah yang terlahir dari rasa piciknya diri ini, dan bukan yang tercipta dari imajinasi dan rekayasa kehidupan, sebuah kesenjangan terjadi saat kita berada pada satu keadaan bargainning position yang menjadikan kita tersudut dan dilema antara mencintai atau meninggalkan untuk dia lebih bahagia. realita terkadang berlawanan dengan harapan namun itu dialektika kehidupan yang dinamis, tak senjang maka tak ramai mungkin ini yang harus dimaknai mendalam didasar pemikiran kita.
aku masih percaya (maaf menggunakan kata Aku) setiap perasaan yang terlahir pasti memiliki tujuan akhir yang ingin dicapai, ketika seseorang yang diharapkan tak mampu menerima kita walaupun kita telah dekat dengan hati dan dirinya namun tak pernah diizinkan masuk kedalam pintu hatinya, yah ini adalah takdir dan mencoba memaknai ini dalam sudut pandang internal sebagai seorang komunikator dan komunikan diri yang lebih cenderung merasa galau karena perdebatan panjang rasio dan perasaa, mungkin memang kata-kata manis itu lebih membuat kita lemah tapi coba menjadikan motivasi diri untuk terus hidup dengan memilih dia bahagia tanpa ku, itu lebih baik, keputusan itu manusia yang membuat namun takdir tuhan yang menentukan.

ini sebuah kesenjangan dan tergantung kita memaknai apakah akan menjadi sebuah masalah dan konflik intrapersonal atau menjadi sebuah pembelajaran.. aku sendiri masih tak tahu..

Komentar

Postingan populer dari blog ini

POLITIK DAN KETIDAK DEWASAANNYA

D"opini" “Semakin dewasa perpolitikan itu semakin terlihat kacau, antara yang memaknai dan yang berperan dalam mendefinisikan kacau, elit hilir mudik mencari cara untuk membentuk kemenangan dengan jalan prestisius dalam anggapannya” Apa yang kita paham tentang politik? Apa yang kita paham tentang kedewasaan? Adakah kaitan dari kedua kata ini? Politik dan kedewasaan adalah sebuah proses saling bertoleransi dan saling bersikap untuk sebuah upaya yang lebih baik melalui sistem kesadaran. Jika kita berbicara politik dan kedewasaannya, maka kita akan membicarakan sebuah sistem yang telah tertata rapi dan telah terbentuk dengan sangat detail sehingga orang diluar atau actor politik akan dapat memahami alur yang berkembang. Sistem yang dimaksud adalah sebuah sistem yang berlandaskan kesadaran. Sistem yang berlandaskan kesadaran adalah tingkatan sistem yang telah mencapai titik sempurna dan telah berada dalam tingkatan teratas dari berbagai sistem yang ada, sebu...

Tentang "Jadi" Jurnalis

Menjadi seorang jurnalis adalah sesuatu yang berbeda. Walau tak sekeren profesi lain semisal dokter, PNS, pegawai BUMN atau lainnya yang berseragam. Tidak hanya kalah keren, tapi profesi ini pun belakangan lebih sering bergelut dengan stigma. Banyak kalangan yang menilai profesi ini tidak lebih dari sekedar mencari kesalahan orang. Lalu menukarnya dengan rupiah. Ah kejam sekali mereka yang berpandangan demikian. Tapi ku kira bukan hal yang salah juga pandangan itu muncul. Bagaimana tidak sitgma itu muncul, jika kemudian “kartu pers” bisa dengan mudah dibuat. Bisa dengan mudah digunakan sebagai kartu sakti. Mending kalau kartu itu digunakan oleh orang yang tepat, orang yang paham akan fungsi dan etikanya. Jika digunakan oleh segelintir oknum, rasanya itu yang membuat stigma ini muncul. Seharusnya ada pembatasan dan aturan, yang bisa menjaga ini. Agar tak sembarang orang bisa mengidentikan dengan profesi jurnalis dan sedikit-sedikit atas nama “Pers”. Bayangkan, ketika kartu sakti...

Perkara Gus dan Pedagang Es teh

  Credit foto : Detik.com Petruk bingung, belakangan, panggung media sosial hingga media massa, bahkan pos ronda ramai dengan berita tentang seorang Gus yang merupakan utusan presiden sekaligus tokoh ulama berseteru dengan netizen. Yah, petruk bilang berseteru dengan netizen karena bapak penjual es teh yang disebut "goblok" oleh utusan presiden itu tak berseteru langsung. Hanya saja hatinya mungkin merasa tersakiti ketika ucapan utusan presiden itu terlontar dengan lantang didepan hadirin yang banyak. Tapi kembali lagi hati orang siapa yang tahu. Tapi, ucapan pedas yang katanya hanya candaan itu ternyata menusuk dalam di relung hati banyak warganet. Terang saja, balasan hujatan terlontar lebih dari kata "goblok" pada utusan presiden itu. Luapan kekesalan netizen ditumpah ruahkan di berbagai platform media sosial.  Memang jangan sepelekan warganet atau netizen, kekuatannya lebih hebat daripada sebatas kekuatan orang dalam. Karena penjual es teh disakiti, semua netize...