Langsung ke konten utama

Postingan

Menampilkan postingan dari 2018

"Numpang Mati"

Hidup kadang tak ada yang dibanggakan. Dicitakan menjadi besar lalu tumbuh berkembang. Bukan sekadar berkembang biak, tapi berkembang dalam segala hal. Apa yang utama? Berkembang pemikiran, gagasan dan budaya. Ibu dan ayah mu menitipkan cita citanya dipundakmu. Diramunya kamu lewat didikan moral dan akhlak, lalu di tanamkannya nilai nilai kebaikan dan agama. Tak sampai disana, di sekolahkannya pula. Agar ilmu dan pembelajaran mu sempurna. Tidak sebatas bisa menulis dan membaca, tapi paham akibat dari menulis dan membaca. Paham pula bertanggung jawabnya. Walau dilahirkan dari kalangan Homo Sapiens, tapi CC otakmu jauh lebih besar dari pendahulumu. Engkau tak lagi berburu, apalagi hanya sebatas aib. Tapi berlomba dalam kebaikan yang hakiki. Sejarah umat manusia memang tak pernah lepas dari penindasan. Tapi jangan pula itu jadi alasan, adidaya diatas derita. Penindasan sudah cukup jadi kenangan, sisakan kebahagian untuk mencapai setia tujuan. Hidup di tanah air ini tak ingin ...

The Returning dan Obat Sakit Kepala

Kemarin Sabtu sebenarnya enggak niat niat banget mau nonton. Sempat cek jadwal film, ternyata enggak ada yang kenal dengan judul judulnya. Sampai akhirnya ada satu film berjudul The Returning yang mampir di penglihatan saya. Awalnya gak tertarik juga, tapi pas lihat pemerannya ternyata Laura Basuki.  Selama ini, siapa yang meragukan film Film dibintangi aktris kawakan Laura Basuki. Akhirnya dipilih juga tuh film, walau temanya horor. The Returning adalah sebuah film bergenre horor yang mulai tayang pada 29 Oktober 2018 di semua bioskop se Indonesia. Film berdurasi 88 menit karya sutradara Witra Asliga ini cukup memberikan kesan yang menarik, khususnya bagi pecinta horor. Setelah kita kehilangan sosok bintang horor Suzana, industri film horor Indonesia memang belum begitu baik. Sempat muncul film karya Sutradara kawakan Joko Anwar dengan judul Pengabdi Setan, jelas film ini seolah menjadi oase di Padang pasir. Tak mengecewakan, film ini dikemas dengan sangat baik. ...

Cupras Capres

"Politik itu tai kucing" barangkali ungkapan jenaka ini ada benarnya juga. Tapi itu benar bagi mereka yang kecewa. Lain halnya bagi mereka yang digdaya, politik bisa kembali pada fitrahnya. Politik bukan saja kejam tapi menyiksa batin dan bikin deg degan. Sebut saja penentuan capres dan cawapres pada detik detik akhir pendaftaran 10 Agustus lalu. Bagaimana kita netizen dibuat dag Dig dug der dan terus menerka siapa yang bakal berpasangan dengan siapa untuk maju. Walau sebagai pengamat dadakan saya pikir cupras capres kali ini memang tak jauh dari dua kandidat lama. Namun boleh saja kita menempatkan beberapa sosok dalam analisa. Yah benar saja hingga detik akhir, dua kandidat ini yang tetap maju dengan lurus. Kita sebut saja pertarungan lama. Namun setelah resmi maju, netizen kembali di buat beranalisa dan berasumsi, siapa kira kira yang jadi pasangannya. Sosok nomor dua ini menjadi tanda tanya besar. Walau kita sering lihat baligho berukuran besar terpampang, tapi it...

Prahara Waode Sofia

Media sosial baru saja merilis satu cerita hangat. Kisah tentang seorang peserta talent show menyanyi di sebuah stasiun televisi swasta. Dimana pada video yang diunggah tersebut tampak tiga orang juri membully satu peserta. Alasannya karena sang kodok ehh sang peserta tidak berdandan dan tampil dengan riasan apik seperti para juri. Wohh cercaan pertanyaan nan pedas melontar dari mulut para juri. Lalu jawaban sedikit gugup pun meluncur pula dengan lirih dari sang kontestan. Sampai akhirnya sang peserta diharuskan pulang dengan hukum fardu ain. Wedehh persis seperti suasana pas lagi sidang skripsi tapi gak tahu jawabannya apa pas ditanya penguji. Geleng geleng melas. Tapi kalau skripsi kan substansi, masa iya saya penelitian tentang sosiologi komunikasi lalu dicecar pertanyaan bagaimana anak kambing bisa melahirkan anak haram. Lah mana saya tahu kan. Mungkin kambingnya minum alkohol dulu sebelum lahiran. Nah ini yang terjadi, audisi menyanyi alias talent show singing tapi yang di...

Upah Jurnalis

Beberapa hari yang lalu, Teman ku yang masih satu juruaan kuliah dan bekerja di profesi yang sama yakni Jurnalis, berkabar padaku. Dia bilang sudah mundur dari pekerjaan sebelumnya. Padahal ku tahu, dirinya sangat berbakat dan sangat pula jatuh hati dengan pekerjaannya. Dia bekerja di salah satu surat kabar harian local di daerahnya yang nun jauh disana. Bisa dibilang, profesi menjadi jurnalis memang sudah jadi impiannya. Tiap kali bertemu, ia kerap bercerita tentang idealism dan asiknya menjadi jurnalis. Dia ceritakan tentang kekagumanya pada jurnalis-jurnalis senior yang selama ini hanya bisa dikagumi lewat tulisannya.  Namun satu alasan yang tak bisa ku bantah telah membuatnya memilih pekerjaan lain. Bukan karena ia sudah bosan atau sudah tak cinta (bahasa romansanya). Namun alasan mendasar yang sebenarnya dirasakan oleh semua jurnalis terutama di local. Jadi jurnalis di local memang seperti mimpi di siang bolong, tak seindah masa kuliah di Kampus. Dimana kita diceko...

TGB oh TGB

Gubernur Nusa Tenggara Barat (NTB) Tuan Guru Bajang (TGB) Muhammad Zainul Majdi mendadak jadi perbincangan banyak pihak dalam rentang waktu lima hari ini. Ucapan gubernur dua periode itulah musababnya yang membuat ia menjadi tranding topik. Sosok yang selama ini digadang gadang sebagai calon kuat wakil presiden atau bahkan presiden yang akan menyaingi Joko Widodo dalam pencapresan 2019 nyatanya berbalik arah. Laksana anak panah yang sudah meluncur deras ke arah lawan lalu kemudian di putar balik dan berbalik arah. TGB sapaan akrabnya tanpa diduga dan disangka entah ada angin apa tiba tiba saja jatuhkan pilihan hati untuk mendukung Joko Widodo atau Jokowi pada Pilpres 2019. Kontan, ucapan yang disampaikan walau atas nama pribadi itu telah menarik pemantik perpecahan dalam kubu pendukung sebelumnya. Mereka mulai gusar dan sebaliknya kubu lain tampak sumringah. Bagaimana tidak, mendapatkan dukungan TGB ibarat Juventus yang kedatangan Cristiano Ronaldo. Bahkan dukungannya ...

Era Baru Perpolitikan

Banyak orang bilang jika kini sudah memasuki era milenial. Berbagai kemudahan dan fasilitas tekhnologi bisa dirasakan. Rasanya tekhnologi menyentuh segala lini. Jelas, yang ditawarkan adalah kemudahan yang hakiki. Saya bilang itu visioner dan sesuai zaman. Sebab kalau kita bilang sulit pasti dibilang “kolot” atau “konvensional”. Saking milenialnya, silaturahim pun kini tak perlu bersusah payah. Cukup buat satu pesan lalu kemudian sebarkan melalui media sosial. Dalam waktu sekejap alias tak selama kita melupakan mantan, pesan singkat itu bisa sampai pada ribuan penerima. Bukan hanya info penting yang bisa disebar di era milenial ini, bahkan info kamu ingin makan atau ingin tidur saja bisa disebarkan. Apalagi info yang amat penting jelas itu lebih berfaedah. Maka sabdanya adalah “Sebegitu bebasnya era milenial ini”. Nah, satu peluang ini yang kemudian ditangkap oleh beberapa kalangan elit politik. Karena nyatanya, perpolitikan pun bisa dipermudah dengan media sosial. Tak perlu ...

“Figuran”

Beberapa orang kerap senang ketika masuk menjadi figuran dalam sebuah judul film. Tak penting tajuknya apa, namun jadi figuran sudah lah membahagiakan untuknya. Bisa dilihat oleh banyak orang dan jadi andil dalam satu kesuksesan. Barangkali itu yang terlintas dalam sosok yang disebut figuran. Figuran biasanya sosok yang sebenarnya tak penting-penting amat, tapi tanpa dia film itu kehilangan satu adegan. Sudah barang tentu, jika kehilangan satu adegan atau pun scene, alur film itu menjadi sedikit berkurang maknanya. Dalam dunia nyata, figuran pun kerap dibutuhkan. Sebagai sosok yang bisa diandalkan, tapi dia tak pernah benar-benar dipentingkan. Bisa saja hanya menjadi penghapus lara untuk dia yang sedang patah hati atau berduka. Lantas setelah hatinya kembali bersemi, sang figuran itu sudah tak ada gunanya. Tak ada istilah dibuang sayang, yang ada hati ku senang kamu silahkan pulang. Pulang kembali menemukan hari-hari mu yang lalu. Tapi kadang paradoks, walau peran figuran itu t...

Orang Gila dan Menuju Gila

I su tentang adanya penculikan dan penyerangan terhadap para ulama dan tokoh-tokoh agama sontak telah membuat resah. Resah yang amat berarti dan beralasan tentunya. Bukan resah karena alasan si dia yang Wa nya online tapi tak balas pesan kamu. Lebih dari itu, sebab sasaran yang diamuk adalah orang-orang yang jadi panutan. Para pemuka agama, tokoh masyarakat, bahkan sampai ke pesantren. Aparat kepolisian pun dikerahkan untuk menjaga stabilitas negara dari isu penculikan dan penyerangan tersebut. Beberapa kejadian pun sempat tersebar luas melalui jaringan media masa. Jelas, beritanya pun memenuhi tiap halaman surat kabar. Setelah tertangkap dan diperiksa, usut punya usut si pelaku adalah orang-orang yang memiliki pemikiran miring alias gendeng. Jika mengacu perkataan Tuanku Ibrahim Datuk Tan Malaka dalam Madilog nya, disebutkan bahwa orang gila atau gendeng itu sebenarnya berpikir. Hanya saja hasil berpikirnya tak sama dengan manusia tak gendeng kebanyakan. Karena alasan ini pu...

Berebut Kursi

T ahun politik sudah ada di depan mata. Tinggal berhitung berapa bulan lagi genderang tersebut akan ditabuh. Apa yang kita ingat dari tahun politik? Kampanye? Partai politik? Bilik suara? Atau serangan fajar berharap dapat kardusan indomie dan literan beras lengkap dengan 4 sehat lima sempurnanya? Atau amplop berisi lembaran uang? Sah-sah saja kalau ingat semua elemen itu. Karena pada kenyataan tahun politik memuat tentang semuanya. Bisa dibilang apa yang disebutkan tadi jadi konten yang wajib ada. Obrolan di gardu ronda pun nanti bisa berubah dari guyon jadi tegang. Dari canda jadi petaka. Wah repot kalau sudah ditahun itu. Kalau Cuma sindiran soal jagoan klub bola mah enteng, kalau ini mah bisa jadi kubu yang saling meminggirkan. Beda pilihan politik bisa dianggap beda segalanya, bahkan bisa dinilai beda keyakinan. Sebenarnya simpel, di tahun tersebut yang jadi rebutan adalah kursi. Kursi yang kini nilainya bisa menjadi ratusan bahkan milyaran rupiah harganya. Kursi yang haru...

Wabah Dilan

D ilan adalah tokoh fiksi yang ditulis oleh penulis beken Pidi Baiq. Sosok yang pada awal tahun 2018 ini menghebohkan generasi milenial di terbitkan dalam tiga bundel buku. Masing-masing judulnya “Dilan : Dia adalah Dilanku Tahun 1990”, “Dilan : Dia adalah Dilanku Tahun 1991”, dan yang terakhir “Suara hati Dilan”. Sebenanya sebelum diterbitkan dalam bundelan buku, kisah ini pun sudah sempat diangkat melalui laman blog sang empunya.  Buku dengan tiga judul tersebut terbagi menjadi dua bagian cerita. Dua buku pertama di ceritakan dengan sudut pandang gadis belia yakni Milea Adnan Hussain, sedangkan buku ketiganya dalam sudut pandang Dilan si panglima tempur dari salah satu geng motor pada masanya. Pasca diangkatnya ke layar lebar, film ini pun langsung laris manis bak kacang goreng. Menjadi pembicaraan berbagai kalangan, sebenarnya sah-sah saja siapa yang mau berbicara. Entah remaja 17 tahun atau kakek nenek 71 tahun pun boleh saja membicarakannya. Rayuan maut yang kocak nan ...

Jatuh Hati Itu Repot

J atuh hati barangkali padanannya adalah dimabuk cinta. Haramkah? Sakit kah? Karena kata hadis, semisal yang diriwayatkan Tirdmidzi bahwa semua yang memabukan itu haram hukumnya. Barangkali itu pun berlaku untuk dimabuk cinta. Kenapa demikian? Karena mabuk membuat manusia kehilangan akal pikirannya yang sehat. Kenapa tidak sehat? Karena semua dipikirkan dalam satu sisi tanpa pertimbangan matang. Semua kerja otak terfokus pada satu hal sosok yang dimaksud. Semua berjalan tanpa control yang tepat. Biasa berjalan berdampingan, kini akal hanya berjalan sendiri dengan kerja otak yang tak terpantau. Satu lagi, jika kerja otak sudah tak terkontrol maka segalanya bisa saja timbul kerusakan. Itulah yang menjadi alasan kenapa mabuk itu diharamkan. Lalu sakit kah? Semua yang berkaitan erat dengan kata jatuh saya rasa tidak ada yang enak. Sakit sudah pasti menunggu jikapun ada bahagia. Maka tak elok pula jika kita ibaratkan jatuh hati adalah kata yang tepat untuk mengatakan kebahagiaan yang...